Tangannya memeluk kaki yang tengah ditekuk. Punggungnya tepat mencium tiang rapuh yang ada di belakangnya. Hidung dan pipinya kini sejajar dengan kedua lututnya. Mata tuanya sesekali meneteskan air mata di kala tatapannya tengah kosong. Tatapan lurus ke depan tapi tidak benar-benar melihat ke sana. Melainkan melihat sesuatu di balik itu. Tatapan yang memang ke depan, tapi sebetulnya memandang ke belakang. Masa lalukah? Mungkin saja. Angin senja yang bersahaja membelai rambut putihnya perlahan. Mungkin angin itu sengaja, seperti ingin menghiburnya.
Bu Peta. Begitulah orang memanggilnya. Entah berawal darimana julukan unik itu muncul. Yang jelas, sejak pertama kali aku bertanya tentangnya, sebutan itulah yang keluar dari mulut mereka. Waktu kutanyakan apakah beliau seorang ahli geografi atau pensiunan pegawai BMG, mereka selalu menggelengkan kepala, tersenyum kecil, bahkan menertawakannya. Hei, apa yang salah dengan pertanyaanku? Aku kan hanya mencoba berpikir logis berdasarkan julukan yang mereka ciptakan itu. Apa aku salah?
"Kau tau? Peta itu singkatan dari Perawan Tua! Hahaha." ujar lelaki paruh baya itu sambil tergelak. Sedangkan aku hanya melongo tak percaya. Julukan itu benar-benar konyol. Lelaki itu kemudian membakar rokoknya, menyelipkan sebatang di mulutnya, lalu mulai bercerita.
"Hanya sebuah kegagalan masa lalu yang biasa. Kesalahan kecil yang justru malah besar akibatnya." lanjut lelaki itu lagi setelah menghembuskan segumpal asap rokok yang menyesakkan dadaku.
Aku masih menatap lelaki itu dengan asap yang menghalangi pandangan. Aku memang ingin tau, tetapi asap rokok itu telah mengalahkan rasa penasaranku. Untuk sore ini, kurasa cukup sampai disitu. Besok akan kugali sendiri tentang wanita yang bersandar itu.
***
Lapangan tanah kuning ini memang selalu ramai di sore hari. Dipenuhi jiwa-jiwa muda berstamina yang tak kenal letih untuk berlari. Dua gawang kecil di kedua sisi sudah lebih dari cukup untuk menyenangkan diri. Si kulit bundar yang diperebutkan sejak tadi, tak sengaja terbang terlalu tinggi. Kemudian tepat mendarat di teras rumah Bu Peta yang berwarna merah hati.
"Hei.. anak baru, siapa namamu? Kau saja yang ambil bola itu. Lagipula Bu Peta kan tidak kenal kau." teriak salah satu anak yang bermain bersamaku tadi. Anak-anak yang lain spontan ikut menatapku, sebagian menganggukkan perkataan anak yang tadi pertanda setuju.
Aku memang warga baru disini. Oleh sebab itu, akhir-akhir ini aku giat untuk bersosialisasi dengan masyarakat disini. Selalu ke mesjid tiap shalat fardhu, berpartisipasi pada beberapa kegiatan sosial, sampai ikut bermain bola di lapangan kuning tiap sore, semuanya kulakukan. Semua demi mengenal warga kampung ini. Aku sudah mengerti sifat dan kebiasaan semua warga, kecuali satu. Bu Peta.
Satu-satunya yang aku tau tentang Bu Peta adalah kebiasaannya; duduk menatap senja. Duduk sambil menekuk lutut, bersandar pada tiang fondasi rumahnya, menatap senja sambil sesekali mengeluarkan air mata. Aku belum tau alasannya. Tiap kali aku bertanya pada warga yang lain, terutama warga yang sebaya dengannya, mereka memilih bungkam, atau sesekali menertawakan pertanyaanku. Aku tidak paham tujuan mereka merahasiakannya. Karena kebungkaman mereka pada kebenaran inilah yang membuat Bu Peta menjadi bahan olok-olok anak seusiaku. Mereka hobi sekali menertawakan wanita senja ini. Kadang mereka juga meneriaki Bu Peta sebagai orang gila.
"Bu.. maaf. Boleh saya ambil bolanya?" ucapku pelan sambil berharap suatu keramahan darinya.
Bu Peta tak bergeming. Tatapannya masih seperti tadi. Kosong. Seperti kehilangan sesuatu. Mungkinkah harapan? Mungkin saja. Aku malas menduga-duga. Ingin rasanya untuk kucari tau semua, tentang Bu Peta yang terselubungi rahasia. Namun, bola yang sekarang sedang kupegang segera menyadarkanku supaya aku harus cepat-cepat kembali ke lapangan. Dengan ini, rasa penasaranku kembali terbunuh.
***
Sore ini lebih berbeda dari sore-sore sebelumnya. Wanita tua yang tengah kuselidiki, Bu Peta, menatap senja dengan cara yang berbeda. Dia tidak hanya menatap kosong sambil sesekali menangis, namun dia juga menghentak dan berteriak. Warga setempat mengaku, kejadian ini juga sudah biasa. Hanya aku saja yang baru pertama kali melihatnya. Mereka katakan Bu Peta memang sudah gila, tapi hanya pada saat senja saja. Sebagian lagi mengaku kalau Bu Peta sering kesurupan di waktu senja. Aku belum bisa mempercayai argumen yang manapun sebelum aku sendiri membuktikannya. Maka dari itu, sore ini kuberanikan diri mendekati Bu Peta yang berteriak sendiri tanpa henti sejak tadi.
"Ampun, ayah.. Ampun. Maafkan aku.." lirih Bu Peta sambil terisak. Persis seperti orang yang baru saja disiksa.
Tatapan Bu Peta masih saja seperti hari kemarin, kosong. Kurasa dia memang tengah dihantui bayang-bayang masa lalu. Kehadiranku di hadapannya sama sekali tak dihiraukan. Mungkin dia memang tidak melihatku. Lantas, apa yang harus kulakukan? Apa aku harus menunggu sampai ia keluar dari alam khayalnya?
Aku hanya bisa berdiam diri di hadapannya, tanpa disadari sedikitpun olehnya. Dalam seragam abu-abu yang belum kuganti sejak pulang sekolah ini, aku diselimuti kebingungan. Aku hanya bisa menunggu.
***
Mereka hanya tidak tau atas apa yang dilihatnya. Bola matanya mungkin berbeda dari yang lain pada umumnya. Bola mata yang selalu menatap senja. Bola mata yang menampilkan halusinasi yang menghantuinya. Sebuah bayang-bayang masa lalu, awal malapetaka bagi kehidupannya. Perusak yang memburamkan masa depannya.
Dari kedua bola mata itulah ia melihat ayah, ibu, bahkan abangnya, berganti-gantian memukuli tubuhnya. Rasa sakit itupun terasa amat nyata. Sehingga ia berteriak histeris seperti orang kesurupan. Rasa sakit yang tertahankan lagi menyuruhnya mencurahkan air mata yang membuatnya terlihat seperti orang gila di hadapan senja. Andai mereka tau hal yang dialaminya ini, mereka pasti takkan tega mengolok-oloknya. Sayangnya mereka tidak tau, dan tak pernah mau tau.
Bu Peta, yang aslinya bernama Lina, dulunya adalah seorang gadis yang ceria. Namun, ketika memasuki masa remajanya, kedua orangtua dan abangnya mulai membatasi dirinya atas segala sesuatu. Masa remajanya benar-benar pahit. Pulang terlambat sedikit saja, dipukuli. Bergaul dengan anak lelaki sebayanya, dipukuli. Satu-satunya kegiatan yang boleh dilakukan di luar rumah hanya pergi ke sekolah. Lain dari itu, dilarang. Kalau membangkang, dipukuli.
Tujuan orangtuanya sebenarnya baik. Mencegah putri remaja mereka satu-satunya terjerumus ke dalam jurang kenakalan remaja yang menyesatkan. Sayang, mereka tidak sadar tindakan mereka terlalu berlebihan. Teman-teman Lina menjadi takut berteman dengannya. Takut dimarahi orangtuanya. Bahkan ketika salah satu teman lelakinya datang ke rumah, ayah Lina mengusirnya.
Terbayang jelas di benaknya ketika Anto, pacarnya sewaktu remaja dulu datang ke rumahnya. Ayahnya langsung murka mengetahui hal ini. Tanpa pikir panjang, ayah Lina mengayunkan rotan ke kepala Anto. Syukurlah Anto sedikit lebih gesit. Sehingga Anto bisa menghindari ayunan rotan yang akan menghujam kepalanya tadi. Dengan langkah seribu, Anto meninggalkan rumah Lina beserta ayahnya yang seperti setan itu. Anto tentu saja menceritakan hal ini kepada semua temannya di sekolah. Tak perlu penjelasan lagi, Anto langsung memutuskan hubungannya dengan Lina. Semenjak itu, tak satupun mau berteman dengan Lina. Tak satupun juga anak lelaki yang mau mendekatinya. Tentu saja karena mereka semua lebih sayang dengan nyawa mereka dibanding sayang dengan Lina.
"Jangaaaaan ayaaah!!!" teriak Bu Peta alias Lina dalam halusinasinya. Yang terlihat di hadapannya adalah sosok ayahnya yang hendak mengayunkan rotan kepada Anto. Persis pada kejadian masa lalunya. Tak ada yang berubah. Anto berhasil lari dan meninggalkannya.
"Syukurlaaah..." ujar Bu Peta sambil menghela nafas panjang ketika melihat Anto sukses melarikan diri di bawah sinar jingga langit senja.
Tak berapa lama bayangan itu mendadak hilang. Berganti dengan sosok seorang anak lelaki berseragam putih abu-abu yang berdiri di depannya. Wajah anak itu terlihat heran. Ekspresinya bercampur antara takut dan kebingungan.
"A..Anto? Mengapa kamu masih disini? Ayahku bisa membunuhmu.." kata Bu Peta menunjuk anak lelaki di hadapannya. Ternyata ia masih belum sadar juga bahwa apa yang dilihatnya kini adalah hal yang nyata. Bukan halusinasi yang menyiksa.
Anak lelaki itu mengernyitkan dahinya. Pertanda bahwa ia memang benar-benar tidak mengerti apa yang dimaksud Bu Peta. Perlahan, anak lelaki itu berjalan mendekat ke arah Bu Peta yang tengah duduk sambil memeluk kedua kakinya. Sekarang gantian, Bu Peta lah yang ketakutan.
"Apa yang hendak kau lakukaan?! Aku tidak gila!! Aku juga tidak sedang kesurupan!!!" teriak Bu Peta sambil menghindari anak lelaki yang kini tengah berjongkok di depannya.
"Tidak.. Saya tidak akan melakukan apapun terhadap ibu. Saya hanya ingin mendengar cerita ibu kok. Dari tatapan kosong ibu tadi itu, saya tau bahwa ibu sedang dihantui masa lalu. Jika ibu mau berbagi cerita, saya bersedia mendengarkan. Kalau bisa, akan saya bantu." kata anak lelaki itu dengan senyum yang teduh. Intonasinya benar-benar menenangkan. Dari matanya, Bu Peta bisa menilai bahwa anak itu sungguh-sungguh.
Kemudian, Bu Peta mulai bercerita tentang siapa ia, bagaimana masa lalunya, dan mengapa ia sering mengalami halusinasi setiap senja. Anak lelaki berseragam putih abu-abu masih setia di sampingnya, mendengar setiap keluhannya. Anak ini benar-benar tau hal yang tepat. Di kala seseorang punya masalah yang tak terbendung, mereka hanya butuh meluapkannya. Tapi kebanyakan orang tidak memiliki wadah untuk meluapkan semua. Untuk itulah anak lelaki itu hadir disini, menjadi wadah dari Bu Peta. Semua orang hanya butuh didengarkan. Sedangkan Bu Peta tidak pernah didengarkan sejak masa remajanya.
"...orangtuaku baru sadar dan mau mendengarkanku saat usiaku telah menyentuh kepala tiga. Mereka terlalu terlambat. Alhasil, tidak ada satupun pria yang berani mendekatiku. Bahkan, hingga akhir hayat mereka, tidak pernah mereka melihatku tengah menjalin hubungan dengan seorang pria pun." cerita Bu Peta lagi.
"Inilah aku. Sebatang kara yang berusia senja. Hanya ditemani semburat jingga yang menenggelamkan matahari dan mengakibatkan gelapnya dunia. Ya.. gelap. Seperti yang kurasakan sekarang." lanjut Bu Peta.
Bu Peta telah selesai bercerita. Anak lelaki itu menarik nafas dalam-dalam dan memejamkan kedua matanya. Lalu mencoba memberikan beberapa potong kalimat yang mampu mencerahkan Bu Peta lagi.
"Setiap orang pasti pernah melalui masa lalu yang buruk, Bu. Orang yang cerdas akan mempelajari masa lalu itu, dan menatap ke depan untuk sesuatu yang lebih baik. Sedangkan yang bodoh, hanya akan menyesali tanpa pernah berpikir untuk memperbaiki semuanya."
Bu Peta terenyuh. Dia mengerti betul apa maksud anak lelaki ini.
"Nak.. aku sudah terlalu tua, sudah terlalu senja. Apa yang harus kuperbaiki lagi? Semua tidak sempat lagi. Masa gelapku sebentar lagi datang."
"Bu.." lanjut anak lelaki itu lagi. "Tidak pernah ada kata terlambat sesuatu yang tidak pernah dilakukan. Mungkin ibu sudah tidak bisa berkeluarga lagi, tapi ibu pasti punya banyak hal bermanfaat lainnya yang bisa dilakukan, bukan? Setidaknya itu jauh lebih baik daripada hanya menatap senja dan menangisi masa lalu."
Anak itu tersenyum. Lalu membalikkan badannya dan perlahan melangkah menjauh darinya. Bu Peta kini hanya bisa menatap punggung anak itu. Duduk termenung di sudut senja. Ditemani semburat jingga yang siap menenggelamkan sang surya. Senja hampir berakhir, dan gelap siap menggantikannya. Bu Peta kini tidak takut gelap lagi, sebab dia sudah menemukan pencerahnya. Ya benar, anak lelaki dengan kata-kata teduhnya.
Pada senja-senja berikutnya, kampung itu tidak lagi mendengar nama Bu Peta yang menatap senja. Yang mereka kenal hanyalah Bu Lina yang dermawan dan aktif dalam kegiatan sosial. Tidak ada lagi teriakan histeris pada saat senja, yang ada hanyalah senyuman dan keramahan. Takkan terlihat lagi sosok termenung di sudut senja. Takkan ada..
Ditemani semburat jingga yang mempesona, anak lelaki itu menatap sesosok wanita tua yang berbeda. Seseorang yang dulu dikenalnya sebagai 'Wanita di Sudut Senja'.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar