Seumur hidup, ada tiga gadis yang berhasil memporak-porandakan hidup aku.
Pertama, Sang Penggila Korea.
Kedua, Nona Pecinta Hujan.
Dan ketiga, Perempuan yang Pandai Bercerita.
Mungkin, untuk yang pertama dan kedua, sudah cukup banyak karya-karyaku yang mengabadikan mereka. Bahkan, pembaca yang sejak lama singgah di sini juga tau mereka itu siapa dan di karya apa saja yang menceritakan mereka.
Yang ke tiga?
Masih terlalu misterius.
Bukan karena aku tidak benar-benar jatuh hati sama dia -selayaknya yang pertama dan kedua- sehingga aku malas menceritakan dia. Namun lebih tepatnya karena kisah aku dan perempuan yang pandai bercerita ini masih terus berlanjut sampai detik postingan ini dibuat.
Entah akan bagaimana akhir kisah aku dan Perempuan yang Pandai Bercerita ini, yang jelas, izinkan aku untuk mulai mengabadikannya.
* * *
Aku benci ketika harus menyadari bahwa kami benar-benar terlihat seperti tidak akan dipersatukan. Tapi aku juga tidak bisa senang saat menyadari kemungkinan yang menerangkan bahwa takdir sepertinya berkenan mempersatukan.
Perempuan yang Pandai Bercerita ini seperti mempunyai kekuatan yang mampu meluluhkan hati banyak orang, salah satunya aku.
Aku adalah satu dari sekian orang yang berhasil dibuatnya jatuh sejatuh-jatuhnya.
Tidak seperti mereka, para pendahuluku, yang telah jatuh berkeping-keping olehnya, aku masih bertahan dengan selalu mengingatkan diri sendiri agar segera sadar ketika dia mulai mengeluarkan kekuatannya untuk menaklukkan hati orang-orang di sekitarnya. Aku masih sanggup menahan aura magis miliknya-yang kutau- begitu besarnya, setidaknya satu tahun lamanya.
Masih tampak jelas bagaimana aku, dan Perempuan yang Pandai Bercerita berkenalan. Tak ada kecanggungan kala itu, seolah-olah kita memang telah saling mengenal sebelumnya. Nyatanya, kita benar-benar bertemu untuk yang kali pertama. Aneh juga, ketika kita seolah sudah saling mengenal belasan tahun, dan realitanya kita hanyalah dua orang asing yang baru saja bertemu.
Sejak saat itu, dia, adalah virus berbahaya sekaligus penawar untuk perasaanku dalam satu paket.
Aku benci ketika harus bertengkar dengan dia. Kami bertengkar selayaknya dua orang yang berada dalam ikatan. Nyatanya, tentu saja tidak ada apa-apa di antara kita. Lagi-lagi aku tidak mengerti apa yang ada di antara kita.
Perlukah dua orang teman biasa bertengkar begitu hebatnya?
Bagi aku sendiri, masalah kecil layaknya tak perlu dibawa sampai ke hati, kecuali saat bermasalah dengan orang yang sudah menaruh hati.
Tidak tentu arah kah hubungan kita?
Begitulah.
Seperti ada tujuan, namun tidak tampak. Seperti ada hasrat, namun enggan bergerak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar