Beberapa hari yang lalu memory card DSLR aku
hilang. Udah dicari kesana-kemari masih belum ketemu juga. Di tas, di
lemari, di kantong celana, di rumah mantan, tetap gak ketemu. Dari sekian tempat yang punya skill
buat nyelipin barang, ada satu
tempat yang belum aku
periksa. Rak buku.
Pas mau meriksa rak buku, rasanya males banget.
Alasannya sederhana. Rak buku ini udah terlalu berantakan dan penuh debu. Debunya bahkan sampai
menggumpal kayak debu di hati aku, hm. Terakhir kali aku bersihin rak buku ini kayaknya sebelum abang aku nikah deh, kira-kira bulan
April yang artinya udah hampir 7 bulan yang lalu.
Berhubung uang gak ada buat beli memory card
yang baru, yaudah deh bela-belain nyari di rak buku yang super berantakan itu
sambil sekalian ngerapihinnya lagi. Aku mulai ngerapiin bagian kirinya dulu dengan kemoceng. Beberapa
buku yang tampaknya udah gak tertata dengan rapi lagi aku ambil dan disusun kembali dengan judul-judul atau
genre tulisan yang ada korelasinya.
Di sisi kiri ini penuh buku-buku politik,
sejarah, juga agama. Ada buku sejarah G 30 S/PKI, ada biografi Bung Karno, dan
juga ada buku tentang keindahan kamu Surga. Beberapa buku ini ada
yang udah aku baca berulang kali, tapi ada juga yang baru sekali dan gak pernah
baca lagi.
Lanjut ke bagian tengah rak, aku
susun dengan buku-buku fiksi macam novel dan kumpulan cerpen yang aku punya. Bagian
tengah ini jumlahnya sangat mendominasi alias paling banyak. Soalnya sehabis baca, aku beli lagi yang baru, baca lagi, beli lagi. Udah jadi sugesti sendiri buat gak baca novel-novel itu
lebih dari satu kali, kan endingnya juga bakal sama~
Sisi kanan, aku susun dengan
novel Sherlock Holmes dan komik kesukaanku: Detektif Conan. Sayangnya, beberapa
volume ada yang nyasar entah kemana. Padahal udah mulai ngoleksi komik ini dari jaman SD. Kesal sih, tapi yaudah mau gimana lagi. Kita emang harus selalu siap
kehilangan sesuatu yang kita perjuangkan sejak lama kan, bosku?
Pas ngeberesin di bagian ini, ada
sebuah bloknot kecil berukuran dompet yang terselip di antara komik volume 69
dan 69 (komik 69 ada dua biar jadinya foursome). Cover bloknot ini bergambar monumen Arc de Triomphe, Paris. Tau kan? Yang ini neeh...
Aku kenal banget sama bloknot ini tanpa harus membuka halaman pertama yang bertuliskan
nama pemiliknya.
Yap, bloknot ini bukan punyaku, melainkan milik seseorang yang dulu memberikan bloknot ini sesaat sebelum perpisahan kami berdua. Awalnya aku pikir ini sebagai sebuah kenang-kenangan darinya karena kami sama-sama tau bahwa kami akan berpisah. Tapi setelah ia bilang, “Simpanlah, nanti baca setelah sampai di rumah.” aku yakin bloknot ini lebih dari itu.
Dengan tatapan
yang seolah menolak untuk pergi, ia tersenyum sejenak. Tanpa berkata-kata, ia membalikkan badan, lalu
berjalan menjauh dan tidak menoleh lagi. Melihat dia pergi, rasanya jantung
pengen meletus karena aku sadar bahwa gimanapun juga dia gak bakal kembali.
Dengan membawa sejuta rasa penasaran aku baca bloknot itu seketika
sampai di rumah.
Halaman demi halaman berisi tentang apa saja hal menarik yang terjadi dalam hidupnya, beberapa dituliskan melalui kalimat pendek, beberapa menggunakan gambar atau foto sederhana, bahkan ada yang menggunakan benda-benda kecil yang berhubungan dengan kejadian menariknya di hari itu.
Halaman demi halaman berisi tentang apa saja hal menarik yang terjadi dalam hidupnya, beberapa dituliskan melalui kalimat pendek, beberapa menggunakan gambar atau foto sederhana, bahkan ada yang menggunakan benda-benda kecil yang berhubungan dengan kejadian menariknya di hari itu.
Aku gak tau kategori buku ini apa, yang jelas ini bukan diary.
Aku baca semuanya perlahan, kata demi kata, kalimat demi kalimat, dan halaman demi halaman. Hingga akhirnya sampai
di halaman yang menceritakan bagaimana kami bersatu.
Aku tersenyum sejenak karena membayangkan kejadian yang dia tulis itu.
Lanjut ke halaman-halaman berikutnya yang juga masih tentang kami, dia menuliskan isi hatinya dalam sebuah kalimat. Beberapa lagi dalam satu paragraf yang ditulis dengan tinta warna-warni.
Aku tersenyum sejenak karena membayangkan kejadian yang dia tulis itu.
Lanjut ke halaman-halaman berikutnya yang juga masih tentang kami, dia menuliskan isi hatinya dalam sebuah kalimat. Beberapa lagi dalam satu paragraf yang ditulis dengan tinta warna-warni.
Berlembar-lembar halaman bahagia itu perlahan berganti dengan
kutipan-kutipan menyedihkan, gambar-gambar yang penuh emosi, bahkan ada yang
hanya berupa sebuah coretan pena yang abstrak. Aku menafsirkan ini sebagai hari
kami bertengkar dan semacamnya.
Meski memori buruk itu juga sempat terbayang, aku memilih melanjutkan membaca hingga halaman terakhir.
Meski memori buruk itu juga sempat terbayang, aku memilih melanjutkan membaca hingga halaman terakhir.
Bloknot itu berakhir pada sebuah halaman yang bertuliskan:
Entah apa maksudnya, aku masih belum mengerti makna yang sebenarnya
sampai sekarang (kalau tau silahkan comment di bawah).
Satu hal yang bisa aku pastikan. Dia masih tetap menjadi alasan sekaligus tujuan atas segala hal yang saat ini sedang aku perjuangkan.
Satu hal yang bisa aku pastikan. Dia masih tetap menjadi alasan sekaligus tujuan atas segala hal yang saat ini sedang aku perjuangkan.
Pencarian memory card berujung pada penemuan satu hal berharga lainnya.
Terakhir, aku letakkan bloknot itu bersama dengan deretan buku-buku favorit lainnya. Ternyata di rak buku pun gak ada memory card nyelip. Yang ada malah bloknot seukuran dompet yang nyelip.
Terakhir, aku letakkan bloknot itu bersama dengan deretan buku-buku favorit lainnya. Ternyata di rak buku pun gak ada memory card nyelip. Yang ada malah bloknot seukuran dompet yang nyelip.
Eh..
Dompet?
Wait.
PLR -,-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar