About Me

Foto saya
Hanya orang biasa yang menyempatkan untuk berkarya.

Jumlah yang sudah singgah

Senin, 29 April 2013

Di Hadapan Senja

"Maaf aku gak bisa." Ucapmu dengan tatapan berbinar yang terpancarkan dari bola mata indahmu yang bulat seperti mata bayi. Alismu yang hitam pekat meluapkan kesungguhan bersumberkan hati yang memahat kejujuran. Keheningan yang terjadi setelah itu semakin memperjelas degup jantungku yang kian lama kian menggebu-gebu dan seolah-olah tak mau tau seberapa hancurnya aku. Hatiku gelap, hitam pekat, seperti kopi yang berdansa mesra dengan langit malam. Kau mungkin tidak tau bahwa hatiku telah kuberikan seutuhnya hanya untukmu. Namun apa? Ketulusanku ternyata kau balas dengan memukulkan segenap penolakan yang membuat hatiku yang tadinya utuh menjadi tak berbentuk. Penyok disana-sini. Atau kupikir ini sudah hancur. Musnah.

Berbeda memang, nasibku dengan nasibnya. Aku disia-siakan, dan dia menyia-nyiakan. Iya, dia...

Apa kau melihat lelaki yang duduk termangu menatap senja sendu itu? Ya, dia temanku. Teman dekatku. Sahabatku.
Kemarin kuhampiri dia yang masih dalam pose sama seperti saat ini. Duduk menatap matahari yang perlahan tenggelam di antara semburat jingga hangat. Kedua kakinya ditekuk, lututnya menengadah ke langit, punggungnya terbungkuk ke depan, hingga dagunya terletak nyaman di celah yang tercipta oleh kedua lututnya yang didempetkan. Rasa penasaran membawaku berjalan mendekatinya. Kutepuk pundaknya perlahan, badannya menggelinjang pelan, seperti terkejut. Mungkin waktu itu pikirannya sedang kosong, atau...sedang menyesali sesuatu.




Sudah dua hari ini aku bertemu dengannya, sahabatku, disini. Di bukit kecil favoritku, tempat paling strategis untuk menyaksikan keindahan semburat jingga pada langit senja. Kalian tau? Tempat ini memang sudah menjadi tempat curhatku apabila aku tengah dirundung kegalauan dan kegelisahan, atau...seperti saat ini yang kurasakan. Sebuah penyesalan.

Aku sadar, aku salah telah menyia-nyiakannya. Dia, gadis manis yang kemarin sempat mengisi hari-hariku waktu itu, Silverqueen-ku. Ya, begitulah aku menjulukinya. Entahlah...Aku pun tidak tau alasan apa yang membuatku tertarik membuat julukan itu. Semua terjadi begitu saja.

Silverqueen.
Ratu perak yang menjelma menjadi coklat manis ini memang kesukaan semua orang. Sama seperti gadis yang pernah menggenggam hatiku erat kala itu. Dia memang manis, dan semua orang suka padanya. Suka pada caranya bersosialisasi dan berjiwa besar terhadap semua orang. Mungkin itu menjadi alasannya. Mungkin. Aku tidak terlalu yakin.

Semua terjadi begitu saja, pikiranku entah kerasukan apa dan dipengaruhi apa, aku membuat hatinya hancur. Gadis manis itu kusia-siakan begitu saja. Semua orang seolah berdemonstrasi atas langkah yang kuperbuat. Wajar, gadis itu memang idola semua orang, aku tau itu. Aku tau itu sekarang lebih tepatnya. Sebab, dulu, hatiku buta. Aku lebih memilih wanita itu, seseorang yang tiba-tiba menyusup di antara celah-celah kasih yang telah kami ciptakan saat itu. Mengapa bisa terjadi? Aku sudah bilang, aku tidak tau. Pikiranku entah kerasukan apa saat itu.

Di hadapan senja inilah aku menyesali semuanya. Saat aku mulai mencoba untuk memperbaiki segalanya, dia merespon tanpa mengeluarkan kata-kata. Aku tau artinya.
Aku sadar, dan aku menyesal, telah membuat hatinya terlalu hancur, hingga tak ada yang mampu memperbaiki. Aku tau. Kebodohanku-lah yang menyebabkan ini semua, kebutaan hatiku juga.

Aku hanya bisa termenung dengan tatapan kosong, di hadapan senja yang sendu ini. Sampai akhirnya, sahabatku datang menghampiriku, menepuk pundakku, dan memberikan suatu kalimat yang tak mungkin aku lupa. Kalimat yang benar-benar di luar dugaan, begitu cocok dengan apa yang kurasakan. Dia memang sahabatku terhebat, tau apa masalahku tanpa pernah aku beri tau. Kalimat-kalimatnya di hadapan senja ini, hanya bisa kujawab dengan sebuah anggukan sederhana.




Aku tau, dia sedang menyesali sesuatu. Itulah makanya sekarang aku berada di sampingnya, mencoba memberikan kata-kata indah dan hangat melebihi cahaya jingga senja yang sekarang kami tatap bersama ini.
"Kau tau? Manisnya silverqueen-mu telah habis. Kau terlalu lama menyia-nyiakannya. Dan apa yang kau dapat setelah manis itu hilang? Itulah kepahitan dari serbuk-serbuk penyesalan yang mungkin sekarang sedang kau rasakan. Percayalah atau apabila perlu kau catat, ini pesan dari seseorang yang telah disia-siakan, untuk seseorang yang telah menyia-nyiakan."

Di hadapan matahari yang mulai terbenam perlahan dan menyisakan semburat jingga yang indah, dia mengangguk.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar