Hellowzzz Allzzz...
Kalo di dunia gamer, pasti sering kali denger kata 'Toxic' yang artinya racun. Istilah ini biasa digunakan ketika ada player yang hobi menggunakan kata-kata kasar di dalam game, mulai dari T*i, Anj***, K**t*l, Ngen***, dan lain sebagainya. Sesuai istilah Toxic yang artinya racun, mereka emang meracuni sportifitas dalam game.
Sebenarnya istilah Toxic itu merupakan plesetan dari kata yang awalnya adalah Talk Shit, bicara berak. Bicara sambil berak. Gitu gak sih?
Yaaa intinya Talk Shit adalah ngomong kotor.
Di dalam kehidupan sehari-hari juga ada istilah yang merepresentasikan seseorang dengan mulut yang cukup sampah, yaitu 'Market'.
'Ihh Market banget sih..' pas denger orang ngomong 'lont* kau'.
'Iya, aku barusan dari Shock Market..' ujar orang yang barusan belanja di pasar kaget.
'Di deket pohon kaktus aku Market motornya tadi...' Iya yang ini enggak lucu.
Nah di postingan ini aku pengen nyeritain Talk Shit yang aku lakuin sama temen aku. Eitss, tapi ini Talk Shit yang bermanfaat. Jangan berburuk rupa sangka dulu ya. Tapi emang iya sih omongan kami tai semua
* * *
Pemeran utama kita di postingan kali ini adalah Aidil, seorang temen aku dari SD. Dari jaman masih hobi ngadu ikan cupang, sampai jaman melototin paha cewe, kami masih berteman dekat. Alasannya satu, kami gay punya banyak kesamaan dari pemikiran dan cara pandang terhadap sesuatu.
Tapi, setelah udah masuk ke zaman di mana sekolah udah selesai, kami punya jalan berbeda. Aku kuliah di Universitas Riau jurusan Akuntansi, sedangkan dia bekerja di BUMN yaitu PLN dan penempatannya di Kep.Riau. Dengan jarak yang tidak lagi sedekat dulu kami makin jarang ketemu dan udah gak pernah lagi saling tukar pemikiran seperti biasanya. Aidil biasanya pulang hanya 3 kali dalam setahun. Awal tahun, Idul Fitri, dan saat ada kepentingan keluarga.
Nah kebetulan baru kemarin dia cuti ke Pekanbaru untuk nengokin orangtuanya yang lagi sakit. Aku dikabarinya di hari pertama dia menjejakkan kaki ke Pekanbaru, dan kami justru baru bisa ketemu setelah masa cutinya hampir habis (malam sebelum ia balik ke Kepri). Yah faktor mengejar-ngejar dosen demi skripshit inilah salah satu alasannya. Gini amat jadi mahasiswa.
"Aneh ya, sekarang aku ngerasa kayaknya gak suka cewe lagi." Aku membuka percakapan setelah masuk ke mobilnya. Sungguh sebuah kalimat pembuka yang aneh.
"Lah, aku juga. Udah sejak dari 3 tahun lalu malah." Jawabnya, yang semakin membuat percakapan menjadi aneh.
Demi mengatasi percakapan agar gak semakin aneh aku langsung melakukan pembelaan, "Mmm. Bukan jadinya aku suka cowok ya, tapi..."
"Hampa." potongnya. "Iya, aku udah tau. Pasti ngerasa udah gak kayak dulu lagi. Misalkan ketemu cewe cantik, ngeliat atau apalah, di dalam hati dulunya ada rasa untuk mengenal dan memiliki. Tapi sekarang tiap ketemu yang dirasa cantik, baik, apalah, bawaannya cuma... Oh Yaudah. Gitu."
"Persis. Aku juga ngerasain hal yang sama. Kayaknya kita udah tua ya. Udah males sih ngerasain cinta-cinta yang penuh bacot dan gak ada ujungnya gitu."
"Aku udah ngerasain lama kayak gini, Ndi. Di awal-awal aku masuk kerja, kan jauh tu ya. Lingkungan baru dan penuh wajah asing. Hari-hari aku cuma gitu-gitu aja, bangun pagi, kerja, ketemu sama orang yang gak aku suka, atasan yang cerewet, lalu pulang sore dengan badan yang capek, setelah nyampe rumah udah gatau mau ngapain."
"Bahkan untuk jatuh cinta juga udah males ya?"
Aidil mengangguk. "Di fase aku sekarang, aku cuma ngejalanin hidup di lingkungan yang itu-itu aja, dan pergaulan emang sempit. Jadinya gak ketemu tuh cewek-cewek baru yang bisa digebet. Ujungnya cuma keinget yang lama-lama terus nyadar kalo mereka udah gak mau lagi sama aku."
"Aku baru ngerasain yang kayak kau ini baru beberapa bulan. Pas udah gak ada lagi kegiatan di kampus, dan gak ketemu orang banyak lagi. Aku cuma ketemu dosen, pulang, malam ngumpul WTS (sebutan temen-temen SMA kami), terus berulang tiap harinya."
"Tapi kan kau masih bisa ketemu cewek-cewek di kampus kau."
"Ah enggak. Cuma ketemu dosen doang. Kan udah aku bilang kayaknya aku gak bisa suka atau jatuh cinta sama cewek lagi."
Aidil diam sebentar dan lanjut menyetir. Kami sebenarnya keliling Pekanbaru tanpa arah, sementara jam menunjukkan hampir pukul dua belas malam.
"Oh iya. Kemarin aku dichat sama si Anu.." Dia menyebutkan sebuah nama yang aku sangat hafal. Nama seorang temen kami sewaktu SMA, dan dia ini adalah salah seorang cewek yang paling lama aku taksir dan (tentunya) gak pernah aku gapai.
"Kok bisa?" tanyaku heran.
"Gak tau tiba-tiba aja dia nge-Whatsapp. Katanya dia liat buku tahunan dan langsung ngambil nomor aku dari situ."
Dalam hati aku kesel juga sih dikit, si Anu aja gapernah chat aku huhu. Kan dari lama yang naksir dia itu aku lho. Berarti ampe sekarang aku masih gak dianggep doong sama dia.
"Terus?" tanyaku agar Aidil lanjut cerita.
"Kau tau kan dia sekarang kuliah Psikologi. Nah, kemarin aku numpang curhat dan aku ngebicarain tentang kondisi kehampaan kayak yang kita bahas ini. Terus si Anu jago, bisa nebak gimana-gimana kebiasaan aku, kondisi aku, pokoknya dia nebak semua hal yang aku alamin. Kayak mati rasa, bosan sama yang dilakuin, ngapa-ngapain gak enak, kurang tidur, dan intinya ciri-ciri itu menurutnya adalah gejala orang depresi."
"Wadu.."
Percakapan kami terhenti ketika kami melintasi rumah seorang yang dulu aku cintai. Bahkan kalau aku telusuri hati aku jauh ke dalam, masih ada sosoknya bersemayam. Saat melintasi rumahnya ini, aku melayangkan pikiran pada memori-memori di masa aku masih sering menjemputnya atau mengantarnya. Sejenak ada bayang wajahnya dengan senyum yang indahnya abadi.
"Kok lewat sini..." aku protes.
"Sengaja hahaha." lalu dia tertawa.
"Abis ini cari tempat makan aja."
"Asik ditraktirin juga hahaha."
"Loh kok aku. Yang udah kerja kan kau, Dil."
"Yah aku kan udah sering bayarin, pengen juga sesekali aku ngerasain duit kau."
"Okelah." setelah aku pikir-pikir aku masi punya uang sisa proyek sebelumnya yang belum terpakai sedikitpun. Niatnya sih dari dulu pengen ngabisin untuk jalan-jalan sama cewek, tapi berhubung gaada cewek yang bisa dan gaada yang mau juga aku ajakin, yaudah sih.
"Yang mahal ya. Hahaha."
"IYAA NJING."
Kami makan di tempat makan favorit aku kalo udah jam segini. Namanya Bofet Radar. Selain karena rame dan menunya banyak, di sini martabak mesirnya adalah daya tarik paling dahsyat. Aidil memesan martabak mesir yang jumbo dengan niat yang udah aku tebak: sengaja bikin aku bangkrut.
Di sela-sela menikmati makanan, kami melanjutkan cerita.
"Gimana lah ya, nasib aku kalo udah lulus. Njir... Kalo tahun ini tamat, terus kalo misalkan rezeki aku cepat dapat kerja, berarti kurang dari setahun aku bakalan ngerasain fase yang kau ceritain malam ini dong. Gak terasa ya, bangsatlah."
"Udah tua kita ni. Nanti kau rasakan lah sendiri. Makin kecil dunia kau ni rasanya. Penuh dengan hal-hal yang itu-itu aja." ia lanjut mengunyah martabak jumbo itu. "Udah paling bener pekerjaan itu jadi pengusaha."
"Asli aku takut lah kalo ternyata pas udah lulus nanti, dunia gak berpihak sama aku. Mimpi-mimpi yang dulu aku khayalkan, gak bisa diapa-apain sama sekali. Kau ya enaklah udah pegawai PLN. Sampai tua juga udah terjamin hidupnya."
Aidil menyelesaikan teguk terakhir minumnya. Sebelum sempat sendawa, ia mengatakan, "Gak usah kau pikirkan kali. Intinya kau jalanin aja apa yang ada di sekarang dengan sebaik-baiknya. Gak mungkin kan masa depan kau jelek sementara kau ngejalanin apa yang ada sekarang dengan maksimal."
"Hmm gitu.."
"Iyalah, kau lakuin aja yang bagus sekarang, gak mungkin di masa depan kau malah dapat yang gak bagus."
"Hmm."
"Jujur ya aku mana ada pernah tebersit dulu aku bakal jadi kayak sekarang. Eh tau-taunya aku sampai di titik ini kan. Bahkan sekarang pun masih tetep gitu."
"Sekarang emang kau gimana?"
"Nih ya, temen-temen kantor aku tu sekarang kalo nanyain aku, kau mau apa dil besok kalo udah bla bla bla... Aku cuma jawab, gak tau. Terus mereka jelasin mau mereka kayak ginilah gitulah, pokoknya dream high."
"Terus?"
"Sedangkan aku cuma mikirin gimana aku bisa nikmatin hidup aku sekarang dengan enak. Sebisa mungkin aku menyamankan diri sendiri aja. Ambil contoh. Aku bahkan ngebeli hal-hal yang gak penting untuk isi rumah. Kalo kata temen kantor mereka biasanya ngomen, eh Dil kok kau beli ini, kan nanti susah kalau misalnya dipindah tugas ke kota lain, mutasi, dan sebagainya."
Aku masih menyimak.
"Ya aku bilang aja, intinya aku nyaman dengan apa yang ada sekarang, urusan nanti pindah atau yang lainnya nanti aku pikirkan. Aku cuma pengen nyaman, dan gunanya aku beli peralatan rumah yang padahal rumah aku kan masih ngontrak, itu supaya aku ngerasa kalo aku emang beneran di rumah, jadi aku nyaman dan bahagia."
"Iya sih.."
"Kalo dipikir sih, bener emang kata orang-orang. Hidup ni gak cuma tentang harta. Mau sampai kapan kalo nyari harta. Lagian nyimpen-nyimpen tabungan, takut beli ini-itu karena alasan kau takut dengan masa depan yang mau kau hadapi, gak ada juga gunanya. Buat apa mempersiapkan masa depan sehebat itu seolah kau tau masa depan, melampaui Tuhan, sampai menyingkirkan kebahagiaan kau sendiri di masa sekarang. Bener kok, bahagia gak bisa dibeli sama harta, sama uang.
"Jujur ya di awal kerja dan punya uang sendiri, aku malah ngerasa takut nanti gak cukuplah apalah, pokoknya gak ada senang-senangnya kalo mikirin uang ini habis buat apa aja. Eh setelah dijalanin tanpa mikir, tetep aja kok cukup uangnya. Intinya bahagia."
Aku beranjak dari tempat duduk, menghampiri kasir, menepati janji menafkahi Aidil.
"Ehaak bos bayar." katanya sambil tertawa.
"Uang kan gak bisa beli kebahagiaan, ngapain disimpan-simpan."
Kami tertawa.
"Besok balik ke Uban (nama tempat di Kep.Riau) jam berapa kau?" tanyaku saat dalam perjalanan pulang.
"Pesawat pagi. Berangkat selesai shalat Shubuh."
"Nanti aku kalau udah selesai dengan segala tetek-bengek urusan skripsi ini, aku main ke rumah kau ya."
"Siap. Gausah rencanain-rencanain gitu, nanti gak jadi-jadi. Kan udah aku bilang, jalanin aja yang sekarang dulu."
"Hahaha. Oke, fokus dulu ya skripsi sambil nabung, baru nanti liburan tempat kau."
"Sip."
Mobil melaju di jalanan yang kosong karena sudah larut malam. Kosong, hampa. Seperti perjalanan hidup kami berdua.
“Toxic” derives from the Greek “toxikon pharmakon,” meaning “poison for arrows.” "Oxford English Dictionary"
BalasHapus