Sudah seminggu terakhir aku mimpi aneh. Bukan mimpi buruk, bukan pula mimpi basah. Mimpi yang terasa begitu nyata. Tiap detil gambaran yang entah kenapa begitu sempurna. Hingga pada akhirnya aku terjaga dan berakhir pada rasa kecewa. Hei tapi ini benar, aku tidak bisa lagi membedakan mana yang alam bawah sadar dan mana yang dunia nyata. Terlalu tampak sama, tidak ada yang berbeda. Aku sendiri tidak percaya, bagaimana bisa aku memimpikannya?
Kalian tau? Gara-gara mimpi itu, tidak ada lagi yang namanya konsentrasi dalam otakku. Dalam diam, selalu terbayang kejadian itu, mimpi itu. Kata mereka yang melihatku, akhir-akhir ini aku selalu duduk dengan tatapan kosong, seolah-olah pikiranku tengah melayang. Terkadang, mereka yang simpatik selalu datang menepuk pundakku dan membuyarkan lamunanku. Dan terkadang mereka juga bertanya tentang apa yang kupikirkan. Entah mereka memang peduli atau hanya sekedar basa-basi. Yang jelas tanggapanku selalu sama, menggelengkan kepala sambil mengangkat senyum yang dipaksa. Senyum berbeda dengan yang kulihat di dalam mimpi-mimpi kemarin. Senyum penuh ketulusan yang riang gembira. Senyum siapa lagi kalau bukan senyumnya. Senyum perempuan yang ada di sana.
Ah ya, benar juga. Aku baru menyadari kalau perempuan itulah yang ada di dalam mimpiku beberapa waktu lalu. Di dalam mimpi, dia menghantarkan kebahagiaan untukku. Menebar senyum mempesona yang takkan pernah bisa kulupa. Baru saja aku terangkat oleh kemekaran bunga-bunga tidur itu, aku terjaga. Refleks, mulutku menggerutu kesal, "Ah sial. Ternyata hanya mimpi."
Malam berikutnya, aku memimpikan dia lagi. Kali ini lebih terasa kedekatan di antara kami berdua. Kami seolah-olah saling mengenal. Mungkin lebih dari sekedar kenal, lebih tepatnya akrab. Aku ingat, aku sudah menggandeng tangannya di malam ini. Dan lagi-lagi waktu itu aku belum sadar itu hanya mimpi, hingga akhirnya kekesalan timbul lagi. Ya, aku terjaga lagi di kala kesenangan itu mulai menghampiri.
Mimpi itu selalu bersambung hari demi hari. Aku dan dia (di dalam mimpi) benar-benar sangat dekat. Dan...hei? Kenapa aku baru sadar sekarang. Aku dan dia di alam nyata terlalu berbeda. Kami, bahkan tidak saling kenal. Mata kami tidak pernah bertemu seperti yang terjadi di dalam mimpi. Tapi senyumnya, yang ada di dalam mimpi maupun di alam nyata benar-benar sama. Bedanya hanyalah pada sisi aku menikmati senyumnya. Di mimpi, aku menikmati senyumnya dari dekat, senyum untukku. Di dunia nyata, aku menikmati senyumnya dari jauh, hanya dari jauh, dan bukan pula untukku.
Hari ini, ada sesuatu yang spesial di alam nyataku. Dirinya berjalan melewatiku, di hadapanku, di depan kedua bola mataku. Seperti yang diduga, aku dan dia sama sekali tidak saling menyapa. Dia sama sekali tidak seperti perempuan yang mengecup pipi kiriku di dalam mimpi waktu itu. Dia berbeda. Ataukah dia tercipta hanya untuk hidup dalam mimpiku saja? Ya, kau mungkin hanya mimpi bagiku dan tak untuk jadi nyata.
Dengan ditambahnya malam tadi, genap seminggu aku memimpikannya tiap malam. Dan mungkin tadi malam adalah puncaknya. Akhirnya saat itu tiba juga. Bibirku bergerak begitu saja mengucap kalimat yang telah lama tak bisa kuluapkan. Dalam gandengan tanganku saat itu, dia terpaku sejenak setelah mendengar kalimat yang barusan kuucap. Kalimat yang berupa pertanyaan tentang sebuah kesediaan. Ditatapnya mataku dalam-dalam, lalu berkata, "Kamu yakin?". Aku mengangguk. "Baiklah, kita jalani saja." Lanjutnya lagi.
Aku melayang mendengar jawabannya. Melayang begitu tinggi, terlalu tinggi, saking tingginya aku tidak bisa mengendalikan diriku dan terjatuh. Aku tersadar. Carut-marut keluar dalam mulutku, kekesalan yang tak bisa tertampung lagi sudah tumpah tak terkendali.
Aku tak tahan lagi hanya memilikinya dalam mimpi. Gelora dalam dadaku menyuarakan agar aku segera bergerak cepat. Tekadku sudah bulat.
***
Pagi ini terlalu cerah, membuatku gerah. Mungkin suhu terlalu panas, atau aku yang memang terlalu berapi-api. Sesuai harapan, perempuan itu muncul lagi di hadapanku, dan akan berjalan melewatiku. Kali ini aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan lagi.
"Hai... Aku Andi." Ucapku sambil mengulurkan tangan di hadapannya. Aku takut dia merasa risih dengan cara langsung-ku ini dan enggan menyambut tanganku.
Ternyata dugaanku salah.
Dia menyambut tanganku,
"Hai..." Jawabnya sambil menebar senyum mempesona itu.
Senyum yang sama seperti yang kulihat di mimpi pertama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar