About Me

Foto saya
Hanya orang biasa yang menyempatkan untuk berkarya.

Jumlah yang sudah singgah

Minggu, 23 Juni 2013

Menunggu

Menunggu memang pekerjaan yang paling membosankan. Aku yakin semua orang akan setuju dengan pendapatku ini. Melewatkan waktu dengan tidak melakukan apa-apa. Itulah yang memuakkan dari yang namanya menunggu. Aku memang bukan tipe orang yang suka bekerja. Tapi, ketika aku memang sedang tidak mengerjakan apa-apa, aku gelisah. Sebab itulah aku muak dengan menunggu.

Di lobby bandar udara inilah aku menghabiskan waktu tanpa melakukan apa-apa. Hanya menunggu. Menunggu kepulangan saudari perempuan-ku yang menghabiskan liburan di ibukota. Adik perempuanku satu-satunya. Dua jam lalu dia menelfonku untuk menjemputnya di bandara ini. Sebetulnya aku sendiri malas untuk menjemputnya, tapi mau bagaimana lagi. Aku tidak ingin dia pulang sendiri dengan taksi yang kutau sendiri, supirnya akhir-akhir ini sering menjadi topik utama berita kriminal yang kutonton tiap hari. Pemerkosaan, penculikan, penipuan, adalah hal-hal yang paling kutakutkan terjadi dengan adik kesayanganku. Bukan maksudku untuk berprasangka buruk, namun ini hanya tindakan waspada dalam upaya pencegahan hal-hal yang tidak diinginkan. 

Maka, kuputuskan menutup lembaran yang tertumpuk di atas meja kerjaku. Kusempatkan waktu siang ini meninggalkan kantor dan ruanganku yang nyaman untuk menjemput saudariku. Pukul 16.30, permintaan saudariku supaya aku sudah sedia disana. Dan seperti yang dia harapkan, aku sudah menepati janjiku sesuai yang dia minta. Berkali-kali aku menatap arloji tua pemberian ayahku. Jarum panjangnya semakin lama semakin jauh meninggalkan angka enam. Apa yang terjadi sebetulnya? Segera kutanyakan kepada petugas bandara bagian informasi dan seperti yang kuduga, ada delay keberangkatan selama satu jam dari jadwal semestinya. 

Sekarang aku harus apa? Ya, menunggu.

Aku dongakkan kepalaku menatap langit-langit lobi bandara. Kursi tunggu ini tidak begitu nyaman, namun mau bagaimana lagi, aku harus menunggu. Perlahan kupejamkan mata, mencoba untuk membuat diri ini terbawa arus alam bawah sadar. Pikiranku mulai melayang.

"Sedang menunggu?" 

Suara halus itu menghentak pikiranku. Secepat mungkin kubuka mata ini, perlahan kesadaranku mulai pulih. Perlahan pula mataku mulai beradaptasi dengan sekeliling. Pandangan yang tadinya kabur, mulai jelas. Ya, jelas sekali. Di depanku terlihat jelas sesosok wanita yang anggun. Tatapannya begitu teduh, tampak seimbang dengan suaranya yang halus. Rambutnya sebahu dan bergelombang. Senyumnya, menawan.

"Sedang menunggu?" diulanginya pertanyaan yang sama. Pertanyaan yang tadi belum sempat kujawab karena kehilangan fokus. Senyumnya itu yang membuatku lupa segalanya.

"Eh.. ya? Mmm..ya aku sedang menunggu." jawabku tergagap. Dia tergelak melihat tingkahku yang begitu gugup. Wajar saja, aku jarang sekali berbicara dengan orang asing, apalagi seorang wanita. Wanita yang menawan pula.

Jantungku berdebar.

"Kalau begitu kita sama. Bagaimana kalau kita bersantai dulu di sana?" ujar wanita itu lagi sembari menunjuk ke arah cafe yang masih berada dalam area bandar udara ini.

Aku mengangguk pelan, isyarat mengiyakan. Kami perlahan berjalan menuju cafe itu. Tanpa berkata apa-apa, hanya berjalan. Pelayan yang menyambut hangat kedatangan kami berdua. Menanyakan pesanan kami, mencatat, meminta kami menunggu sebentar, dan meninggalkan kami berdua.

Masih dalam suasana hening, tidak ada yang berani memulai pembicaraan. Maksudku, akulah yang tidak berani memulai percakapan.

"Jadi, sudah berapa lama menunggu?" tanya wanita itu dengan menopang dagu, menatapku dalam-dalam, masih dengan senyum yang sama.

"Lumayan lama." jawabku singkat. Aku benar-benar kehabisan kata-kata.

"Ooh begitu..." 

Kupikir dia juga kehabisan kata-kata. Atau mulai bosan berbicara dengan pria yang tidak pandai berbicara sepertiku ini. Kucoba untuk mencari bahan pembicaraan yang lain,

"Kamu... kenapa mau berbicara dengan pria yang tak dikenal sepertiku?" tanyaku dengan keheranan mendalam.

Dia tersenyum. 

"Kenapa tidak?" jawabnya atas pertanyaanku tadi.

Jawaban yang benar-benar tidak bisa terduga. Dan...sulit sekali kumengerti. Atau aku yang memang terlalu bodoh dengan kalimat wanita? Bisa jadi.

"Kita sama.." lanjutnya lagi. Seolah mengerti dengan raut wajahku yang keheranan dan mencoba menjelaskan,

"Kita sama. Kita sama-sama menunggu. Menunggu itu membosankan bukan?" jelasnya lagi kepadaku.

Pelayan yang mengantarkan pesanan kami, untuk sejenak menghentikan pembicaraan. Aku menghela nafas. Kupikir dengan jeda ini aku bisa mencari kalimat yang tepat untuk membalas penjelasannya tadi.

Ternyata aku salah. Menatap wajahnya membuatku kehilangan kata-kata (lagi). Wanita ini, kupikir, begitu istimewa. 

"Menunggu siapa?" tanya wanita itu lagi.

"Saudari-ku. Kamu?"

"Tidak ada. Hanya menunggu."

"Apa maksudmu?"

"Kupikir belum waktu yang tepat untuk bercerita kepadamu."

"Baiklah kalau itu maumu."

Wanita itu begitu misterius. Menyimpan rapat-rapat rahasianya, tapi meminta orang untuk mengumbar cerita. Benar-benar aneh. 

Tiba-tiba saja handphone-ku berdering. Dan benar saja, itu adikku. Segera kujawab panggilan itu, dan kuberi tau dimana posisiku.

"Adikmu, Tuan Penunggu?" tanya wanita itu. Ah, benar juga. Kami dari tadi belum sempat memberitahukan nama masing-masing. Aku paham kenapa dia memanggilku dengan gelar, apa namanya itu, Tuan Penunggu? Ah ya itu dia...
Ketika aku bertanya siapa namanya, wanita itu kembali menebar senyum seperti biasanya, sembari berkata,

"Bukankah lebih baik seperti ini? Kita punya panggilan khusus masing-masing. Kamu boleh memanggilku apa saja. Ini membuat kita terasa unik bukan?"

Wanita ini memang misterius dan tertutup. Bahkan, untuk sebuah nama. Aneh.

"Baiklah. Kalau memang itu maumu, Wanita Penunggu-ku." candaku. Dia tergelak.

"Oh kamu memanggilku seperti itu ya. Kalau begitu, kamu... Tuan Penunggu-ku." Dia tertawa. Aku pun ikut tertawa. Kami tertawa bersama.

Sampai akhirnya saudari-ku membuyarkan tawa kami berdua. Dia memanggilku, lalu memintaku untuk mengantarku pulang segera. Dia begitu lelah, katanya. Dengan sopan, aku pamit kepada Wanita Penunggu-ku itu. Aku sendiri sering tertawa dalam hati ketika menyebut panggilan itu. 

"Hmm.. oke. Jika kamu ingin bertemu denganku lagi, kamu tau aku ada dimana." ucapnya sambil mengedipkan sebelah matanya, dan tentu saja, sebuah senyum yang sama.

* * *

Begitulah. Aku dan dia masih sering bertemu di tempat yang sama, di cafe bandara. Hubungan kami semakin dekat, dan uniknya tanpa pernah mengetahui nama sebenarnya. Aku juga penasaran kenapa dia selalu hadir di sini, di bandar udara ini. Tapi aku selalu mengurungkan niatku untuk bertanya, karena kutau dia tak akan pernah mengungkapkan alasannya.

Kami selalu bertemu di jam yang sama, 16.30 WIB. Begitupun sore ini. Dia pasti sedang menungguku di kursi tunggu atau di dalam cafe. Aku sudah hafal tempat favorit-nya ini. Tapi, ada yang lain sore ini. Dia tidak ada di kedua tempat itu. Kupikir, dia sedang di toilet. Jadi, kuputuskan untuk menunggu.

Eh? Menunggu? Kegiatan yang paling membosankan menurutku, dan menurutnya juga. Tapi, kali ini aku rela menunggu. Menunggu kedatangan Wanita Penunggu-ku. Tidak, kurasa dia sekarang sudah menjadi Bidadari Penunggu-ku. Aku duduk di kursi tunggu di lobby bandara ini. Mendongakkan kepala dan memejamkan mata seperti biasa. Aku ingat, posisi inilah yang menciptakan awal pertemuanku dengan dirinya. Aku ingat, kalimat yang ditanyakannya padaku waktu itu.

"Sedang menunggu?"

Suara itu mengejutkanku lagi. Tapi suara ini berbeda, bukan suara halus yang kudengar saat dulu. Kubuka mata ini, dan ternyata benar. Berbeda.

Yang berada di depanku tidak lagi sesosok wanita yang anggun. Tapi, seorang lelaki paruh baya yang beberapa rambutnya mulai berubah warna.

"Maaf sebelumnya, saya hanya ingin memberikan ini.." katanya sambil menyerahkan sepucuk surat.

Kulihat tulisan pada amplopnya.

Untuk Pria Penunggu-ku.

"Nona Via lah yang memberikan surat itu, Tuan Penunggu..." kata lelaki itu lagi.

Aku terkejut dengan kalimatnya barusan. Seolah mengerti dengan keherananku, dia berkata lagi,

"Mmm..aku hanya memastikan kalau kau benar-benar Tuan Penunggu yang dicari Nona Via." 

Oh.. begitu. Ternyata Via namanya. Kubaca surat itu secara perlahan. Sambil berulang kali di dalam hati menanyakan hal yang sama, apa lagi yang mau dilakukan wanita misterius itu padaku?


Hei, Tuan Penunggu-ku, masih menunggu-kah?

Maaf kamu tidak bisa menunggu bersama denganku lagi di cafe itu. Saat kau membaca surat ini, mungkin aku sudah berada di atas meja operasi, atau bahkan aku sudah berada di atas khayangan sana.
Ah, tentu saja kamu tidak suka menunggu, sama sepertiku. Menunggu itu membosankan bukan? Haha. Sekarang kurasa kita sama-sama sedang menunggu. Dan sekarang kamu sudah tau apa yang sekarang kita tunggu bersama. Kukira, kamu harus bersabar menungguku kembali. Atau, akulah yang akan bersabar menunggumu di atas khayangan ini. Kamu mengerti maksudku, kan Tuan Penunggu?
Sampai jumpa lagi nanti ya, Tuan Penunggu! Semoga saat kita bertemu nanti, itulah akhir dari tungguan kita. Hehe..

Via, Wanita Penunggu-mu


Aku semakin merasa bingung dengan apa maksud dari surat ini. Untunglah, lelaki paruh baya yang datang tadi langsung mengerti dari gerak-gerik tubuhku yang sepertinya 'bingung'. Belasan kalimat, tidak.. mungkin puluhan kalimat diutarakannya kepadaku. Aku tidak terlalu menyimak itu, yang aku tangkap adalah kata 'kanker' yang entah berapa kali dipakainya.


* * *

Sebulan, dua bulan, dan kali ini tiga bulan sudah. Aku masih setia menunggunya disini, di bandar udara ini. Di lobi tempat aku mendongakkan kepala dan memejamkan mata saat mendengar suara halusnya menyapaku. 

Menunggu itu membosankan bukan?

Dulunya.. aku berpikir seperti itu. Saat aku belum bertemu dengannya. Dan belum memahami arti menunggu sebenarnya. Kini kupikir, menunggu itu mendebarkan. Sebab, dari menunggu kita tidak pernah tau apa yang akan terjadi setelah ini. Kabar bahagia-kah? Kabar duka-kah? Kita tidak akan pernah tau.

Kini aku tau kau ternyata benar. Kita pada akhirnya sama-sama menunggu. Aku menunggumu kepulanganmu disini, atau kau yang menunggu kepulanganku ke 'sana'. Yang jelas, 'menunggu itu mendebarkan'.

6 komentar: