Lelaki itu. Lelaki yang sedang duduk sambil menopang dagu. Begitu asik menggoreskan tulisannya pada sebuah buku. Sebuah catatan? Mungkin. Tapi kenapa wajahnya terlihat begitu pilu? Apa dia sedang menulis sebuah curhatan pahit tentang masa lalu? Semoga saja tidak seperti itu. Aku sedikit ragu.
Sepertinya yang namanya kemalangan dan kesialan sudah menjadi sahabat bagiku. Selalu menjadi yang terbelakang semacam hobi buatku. Kupikir hidup ini memang menyimpan sedikit keadilan, tapi nyatanya tidak. Aku tidak pernah menemukan apa itu yang namanya "keadilan". Kupikir kesialan dan kemalangan yang kualami setiap harinya ini semacam cobaan dan ujian dari Yang Maha Kuasa. Tapi setelah kupikir-pikir, kenapa harus ada yang namanya cobaan dan ujian? Sebagian besar orang bilang kalau ujian dan cobaan adalah sebuah indikator yang digunakan Sang Khalik untuk mengetahui tingkat keimanan sang makhluk ciptaan-Nya. Sejenak aku berpikir, dan kembali menemukan sebuah pertanyaan yang tak mampu dijawab dan dijelaskan dengan logika. Kenapa harus ada yang namanya cobaan dan ujian untuk mengetahui tingkat keimanan makhluk-Nya? Bukankah Tuhan itu Maha Mengetahui?
Ah sudahlah. Aku bingung memikirkan ini semua.
Kalian tau? Kemalangan dan kesialan dari nasib dan takdirku ini tampaknya terjadi di segala sisi kehidupanku. Masalah rezeki, kesehatan jasmani dan rohani, bahkan sampai ke masalah hati. Cinta. Sial. Apalah itu namanya. Aku benci mengatakannya. Menjijikkan! Aku masih bisa bertahan terhadap semua cobaan dan ujian tadi. Rezeki, jasmani, rohani, tapi aku tak kuat bila ini menyangkut masalah hati. Ya masalah itu, sebuah kata yang diawali huruf C tadi. Mengesalkan. Mungkin pada catatan ini, aku sisipkan cerita 'tragis' masalah hati. Semacam mengabadikan momen pahit. Ya... terkadang mengabadikan momen pahit jauh lebih menyenangkan daripada mengabadikan momen manis.
Terkadang...
Perempuan itulah yang awalnya mampu mengubah hari-hariku. Aku merasakan hal itu. Getaran yang mendebarkan, serta khayalan yang memuaskan. Mimpi-mimpiku mulai dirasuki oleh bayang-bayang kehadirannya yang begitu membuatku merasa seperti makhluk paling bahagia di atas dunia. Senyumnya yang kunikmati dari jauh, terasa menyegarkan dan seolah mampu menyembuhkan hati yang terluka, atau menghidupkan hati yang telah mati. Senyum yang membawa energi positif. Walau, itu sebatas senyum yang kunikmati dari jauh.
Itu awalnya...
Hari demi hari telah berlalu dengan kehadirannya di dalam mimpiku yang mampu mengubah dan mengindahkan hari-hari nyataku. Hatiku terlalu bergejolak. Perasaan apa ini yang tengah kurasakan? Entahlah. Sepertinya perasaan ini tak mampu terwadahi lagi. Sepertinya sudah saatnya meluapkan.
Harus.
dan...bakatku sepertinya disitu. Kemalangan dan kesialan.. Mereka selalu datang menghantuiku. Berkat mereka, aku harus menerima kenyataan pahit. Lebih pahit dibandingkan shampoo yang dicampurkan dengan kopi tanpa gula. Jauh lebih pahit dari itu. Taukah kalian? Di saat aku ingin meluapkan gejolak yang tak terwadahi itu tadi, ada sebuah sambaran petir yang mengubah segalanya. Aku disuguhi kenyataan bahwa ada seseorang yang tiba-tiba mencuri hatinya. Hati perempuan dalam mimpiku. Sekarang apa yang kudapat?
Sebuah penyesalan.
Kurasa aku tidak hanya sial dan malang, tetapi juga bodoh. Aku terlalu bodoh menikmati kebahagiaan yang hanya kurasakan dari alam imajinasiku dan mimpiku tanpa sadar bahwa itu sangat membuang waktu. Saking banyaknya waktu yang kusia-siakan demi khayalan bodohku itu, akhirnya aku mendapatkan teman mereka yang bernama 'keterlambatan'.
Aku terlambat. Aku didahului. Aku menyesal.
Harusnya aku menyadarinya dari awal supaya tidak ada kekecewaan yang kudapat. Aku seharusnya tau, bahwa perempuan itu tak akan pernah bisa menjadi nyata bagiku. Mungkin dia tercipta memang hanya untuk mimpi buatku. Takkan pernah untuk menjadi nyata. Takkan pernah bisa. Takkan mungkin. Seharusnya aku tau dan sadar akan hal ini. Aku tetaplah aku. Seseorang yang selalu terbelakang, tanpa bisa menjadi pemenang.
Seorang pecundang.
Seorang pecundang.
Lelaki itu meletakkan ballpoint yang digunakannya menulis pada catatan miliknya. Sepertinya dia telah selesai meluapkan semua. Sebab, terlihat jelas senyum kepuasan dan kelegaan dari bibirnya. Kemudian ia membaringkan badan, meluruskan punggung, dan melemaskan otot-ototnya. Perlahan ia memejamkan matanya, terlihat air mata yang tertahan di pelupuknya. Sepertinya dia mencoba tegar. Namun, siapa yang tau bahwa di lubuk hatinya, ia berharap untuk memejamkan mata untuk waktu yang lebih lama. Mungkin selamanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar