About Me

Foto saya
Hanya orang biasa yang menyempatkan untuk berkarya.

Jumlah yang sudah singgah

Selasa, 14 Mei 2013

20 Detik Keberanian

Gadis itu lagi. Masih saja dengan senyum yang sama. Apa dia tidak bosan melakukan hal yang sama dan itu-itu saja setiap harinya? Aku heran apa yang menyebabkannya mampu bertahan selama ini. Aku yang baru seminggu tinggal disini saja sudah begitu merasa bosan. Hanya seminggu. Dan gadis itu, sudah tinggal disini selama bertahun-tahun.

Kalau bukan karena ayahku, aku mungkin tidak akan pernah menginjakkan kaki di desa kecil dan terpencil ini. Pada liburan kali ini ayah ingin memberiku suatu nuansa liburan yang berbeda. Dia ingin mengajakku ke tempat yang segar dan enak untuk bersosialisasi. Aku tau, semua ini dilakukannya untuk menghiburku yang tak pernah bisa berhenti bersedih dan menyendiri sejak ibuku meninggal. Ayah mungkin ingin membuatku kembali seperti dulu, anak yang ceria dan suka bersosialisasi. Makanya dia mengajakku untuk menghabiskan 2 minggu liburanku disini. 

Desa ini bernama Bonbin. Nama yang unik memang. Waktu aku bertanya kepada ayahku kenapa namanya bisa se-aneh itu, ayah menjelaskan bahwa Bonbin itu adalah sebutan lain dari Kebun Binatang. Kata penduduk setempat, desa ini memang sudah seperti kebun binatang. Sebab banyak sekali spesies hewan yang saling hidup berdampingan dengan warga desa disini. Hal itu memang bisa kubuktikan dengan mata kepalaku sendiri. Kemarin kulihat ada warga yang memberi makan pada hewan-hewan liar disini dengan ikhlas, seolah-olah mereka adalah teman.
Benar-benar tempat yang penuh sosialisasi. 
Cocok.

Oh ya, kembali ke gadis tadi. Namanya Lily. Gadis yang seumuran denganku, 14 tahun. Setidaknya itulah yang kudengar dari bibi Riana, pemilik penginapan kecil di desa ini. Walaupun ini desa terpencil, tapi penginapan bibi Riana tidak pernah sepi. Sebab desa ini lumayan terkenal dengan udara segarnya. Dan bagi warga kota yang jarang mendapatkan udara segar, desa ini ibarat harta karun.
Nah Lily, merupakan keponakan bibi Riana. Dia tinggal di penginapan ini bersama bibi Riana sejak 5 tahun lalu. Kedua orangtuanya meninggal dunia kala itu dikarenakan suatu kecelakaan. Itulah alasannya bibi Riana mengangkat Lily menjadi anak selain karena dia memang tidak punya anak. 

Aku ingat sekali saat awal pertemuanku dengan Lily seminggu yang lalu, saat aku dan ayahku mendaftar sebagai tamu di penginapan ini. Dengan senyuman yang manis (menurutku), Lily mengantarkanku dan ayahku ke kamar yang akan kami sewa. Saat sedang mengantarkan kami ke kamar itu, dia berjalan berdampingan denganku dan bercerita banyak hal. Karena aku terlalu bad mood saat tau tempat liburanku hanya sebuah desa terpencil, aku tidak menghiraukan ceritanya. Dan kupikir dia memang sempat memperkenalkan nama saat itu, tapi aku tidak menyimaknya. 

Aku ingat juga hari keduaku di penginapan ini. Lily datang mengantarkan beberapa potong Sandwich secara sukarela kepadaku. Dia bilang kalau itu buatannya sendiri dan bukan merupakan bagian pelayanan dari penginapan ini. Itu murni hanya inisiatifnya. Aku mengiyakan saja apa yang dia katakan dan tidak memperdulikan kehadirannya. Waktu itu aku sedang mencoret-coret kertas kanvas yang kubawa dari kota kemarin. Lily yang melihatku sedang asyik seperti ini langsung duduk tepat di sebelahku. Rambutnya yang panjang dengan ujung bergelombang sesekali menggelitikku ketika kami duduk berdekatan.

"Gambarmu bagus." kata Lily.
"Oh ya?" Aku mencoba menanggapinya.
Dia mengangguk.
"Kamu berbakat. Aku suka gambarmu." Lanjutnya sambil tersenyum.
"Oh terima kasih." Sahutku sambil memalingkan wajahku dari hadapannya dan melanjutkan menggores-goreskan kanvas dengan pensil ini.
"Tapi gambarmu ini terlalu gelap."
"Wajar gelap. Sebab ini dunia bawah tanah. Tidak ada matahari disana." Jelasku pada Lily.
Lily mengangguk seolah mengerti.
"Aku pergi dulu ya. Ini rotinya jangan lupa dimakan." Ujarnya singkat, lalu menyisakan senyuman yang sama lagi kepadaku. Kutatap wajahnya, lalu kubalas senyumnya dengan senyumku yang agak dipaksa.

Esoknya, pada sore hari sekitar pukul empat, Lily kembali membawakanku makanan. Namun kali ini dia tidak bercerita kepadaku. Hanya senyum yang dia berikan saat memberikan kotak makanan yang dibungkus plastik tersebut. Tanpa banyak bicara, dia meninggalkanku yang belum sempat mengucapkan terima kasih padanya. Kulihat di dekat kotak makanan itu ada kertas yang terselipkan. Kubuka lipatan kertas itu dan mendapatkan sebuah gambar disana. Mungkin Lily yang melukisnya. Sebuah gambar matahari yang tersenyum. Aku tau maksud gambarnya, lalu mengangguk sambil tersenyum penuh arti. Lily, gadis yang penuh kejutan.

Pada hari keempat aku disini, Lily mengajakku ke suatu tempat di desa ini. Tepatnya di bagian utara dari desa Bonbin. Dia bilang ini adalah tempat favorit-nya. Dan wajar saja, tempat ini indah. Lebih dari indah. Tempat ini sempat mengubah persepsiku tentang desa Bonbin. Ada air terjun kecil di sana yang mengalirkan air jernih yang tampaknya segar. Di sebelahnya ada beberapa pohon serta bunga berwarna-warni yang bermekaran indah. 

Belum habis rasa kagumku pada pemandangan itu, tiba-tiba Lily menarik tanganku. Mengantarku ke depan sebuah pohon besar dengan batang yang kokoh. Kulihat akar-akar pohon itu tampaknya begitu kuat. Tapi bukan itu yang spesialnya, melainkan sebuah pondok kecil yang melekat dan bersenggayut indah di atas pohon itu. Seperti layang-layang raksasa yang tersangkut. Kita kenal pondok itu dengan sebutan rumah pohon.

Kemudian Lily mengajakku ke atas sana dengan menaiki tangga yang sudah tersedia. Rumah pohon yang bagus, ungkapku dalam hati. Tepat di depan rumah pohon ini, ada sebuah papan yang bertuliskan "Place for making and hanging your dreams". Dari bawah, sepertinya tulisan di papan ini bisa dibaca cukup jelas. Lucu juga, rumah pohon ini dikatakan tempat membuat dan menggantungkan impian. Lily, gadis yang unik.

Lily bercerita bahwa pondok ini dibuat sendiri olehnya. Dia sengaja memilih pohon ini untuk dibuatkan rumah  dengan alasan karena selain pohon ini kuat, juga karena pemandangan air terjun dan bunga yang bermekaran di depannya sangat indah.

Lily bercerita banyak hal padaku. Dan aku, seperti biasanya masih saja cuek terhadapnya. Kuharap dia tidak sakit hati akan perlakuanku ini. Tapi jujur, ini semua karena aku tidak terlalu suka berlibur disini. Aku rindu main di kota dengan teman-temanku disana.

* * *

Tak terasa sudah seminggu aku berada di desa Bonbin ini. Seperti sore sebelumnya Lily pasti akan datang ke kamarku dan mengantarkan makanan untukku, serta menyempatkan dirinya untuk ngobrol denganku walaupun untuk sebentar saja.

"Aku dengar kamu akan pulang ke kota dalam waktu dekat ini. Mungkin dua hari lagi." Lily membuka pembicaraan sambil menyodorkan sebuah toples yang berisi makanan.
"Benarkah?" Tanyaku balik dengan rasa tak percaya.
"Ya.. aku dengar sendiri dari ayahmu. Mmm...kalau kamu mau, aku bersedia kok jadi temanmu selama disini untuk beberapa hari terakhir." Jelas Lily lagi dengan raut wajah yang terlihat malu, wajahnya memerah. Namun aku tidak memperdulikan itu. Aku terlalu senang, aku tidak menanggapi kebaikan hatinya.
"YEAAAAH... AKHIRNYA AKU AKAN BERTEMU DENGAN TEMAN-TEMANKU DI KOTA...!!!" Teriakku dengan kesenangan yang luar biasa. Seperti seorang anak kecil yang dibelikan mainan baru.

Wajah Lily terlihat sedih. Aku tidak tau apa yang ada dalam pikiran dan isi hatinya. Tapi aku terlalu senang, sehingga lupa memperdulikannya. Lily pergi begitu saja, meninggalkanku tanpa pamit, tanpa senyum seperti biasanya. Apakah aku salah? Entahlah. Aku tidak tau. Yang penting, aku akan segera bertemu temanku di kota.

* * *

Pagi ini aku bangun dengan semangat yang berbeda. Sebab waktuku di desa ini hanya tinggal 1 hari lagi. Rasa senang sangat memenuhi dadaku. Angin yang kuhirup pagi ini terasa jauh lebih menyegarkan daripada biasanya. Sedikitpun senyum tak bisa berhenti terpancarkan dari wajahku. Oh ya, aku lupa dengan ayah. Mana dia? Padahal aku ingin menanyakan apakah benar kami akan pulang besok.

Hingga sore, ayah belum juga pulang. Waktu kutanya pada Bibi Riana kemana ayahku pergi, dia bilang ayah punya urusan yang harus diselesaikan dengan warga desa ini.

"Ooh.. begitu ya Bi. Baiklah. Aku akan menunggu di kamar saja." Kataku pada bibi Riana.
"Oh ya, apa kamu melihat Lily hari ini?" Tanya Bibi Riana kepadaku.
Aku menggeleng. Lalu kembali ke kamarku. Melukis seperti biasanya.

Benar juga, kemana Lily? Pikirku dalam hati sambil melukis. 
Kulihat jam tanganku yang sudah menunjukkan pukul setengah lima sore. Biasanya Lily sudah menemuiku pukul empat sore. Tapi kenapa hari ini tidak? Kemana dia? Eh....Lho? Kenapa aku malah memikirkannya? Ah sudahlah...

Ayah baru pulang saat sang raja siang kembali beristirahat. Purnama yang menyinari desa malam itu, menjadi saksi tentang kekecewaanku terhadap pernyataan ayah setelahnya.

"Ayah.. apa kita jadi pulang ke kota besok?" Tanyaku dengan wajah yang menyimpan kesenangan yang tertahankan.
"Maaf... ada hal yang masih harus ayah selesaikan disini. Kalau mau, ikutlah dengan ayah besok untuk keliling desa. Lagipula kamu kan belum pernah bersosialisasi dengan penduduk desa."
Jelas sekali kekecewaan terlukiskan di wajahku. Aku hanya mengiyakan ajakan ayah dengan lesu.

* * *

Hari ini aku tidak jadi pergi dengan ayah, soalnya aku bangun telat. Dan ayah telah meninggalkanku. Mungkin dia enggan mengganggu tidurku tadi. Sehingga,tinggallah aku di kamar ini sendiri seperti biasanya. Melukis, dan menuangkan isi hati ke dalam kanvas putih. Entah pukul berapa saat itu, Bibi Riana masuk ke kamarku untuk mengantarkan makanan. Entah sarapan atau makan siang, sebab aku tidak memperhatikan waktu lagi ketika sudah asik melukis. Bibi Riana yang melihat keasikanku ini menyempatkan dirinya untuk berkomentar sedikit mengenai karyaku.

"Hei.. Apa kau sedang bertengkar dengan seorang wanita?" Tanya Bi Riana saat dia melihat gambarku.
"Eh?" Aku heran.
"Gambar ini menceritakan isi hatimu yang sesungguhnya. Gambar tidak pernah bisa bohong." Bibi Riana menjelaskan seolah dia peramal yang hebat. Lalu ia melanjutkan, "Apakah dia Lily?"
"Lily?" Aku balik bertanya. Bibi Riana mengangguk.
"Entahlah Bi. Kurasa aku hanya tidak pandai berbicara dengan wanita." Jelasku pelan padanya.
"Kamu salah. Justru berbicara dengan wanita adalah hal termudah di dunia. Karena wanita akan bercerita tentang segalanya. Kamu hanya perlu mendengar. Kunci sesungguhnya dari berbicara adalah mendengar."
Aku terpana sejenak setelah mendengar penjelasan Bibi Riana. Mungkin dia ada benarnya juga. 

Lily... Kau benar-benar wanita yang penuh kejutan. Sore ini lagi-lagi kau tidak datang. Dan kurasa aku memang merindukanmu. Kau...kejutan.

* * *

Pagi ini aku bangun lebih awal dari ayah. Aku memang benar-benar bertekad untuk keliling desa. Aku sudah muak hanya berdiam diri seharian di kamar. 

"Jadi kita mau kemana hari ini?" Tanyaku pada ayah.
"Terserah kamu saja. Ayah sih menyarankan untuk keliling desa dan bersosialisasi dengan warga. Itu jauh lebih menarik daripada melukis. Hehe." Ledek ayah kepadaku.

Jadi, jelaslah tujuan kami seharian ini yaitu pergi mengitari desa Bonbin sambil menghirup udara segar yang jarang kutemui di kota. Ayah mengajakku berkenalan dengan banyak penduduk desa. Mereka semua ramah-ramah dan murah senyum. Hal yang jarang sekali kutemukan di kota.

"Mereka ramah-ramah ya, Yah.." 
"Iya.. Itulah istimewanya mereka." 
"Eh..mau kutunjukkan tempat yang bagus, Yah?" Tawarku pada ayah.
"Boleh..."

Kuajak ayah ke tempat favorit Lily. Air terjun yang dikelilingi bunga yang bermekaran indah, membuat ayah kagum dan merasa tak percaya atas keindahan yang tengah dilihatnya. 
"Aku diberitahu oleh Lily tentang tempat ini. Katanya ini adalah tempat favoritnya."
"Oh ya? Kamu dan Lily tampaknya sangat akrab ya."
"Ya begitulah.. Beberapa hari yang lalu. Sekarang sudah tidak lagi."
"Mengapa bisa begitu?"
"Entahlah.. kurasa aku tidak pandai berbicara dengannya. Ketika aku hendak berbicara dengannya seolah aku akan mempermalukan diriku. Tetapi ketika aku tidak berbicara, aku malah semakin merasa malu."
Ayah diam sejenak. Tersenyum, lalu menatap mataku dalam-dalam.
"Kamu punya rasa terhadapnya?" Tanya ayah.
Aku tidak menjawab.
"Terkadang nak, kita perlu melakukan sesuatu. Cukup sebentar saja. 20 detik saja cukup. Benar-benar 20 detik."
"Maksudnya?" tanyaku.
"Biarkan kegilaan dirimu dikeluarkan dalam 20 detik keberanian itu. Cobalah.. Ayah sudah mencobanya saat  akan berkenalan dengan ibumu dulu."
Aku terdiam sejenak mendengar penjelasan ayah. "20 Detik Keberanian?" tanyaku dalam hati. Hmm....

Kulanjutkan perbincangan kami ini dengan menunjukkan rumah pohon milik Lily kepada ayah. Ya benar, rumah pohon yang ada papan bertuliskan "Place for Making and Hanging Your Dreams" kemarin. 
Eh tunggu? Papan itu? Aneh.. tulisannya sudah berganti. Tunggu, tunggu. Kubaca tulisan yang terukir di papan itu sekarang: "IF YOU LOVE ME, LET ME KNOW."

Apa maksudnya? Pikirku dalam hati. Hatiku sepertinya kebingungan. Bingung yang disertai turunnya hujan secara tiba-tiba. Otakku seperti tersentak. Kakiku tiba-tiba bergerak sendirinya ketika aku mengerti arti dari kalimat itu. Aku berlari menuju penginapan, meninggalkan ayah tanpa sadar. Tanah desa yang mulai basah menjelma menjadi lumpur yang sempat membuatku beberapa kali terpeleset dan nyaris terjatuh saat berlari.

Sesampainya di penginapan, aku mencari sebuah jendela. Lebih tepatnya, aku mencari jendela kamar Lily. Tak peduli hujan, aku menggedor-gedor jendela itu dari luar. Dari jendela yang buram dibasahi oleh air hujan, aku melihat Lily tampak terkejut secara samar. Perlahan, dia mendekatiku dan membuka jendela jenis geser itu ke atas. Dalam hati, aku selalu mengulang kalimat yang sama sambil sesekali melihat arlojiku, "20 detik keberanian, 20 detik keberanian, 20 detik keberanian."

"Ada apa?" tanya Lily dengan wajah yang bisa kubaca sedang kaget.
"Apa aku gila jika kukatakan bahwa aku sangat merindukanmu? Sangat.." ujarku kepada Lily dengan wajah yang benar-benar seperti dikejar waktu. Lily menggeleng, lalu seperti biasa memberikanku senyum. Senyum kali ini agak berbeda. Senyum yang ragu-ragu.
"Maaf soal hujan ini.." ujar Lily dengan sedikit rasa bersalah dan prihatin kepadaku yang sedang diguyur hujan di luar.
Aku tidak peduli, lalu aku kembali melanjutkan 20 detik penuh kegilaan ini.
"Tidak apa. Aku suka hujan. Aku suka rambutmu. Aku suka papan-mu. Aku suka kamu...!"

Lily diam. Aku juga diam. Kami berdua sama-sama terlarut dalam diam. 
"Aku menyayangimu! Sungguh..." Tambahku lagi guna menepis keraguan yang mulai kulihat dari wajah Lily. 
Raut wajah Lily berubah. Aku tersenyum. Dia seperti ingin menangis, menangis bahagia atau terharu mungkin. 
Aku masih tersenyum. Wajah Lily mendadak berubah menjadi senyum penuh haru. Dia tersenyum dan aku juga. Kami sama-sama diracuni kebahagiaan. Sama-sama kikuk sejenak, namun refleks untuk saling mendekap tubuh kami tanpa isyarat apapun.

Aku dan Lily. Kami, berpelukan di antara sebuah jendela yang dibuka. Dipisah oleh dua kondisi cuaca dan suhu yang berbeda. Tapi kami tidak peduli. Bagiku ini adalah momen terindah dalam hidupku. Semua berkat si 20 Detik Keberanian. 20 detik yang mengubah segalanya.





adopted from film 'We Bought A Zoo'
adapted by Septian Arifandi


P.S:
Nih buat yang mau liat adegan 20 Detik Keberanian atau '20 Seconds of Courage' di film tersebut: 20 SECONDS OF COURAGE


2 komentar: