Udah nyaris 2 minggu lebih gak ada nge-blog, akhirnya sekarang akhirnya kesampaian. Selain karena faktor kuota, faktor ide juga punya peran utama untuk menghambat update-an blog ini. Oh iya...Selain itu, juga mungkin karena aku udah mulai iseng-iseng nulis di wattpad. Kisahnya masih seputar "Jomblo" juga kok. Hanya saja tulisan aku disana lebih berkonsep dan gak se-random disini.
Buat kalian yang mau coba lihat tulisan aku di wattpad, nih ada link-nya: http://www.wattpad.com/story/4372948-kisah-jomblo-berprinsip Masih belum kelar sepenuhnya sih, yang penting jangan lupa di vote ya teman ;-)Baik... Aku akan bercerita sedikit tentang hari ini. Seperti hari Kamis biasanya, aku punya mata pelajaran penjaskes atau yang biasa kita sebut sebagai olahraga. Nah, olahraga hari ini adalah yang paling lemah untuk aku kuasai, yah walau emang sebenarnya semua olahraga aku lemah sih. Tapi, yang ini emang paling lemah. Yaitu: Lari maraton. Hari ini lari-nya berjarak sekitar 1000m, yaitu 4 keliling. Aku mendengar kata empat keliling aja udah hampir pingsan, apalagi larinya. Secara aku untuk lari 1 keliling aja udah muntah-muntah+mencret, apalagi 4 keliling? Bisa-bisa aku muntah mengeluarkan paru-paru dan mencret mengeluarkan usus dan ginjal.
Akhirnya, dimulailah penyiksaan itu. "Yak!" kata guru aku sebagai tanda dimulainya saat-saat terakhir hidupku.
Satu keliling, nyawa aku masih aman. Mukjizat!
Masuk ke putaran kedua, kaki udah mulai goyang + nafas mulai kayak babi kena asma.
Putaran ketiga, pandangan aku kosong, pikiran kacau. Kecepatan pengambilan nafas waktu itu adalah 3 kali/detik.
Putaran terakhir adalah yang terasa paling lama. Baut di lutut aku kayaknya udah nyecer entah kemana. Pandangan berkunang-kunang. Waktu itu aku berlari di posisi ke-5 dari 7 orang. Yah setidaknya masih ada dua orang yang lebih lemah daripada aku. Padahal mereka badannya lebih besar daripada aku. Sebut saja Gigih, yang mana makannya dua kali tiap hari, dua kali sejam maksudnya. Dia aja gak kuat untuk lari kayak gini. Apalagi aku yang makan cuma 5 kali tiap hari, lima sendok teh. Permasalahannya adalah 4 orang di depan aku yang nyawanya kayak kuda. Aku mulai berpikir gimana caranya menyusul mereka: Aku punya dua pilihan: Pertambah kecepatan lari atau Menikam mereka dari belakang. Aku lebih memilih pilihan pertama setelah menyadari kenyataan bahwa aku gak punya pisau untuk menikam mereka. Tapi ternyata untuk melakukan pilihan pertama sangat sulit, karena waktu itu nyawa aku emang udah habis. Seperti ultramen pada saat lampu di dadanya udah ngedip-ngedip warna merah. Saat-saat itu aku mulai entah kenapa kunang-kunang di pandangan aku menghilang, lalu berganti dengan bayangan wajah ayah, mama, abang, dan adikku di hadapanku. Seolah-olah itu adalah saat-saat terakhir aku untuk hidup.
Rupanya Allah berkehendak lain, aku masih ditakdirkan untuk hidup. Aku akhirnya mencapai finish dengan basah kuyup. Mungkin kalau baju aku diperas, bak mandi kalian mungkin bisa penuh, atau bahkan kita bisa membuat kolam renang yang besar.
Dari lari maraton, aku mendapatkan sebuah pelajaran tentang perjuangan untuk mencapai sesuatu (atau dalam hal ini garis finish):
Di saat kita berada di kondisi yang paling tidak memungkinkan untuk mencapai sesuatu, jangan pernah berhenti hanya untuk mengeluh. Tapi, tetaplah lari dan berjuang untuk sampai ke garis finish. Sebab, tidak akan ada sebuah perjuangan yang tidak mempunyai hasil akhir. Artinya, gak ada sesuatu yang diperjuangkan cuma akan berakhir dengan sebuah kesia-siaan. Lantas? Kenapa perlu takut untuk melakukan sebuah perjuangan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar