About Me

Foto saya
Hanya orang biasa yang menyempatkan untuk berkarya.

Jumlah yang sudah singgah

Selasa, 24 Desember 2013

Pesan di antara Rintik Hujan

From: Almira
      Sayang, udah dulu ya. Aku mau mandi hujan.. Byeee ({})

Pesan ini selalu kubaca ketika turun hujan. Pesan yang dikirimnya kepadaku beberapa bulan yang lalu. Tidak hanya sekali ia mengirimkan pesan yang semacam ini, ia seringkali melakukannya. Tentu saja setiap hujan turun. Berulang kali pula aku melarangnya untuk membiarkan tubuhnya dibasahi oleh rintik dan dinginnya air hujan. Tapi dia tidak pernah mau mendengarkanku, hingga nanti aku akan mendengar kabar dari teman dekat sekaligus tetangganya, Sania: "Bang Arief, Almira sakit."

Almira adalah gadis paling aneh yang pernah aku kenal. Aku malah lebih aneh, bisa-bisanya mencintai seseorang yang aneh. Hobinya adalah menari di antara rintikan hujan. Padahal dia sendiri tau, daya tahan tubuhnya tidak sekuat itu. Saat aku tanyakan mengapa ia senang melakukan hal itu, ia hanya menjawab singkat, "Aku bisa merasakan jiwaku lepas."

Aku menyayangi Almira. Rasa sayangku kepadanya ini berbeda. Aku sayang dengan keluargaku. Aku sayang dengan ibuku, ayahku, saudaraku, tapi sayang kepadanya sangat berbeda. Berbeda. Entah kenapa.

Terkadang aku sempat ragu, apa ia menyayangiku sama seperti aku menyayanginya. Sebab, perlakuannya kepadaku tidak pernah sedikitpun memperlihatkan bahwa ia benar-benar menyayangiku. Pernah aku mendadak murka kepada Almira. Aku juga tidak tau setan apa yang tengah menghasutku. Mungkin setan yang diam-diam bersemayam di balik rasa sayangku. Aku memarahinya, menyalahkannya, dan menuduhnya yang tidak-tidak. Semua karena aku merasa bahwa aku tidak dihargai sama sekali olehnya. Dia hanya diam waktu itu. Tubuhku bergetar hebat karena menahan emosi. Namun, tiba-tiba hal yang tidak sanggup aku saksikan itu muncul di hadapanku. Ia menangis.

Sial. Apa yang aku lakukan? Aku membuat orang yang paling aku sayang menangis. Manusia macam apa aku? Ah aku benar-benar kehilangan diriku waktu itu. Syukurlah, hujan yang turun dari pelupuk matanya itu segera menyadarkanku.

* * *
"Bang, Almira tadi mandi hujan lagi. Aku rasa ia sedang menyamarkan tangisnya. Kalian ada masalah apa lagi?" Begitulah kalimat yang aku dengar begitu menjawab telpon dari Sania di suatu siang yang gelap.

"Entahlah.." jawabku singkat, lalu menutup pembicaraan itu.

Aku memang tidak tau apa salahku. Biasalah, lelaki memang tidak ada yang peka. Apalagi jika bertemu dengan orang seperti Almira. Orang yang bisa menutup semuanya rapat-rapat, menyembunyikan semua di balik senyum palsu. Aku benar-benar gila dibuatnya.

Aku sering mengajukan pertanyaan kepada diri sendiri. Pertanyaan yang selalu sama:
"Sebenarnya, apa arti aku di hidup Almira?"

Kedengarannya memang konyol. Tapi hingga saat ini aku belum bisa menemukan jawabannya. Kadang aku berpikir, aku ini tidak ada artinya di hidup dia. Sebab, ia memperlakukanku seenaknya saja, tidak pernah mempedulikan kehadiranku yang selalu ada untuknya, yang selalu memperhatikannya, yang selalu mengkhawatirkannya, yang selalu menyisihkan waktu hanya untuk sekedar bertanya tentang kabarnya. Kadang juga aku berpikir, jika aku tidak ada artinya di hidup dia, lantas mengapa kemarin ia menangisiku? Almira benar-benar membebankan pikiranku.

Tidak berapa lama kemudian, dia melepaskanku. Lebih sakit lagi, ia melepaskanku tanpa sebuah alasan. Tidakkah kau pikir itu sangat kejam? Membiarkan kita terselubung pada kebingungan dan ketidakjelasan. Kau akan dihantui rasa bersalah jika dilepaskan tanpa adanya alasan. Ternyata aku benar bukan? Ia memang tidak pernah menyayangiku. Jika dia benar-benar menyayangiku, tak mungkin kan ia membiarkanku disiksa rasa bersalah dan rasa penasaran?

* * *
Hujan turun lagi. Kali ini, tidak akan ada lagi kabar yang berbunyi seperti, 'aku mau mandi hujan dulu ya sayang'. Tidak akan ada. Seharusnya diriku sudah terbiasa dengan kehilangan kabar seperti itu, sebab aku sudah tidak mendapat kabar itu sejak satu tahun lamanya. Seharusnya aku terbiasa. Seharusnya. 

Tapi aku tidak bisa. Karena tiap kali hujan turun, hanya akan mengingatkan aku kepada Almira. Mengingatkanku pada kenangan pahit yang tak pernah kubayangkan malah terjadi. 

Waktu itu hujan turun lebih deras dari biasanya. Aku sangat merindukan pesan yang dikirimnya setiap hujan seperti dulu. Aku juga merindukan sebuah kabar lewat telpon yang disampaikan Sania. Aku benar-benar merindukan itu semua. Di kala aku tengah terlarut dalam rinduku, sebuah ketukan di pintu menyadarkanku. Siapa pula yang mau-maunya hujan-hujanan begini untuk singgah ke rumah orang?

Begitu kubuka pintu, alangkah terkejutnya aku.

"Sania? Ada apa?" tanyaku sambil mempersilahkannya masuk.
"Almira pergi bang." ucap sania.
"Maksud kamu?"
"Penjelasannya panjang. Yang jelas, tadi ia menitipkan surat ini sebelum pergi. Dia bilang ini untuk Arief."

Sania pun pergi setelah menghantarkan sepucuk surat ke telapak tanganku. Tak pikir panjang lagi, aku membuka surat itu.

Dear Arief-ku tersayang,
     Maaf aku terlalu sering mengabaikanmu. Aku tidak bermaksud apa-apa. Mungkin kamu akan mengerti semuanya setelah membaca suratku hingga ke bawah.
     Aku memang hebat dalam menyembunyikan segalanya, kamu tau itu. Termasuk menyembunyikan penyakit Leukimia akut-ku ini. Aku sengaja mengabaikanmu, supaya kamu tidak terlalu merasa kehilangan setelah aku tiada nanti. Maafkan aku.
     Hari ini aku akan berangkat ke luar negeri untuk pengobatan terakhir. Doakan aku supaya bisa kembali ke pelukanmu. Tapi, jika aku tidak kembali, jangan pernah menungguku. Kamu boleh mencari seseorang yang lebih baik aku, tapi aku mohon jangan lupakan aku. Sebab, satu-satunya cara agar aku tetap hidup adalah dengan hinggap pada kenanganmu.
     Maka dari itu, supaya aku tetap hidup, kuperintahkan temanku untuk membuatku kembali mengingatku. Kamu mengenal temanku itu. Namanya Hujan.
Kecup mesra,

Almira

Setiap kali hujan turun, aku akan keluar dan membiarkan tubuhku dibasahi oleh dingin dan rintiknya hujan. Aku merentangkan tanganku lebar-lebar dan mendongakkan kepalaku dengan mata yang terpejam. Aku merasakannya. Di setiap rintikan yang jatuh ke telapak tangan, aku merasakan butiran kerinduan. Semua tetesan itu kucoba kumpulkan hanya untuk mengenangmu, sang pecinta hujan.

3 komentar: