Selalu hujan. Entah mengapa selalu hujan. Setiap kali masalah menghampirinya, langit selalu saja ikut berduka, dan tentu saja hujan akan menemaninya. Rintikan hujan membuatnya lupa segalanya, suara rintik hujan, bau tanah lembap, atau udara sejuk akibat hujan. Ia tidak mengenal kesepian lagi saat hujan datang. Ia tidak lagi mengenalimu. mengenali dia, mengenali kita, ia benar-benar lupa. Tak ada satupun kata yang bisa menggambarkan rasa ketertarikannya kepada hujan. Suka, sayang, bahkan cinta, belum cukup untuk mewakilkan perasaannya kepada hujan. Padahal dulu ia tidak begitu, sebelum dia mengenal kau.
Semua karena engkau. Waktu itu juga sedang hujan, bukan? Pertemuan pertamamu dengannya. Kalian terlihat canggung waktu itu, kalian tidak cocok, kalian berbeda. Kau selalu mencintai hujan, sedangkan dia; tidak pernah peduli kepada hujan. Tapi entah kenapa, setelah ia mengenal kau, semua berubah, Kau mampu mengubah dan mempengaruhi pemikirannya yang-kau-tau-sendiri keras kepala. Kau benar-benar istimewa, dan tentu saja dia menyadari itu. Sebab itulah dia mati-matian memperjuangkan perasaannya terhadapmu. Ah..aku ingat ketika dia bercerita kepadaku tentang alasannya memperjuangkanmu. Sebuah alasan konyol, menurutku. "Kau tau tidak, kalau orang berzodiac Cancer dan Pisces itu berjodoh? Kepiting dan ikan, sama-sama hewan air, kan? Nah.. kau tau hujan? Itulah air yang mempertemukan kami."
Ia yakin sekali bisa berada di sampingmu lalu menjalani hari-hari indah maupun gundah hanya berdua denganmu. Tidakkah kau menyadari seberapa tulusnya ia kepadamu? Kini ia adalah penikmat hujan yang setia menunggu hujan itu reda demi melihat cahaya warna-warni bianglala menghiasi langit biru. Aku ragu ia akan mendapatkan pelangi itu.
Sampai kapankah ia akan tetap menunggumu? Selamanya? Apa ia sanggup? Aku tidak yakin. Meski seringkali ia berusaha mencoba menghubungimu, tapi berulangkali pula ia mengurungkan niatnya. Dia tidak gengsi, dia hanya takut diabaikan lagi. Bodoh sekali. Mengharapkan sesuatu, tapi takut dengan resiko.
Entahlah. Aku tidak ingin membela siapa-siapa. Kadang aku teramat ingin menyemangatinya, terkadang aku malah membencinya. Kadang aku ingin sekali menyadarkanmu, terkadang juga aku lelah mengharapkan kebaikan hatimu. Sepertinya aku harus memihak hujan saja. Biarkan hujan mencurahkan semua. Semoga perlahan, kegalauan ini luntur.
Sudah cukup lama ia berteman dengan hujan. Aku takut dia bosan. Aku tau, berlarut-larut dalam penantian itu menyeramkan. Aku tau, bertaruh pada sebuah harapan kosong itu mengerikan. Dan aku tau, ia tidak sepemberani itu. Ah.. semoga saja dia cukup kuat menahan semuanya.
* * *
Yang kutakutkan datang juga. Dia sudah terlalu lelah menunggumu kembali. Ia bosan berteman dengan hujan, walau hujan bisa membuatnya melupakan kesepian. Yang ada dalam pikirannya waktu itu hanyalah dirimu yang akan datang bersamaan dengan hujan; seperti pertemuan pertama kalian. Sebab itulah ia selalu setia kepada hujan, sekaligus menantimu di tengah dingin yang menusuk ke seluruh organ.
Dia bosan.
Sekarang ia telah menyingkirkan diri dari tetesan air hujan. Menghindar dari payungan awan-awan hitam. Memutuskan untuk berhenti menghirup udara segar dan bau tanah lembap karena hujan. Dia sudah belajar mengikhlaskan. Aku tau dia tidak kuat dalam melawan rasa bosan. Tapi, akhirnya aku sadar, dia lebih kuat sekarang, karena dia mampu untuk mengikhlaskan. Aku salut, teman.
Kini, saat dia sudah tidak mengharapkanmu untuk kembali, kau justru muncul di hadapannya dengan senyuman yang telah lama ia rindukan. Tapi, itu tidak ada gunanya lagi, sebab semua sudah terlambat. Hujan itu telah reda, dan warna-warni pelangi sudah tampak di pelupuk matanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar