About Me

Foto saya
Hanya orang biasa yang menyempatkan untuk berkarya.

Jumlah yang sudah singgah

Senin, 23 Desember 2013

Senyum dan Permintaan

Mobilnya diparkir seadanya saja. Seolah-olah tak ada waktu lagi untuk memarkirkan dengan rapi, karena ia tau kemampuan menyetirnya memang sedikit payah. Untuk memarkirkan dengan tepat, ia membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Sementara waktu yang ia punya sedikit sekali. Begitu keluar dari mobil sedan putihnya, kakinya terpacu pada langkah yang terburu-buru. Tanpa sempat meihat kesana-kemari, ia masuk ke dalam sebuah cafe yang sudah biasa ia datangi.
Ia berdiri sekejap di dekat kasir. Matanya menyapu bersih seluruh ruangan hingga akhirnya ia melihat seorang wanita tersenyum sambil melambaikan tangan ke arahnya. Dengan langkah seribu, ia menghampiri wanita itu dan duduk di sebelahnya.

“Sudah lama ya, Sa?” tanya lelaki itu dengan wajah panik. 
“Tidak.. kamu tepat waktu. Hanya aku yang datang terlalu cepat.” Wanita itu tersenyum ke arahnya.
“Kenapa kamu tersenyum? Ada yang salah denganku?” lelaki itu refleks memeriksa pakaiannya kalau-kalau ada noda menjijikkan yang menempel di sana.
“Kamu itu lucu.” Jawab wanita itu singkat. 
Lelaki itu mengernyitkan dahinya. Ia bingung.
“Lihatlah, wajahmu yang panik itu. Hahahahaha lucu sekali...”
Ia sangat tidak mengerti apa yang terjadi dengan wanita itu dan hanya menggeleng-gelengkan kepala. Melihat kondisi meja yang belum tersedia apa-apa, lelaki itu memanggil seorang pelayan untuk memesan sebuah hidangan.

“Pesan apa, pak?” tanya pelayan itu dengan ramah sambil memegang sebuah pensil dan kertas guna mencatat pesanan.
“Saya pesan kopi susu hangat satu. Kamu, Sa?”
“Biasaaa....” jawab wanita di sebelahnya singkat sambil menebar senyum sarat makna.
“Jus sirsak-nya satu ya.” Lanjut lelaki itu.
“Tidak ada tambahan pak? Mungkin kentang gorengnya?” pelayan itu mencoba menawarkan.
“Hmm.. boleh deh.”
Pelayan itu pamit. Selang beberapa waktu, lelaki itu kembali menoleh kepada wanita anggun di sebelahnya. Wanita itu membalas tatapannya dengan senyum yang serupa seraya mengangkat kedua alis matanya entah dengan tujuan apa.
“Sudahlah.. tak usah kamu tutupi kesedihanmu dengan senyum palsu itu.” Lelaki itu angkat bicara setelah muak ditatap dengan senyum yang dibuat-buat.
“Siapa bilang senyum ini palsu. Aku hanya senang melihat wajahmu yang salah tingkah ketika matamu kutatap dalam-dalam disertai senyuman manisku ini.”
“Ayolah... berhenti bermain-main. Tak mungkin kamu tak punya urusan penting bila memanggilku untuk bertemu pada waktu seperti ini. Akui saja, kamu ada masalah apa lagi? Kamu dan Billy bertengkar lagi?”
Wanita itu buru-buru mengelakkan pandangannya dari tatapan Daffa. Ia takut, jika Daffa menatap bola matanya, maka akan tampak sebuah kejujuran yang menyatakan ‘iya’.
“Hey.. tatap aku..” perintah Daffa.
Wanita itu hanya diam. Tak bergeming sedikitpun. Tangannya meraih sebuah sapu tangan dari dalam tasnya dengan gerakan yang terburu-buru. Dengan cekatan, ia menyeka air mata yang tak sengaja mengalir membasahi pipinya yang kemerah-merahan.
Pemandangan semacam ini adalah kelemahan seorang Daffa. Ia tak sanggup melihat seorang wanita menangis di depannya. Terlebih lagi yang menangis itu adalah sahabatnya sendiri, Nessa. Pelayan yang datang untuk mengantarkan pesanan setidaknya bisa mengalihkan pemandangan yang tidak disukainya itu.

“Minumlah dulu..” ujar Daffa pelan sambil menyodorkan jus sirsak kesukaan Nessa.
Nessa mengangguk pelan. Mengambil minuman favoritnya dan meneguk dengan perlahan. Di setiap tegukannya mampu setidaknya mengurangi beban pikiran yang sudah dipikulnya sejak beberapa hari ini.

“Dia pergi dengan wanita lain. Dia berduaan. Dia dipergoki oleh teman-temanku secara tidak sengaja.” Ungkap Nessa setelah merasa sedikit tenang.
Daffa tetap diam dan menatap Nessa dengan teduhnya. Daffa tau, pada saat ini ia tidak perlu melakukan apa-apa selain mendengarkan. 

“Aku dibohongi. Apa artinya aku bertahan selama berbulan-bulan jika hanya untuk dikhianati?”
Nessa menceritakan semuanya dengan begitu detail. Lengkap dengan deskripsi hatinya yang sekarang bisa dibayangkan tidak mempunyai bentuk yang beraturan lagi. Sementara itu, Daffa hanya duduk tenang mendengarkan. Sampai-sampai ia lupa meneguk kopi susunya yang sudah agak dingin itu.

Dua sahabat ini memang saling tau dan saling mengerti satu sama lain. Banyak yang bilang, mereka sudah sangat cocok. Banyak juga yang bertanya, mengapa mereka tidak menjalin hubungan yang lebih saja. Semua percaya, mereka berdua akan baik-baik saja jika disatukan. Mereka tidak harus menjalin hubungan menyakitkan lain lagi di luar sana. Tapi, setiap kali mereka dihadapkan pada pendapat orang semacam itu, mereka akan membantah, tersipu malu, lalu membawa obrolan kepada topik yang lain.

"Udahlah Sa, kamu gak perlu menangisi orang yang sama sekali gak pernah peduli sama kamu." ujar Daffa. "Bukannya kamu juga bilang seperti itu waktu aku baru saja putus dari Almira." lanjutnya lagi.

Nessa mengangguk pelan. Lalu ia menyandarkan kepalanya di pundak Daffa. Daffa mengusap kepalanya pelan.

"Makasi ya Fa.." kata Nessa dengan suara yang tertahan.

"Iya.." jawab Daffa sambil mengusap kepala Nessa.
"Aku pengen kamu selalu ada di samping aku terus Fa, nemanin aku." kata Nesa lagi dengan sedikit terisak..
"Iya Sa, dari dulu kan emang gitu.."
"Aku butuh kamu lebih dari itu Fa. Cuma kamu yang bisa ngerti aku.." Nessa menegakkan kepalanya dari pundak Daffa. Menatap wajah Daffa yang sedikit terkejut.

Mata Nessa berkaca-kaca. Tatapannya ke Daffa semakin mendalam. 

"Maksud kamu, Sa?"
"Aku butuh kamu Fa. Sekarang aku udah sadar. Kamu orang yang seharusnya menemani aku selama ini Fa. Bukan Billy, bukan siapapun. Tapi kamu Fa.."

Daffa hanya bisa diam. Ia tau, Nessa memang bersungguh-sungguh sekarang. Dan atas permintaan itu, Daffa mungkin tidak punya pilihan lain. Meski masih ada puing-puing sosok Almira di hatinya, tapi sepertinya dengan kehadiran Nessa, semua puing-puing itu akan lenyap. Daffa merasa pilihannya benar.

"Iya Sa.. Aku juga udah sadar. Sebenarnya kita udah lama coba disatukan oleh takdir. Tapi entah kenapa, hati kita selalu mencoba melawan itu semua, karena kita berdua.." kalimat Daffa terhenti karena Nessa memotong kalimatnya.
"Saling takut kehilangan kan?"

Daffa mengangguk.

"Kita bisa dilaknat kalau kita terus-terusan melawan takdir seperti ini. Mulai sekarang, aku akan selalu menjadi orang yang akan selalu ada untuk kamu dan berbuat lebih, Sa.."

Air mata Nessa berderai. Senyuman mulai terbit dari sudut-sudut bibirnya. Kali ini bukan senyum palsu, tapi senyum tulus dengan penuh rasa syukur.


"Makasih, Fa. Aku sayang kamu." Nessa memeluk tubuh Daffa erat.
"Iya Sa, aku sayang kamu juga. Detik ini, hingga selamanya." bisik Daffa, tepat di sebelah telinga Nessa.

1 komentar: