Genangan air yang terpercikkan oleh hentakan langkahku, memancarkan airnya ke segala arah hingga membasahi sepatu dan kaus kakiku. Hujan deras yang mengguyur seluruh daratan di Indonesia hari ini, memang telah terprediksikan oleh BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi, & Geofisika) tadi pagi. Aku sangat ingat siaran berita yang menjadi tontonan tetapku tiap pagi mengabarkan seluruh Indonesia akan diguyur hujan, mulai dari pangkal Sumatera hingga ujung Papua, tentunya dengan debit air yang berbeda-beda.
Sepatu dan kaus kakiku yang basah ini mungkin menjadi salah satu alasan yang kuat tentang mengapa aku membenci hujan. Hujan selalu sesuka hatinya membasahi jalanan, menciptakan genangan, hingga menimbulkan keributan.
Hujan memang sudah reda sejak setengah jam yang lalu, tapi genangan air yang tercipta sejak tadi, belum juga mampu dikeringkan oleh sang mentari yang hangat. Genangan yang membuatku enggan untuk menginjakkan kaki disana. Ya...penyebab utama sepatu dan kaus kakiku basah.
Aku benci hujan...
Setidaknya ada alasan lain yang lebih dari sekedar menjadi penyebab sepatuku basah, tentang mengapa aku membenci tangisan langit ini. Tiap kali aku melihat air sejuk ini turun dari langit, tiap kali aku merasakan dinginnya air ini membasahi kulitku, dan tiap kali aku mencium aroma air ini, aku selalu teringat akan hal itu. Hal memuakkan yang tak pernah aku inginkan.
Ah...seharusnya sekarang aku tidak melakukan hal ini; mengingat kenangan buruk yang pernah singgah di dalam kehidupanku. Namun mau bagaimana lagi, otakku terus memaksa. Tanpa perlu perintah dariku lagi, ia menayangkan gambaran momen itu. Ingatan yang tidak mau aku ingat. Kenangan yang tak ingin aku kenang. Kejadian yang takkan pernah kuhendaki untuk terjadi.
Sial... Pandanganku kini sangat jelas melihat momen itu. Tiap gambaran momen itu, aku lihat begitu detail. Jelas. Sangat jelas.
Aku masuk. Aku sudah masuk. Aku sudah masuk ke dalam kenangan pahitku sendiri...
***
Sang langit sudah menumpahkan tangisannya sejak dua jam lalu. Padahal ini adalah saat-saat asiknya beraktivitas di luar sana. Namun, apa daya. Manusia cuma bisa merencanakan apa yang akan dilakukan, namun cuaca juga lah yang bakal menentukan.
Bosan.
Itulah satu-satunya yang kurasakan saat ini. Menatap air yang turun dari langit lewat jendela di depanku ini sungguh memuakkan. Padahal jika ia tidak turun, setidaknya aku bisa melakukan kegiatan lain yang lebih menyenangkan di luar sana, bukan menatap hujan dari balik jendela seperti ini. Ah sial... aku benar-benar benci hujan.
Tapi sepertinya ada satu manusia yang tidak sependapat denganku. Sejak tadi, dia tidak memperdulikan hujan sialan ini. Dia terlalu asik dengan orang di balik telepon genggamnya itu. Suara cekikikannya dan suara hujan di luar, seakan-akan sedang berlomba-lomba untuk memekakkan telingaku. Sebenarnya aku tidak akan merasa terlalu risih mungkin, apabila orang yang di balik telepon genggamnya itu bukan Nina.
Ya...Nina. Perempuan yang selalu kupuja-puja setengah mati. Perempuan yang terpikirkan olehku setiap hari. Perempuan yang mampu meluluhlantakkan hati ini. Perempuan yang benar-benar aku gilai...
Sosok yang tengah tertawa cekikan itu memang sahabatku. Itulah kenapa dia berada di dalam kamarku sejak dua jam lalu. Berteduh merupakan alasan tertepat untuk menjawabnya. Unik memang, dua hati yang berbeda kondisi, tengah berada dalam sebuah ruangan kecil yang diselimuti tangisan langit. Dia tengah senang dan riang gembira, sedangkan aku? Menatap hujan dengan kebosanan, serta dengan rasa cemburu yang tak terluapkan.
"Zak...Udahan dong nelponnya. Cuaca lagi buruk nih, kesambar petir baru tau rasa lo." Aku mencoba mengingatkannya.
Namun dia hanya mengangkat jari telunjuknya, lalu meletakkan jari itu ke depan bibirnya dan dari mulutnya terdengar suara, "Ssssttt...."
Aku hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah lakunya itu. Hatiku juga ikut menggeleng-gelengkan tindakannya. Ya benar...Aku cemburu.
Tak berapa lama kemudian, mendadak saja dia menghidupkan loudspeaker handphone-nya.
"Apa lagi yang mau dilakukan anak ini?" Batinku.
Terdengar suara mengejutkan dari seseorang yang menelpon disana itu, Nina.
"Kayaknya kita udah gak cocok untuk cukup sekedar jadi teman lagi ya, Zak..."
Sangat terkejut aku mendengar kalimat yang terlontar dari sana. Aku hanya berharap supaya Zaki tidak melakukan 'hal itu'. Tapi, harapan tak sesuai kenyataan yang terjadi setelah ini. Zaki akhirnya melakukan 'hal itu'.
"Oh ya? Benarkah? Aku juga merasakan hal yang sama. Gimana kalo kita sekarang jadian? Pacaran..."
"Dengan senang hati."
"Sekarang kita udah jadian?"
"Ya..."
"Hanya sesederhana itu?"
"Begitulah..."
Telingaku bergeming. Aku gak tau apa saja lagi kalimat yang terlontar oleh dua insan yang tengah berbahagia itu. Hatiku hancur. Perempuan yang selalu kupuja kini berbahagia bersamanya, sahabatku sendiri. Aku tak akan pernah bisa menerima kenyataan terpahit ini...
***
Pikiranku kembali seperti sedia kala. Kenangan pahit yang terlintas sebentar tadi sudah cukup untuk menghancurkan ketenangan batinku. Semua karena hujan. Hujan yang membawaku mengingat segalanya. Tapi syukurlah, hujan ini sudah perlahan mereda.
Kutatap langit yang beberapa saat lalu masih ditutupi awan-awan gelap, sekarang sudah dihiasi warna-warni sang pelangi. Genangan air yang menganggu, kini perlahan mengering. Hujan, sepertinya membuatku menyadari sesuatu.
Hujan mungkin ingin mengajarkanku tentang bagaimana melihat sesuatu yang indah sesudah melihat sesuatu yang buruk.
Hujan mungkin ingin mengajarkanku tentang bagaimana tulusnya menunggu dan mengikhlaskan sesuatu.
Hujan mungkin juga ingin mengajarkanku tentang bagaimana semua hal itu akan indah pada waktunya.
Hujan...
Ternyata aku salah terhadapmu. Sedari dulu kau memang ingin mengajarkan sesuatu kepadaku.Tapi, memang salahku yang tak pernah menyadari itu.
Sekarang aku sudah tau apa yang harus kulakukan.
Ini memang tidak adil buatku. Berbahagialah kalian seutuhnya, aku bantu mendoakan.
Berbahagialah kamu dengannya. Aku memperbaiki hatiku yang remuk sendirian. Menerima kenyataan.
Cintai dan perhatikan dia sedalam aku mencintai dan memerhatikannya. Jaga dia supaya tetap dalam kebahagiaan.
Terima kasih Hujan, kau simbol mengikhlaskan...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar