Sudah seharusnya aku tidak mempercayaimu sejak dulu, dari awal kita bertemu. Kau selalu bilang kau tidak apa-apa, padahal kau sedang terluka. Kau selalu tertawa, padahal kau sedang berduka. Kau selalu menghibur kami, padahal kau sendiri tengah tersakiti.
Mengapa kau berbohong kepada kami, Arinda? Apa yang hendak kau tutupi sehingga kami terlalu sulit untuk menemukan bayanganmu? Bukankah kau katakan bahwa kami adalah tempat paling tepat untuk meluapkan semua gundahmu? Kau sebut kami sahabat, kau sebut kami orang yang tepat, kau sebut kami orang yang selalu bisa membuat hari-harimu menjadi lebih hebat, tapi apa yang kau lakukan, Arinda? Kau menutupi hal terbesar dan terpenting yang seharusnya kami bertiga pantas untuk mengetahuinya.
Aku benar-benar kecewa.
* * *
Adit membuat pagiku menjadi buruk. Ia membuat aku harus kehilangan kesempatanku untuk berciuman dengan Scarlett Johannsson. Aku tidak sempat merasakan kegairahan di bibir itu ketika suara teriakan Adit di telinga membuyarkan alam bawah sadarku. Begitu aku membuka mata, yang tampak hanyalah wajah jelek dengan kumis tipis dan alis mata tebal sedang menatapku. Pukulan di wajahnya sesaat setelah itu memang pantas ia terima karena berani-beraninya menghancurkan kesempatan emas seumur hidupku.
Begitu aku selesai mandi, kulihat Adit masih saja sibuk bercermin sambil menggosok pipinya yang membiru karena pukulan penuh dendamku. Hingga detik ini aku masih belum tahu apa tujuannya datang pagi-pagi dan mengacaukan mimpiku. Mimpi indahku.
"Jadi ada apa sebenarnya?" tanyaku ketika sudah berpakaian rapi kepada Adit yang masih sibuk mengelus pipi kirinya. Adit tak langsung menjawab pertanyaanku. Ia merogoh kantong celananya dan mengambil ponsel miliknya.
"Nina mengirimkan pesan ini kepadaku." jawab Adit kepadaku sambil menunjukkan layar pesan di ponselnya.
Kuraih ponsel miliknya dan kubaca pesan dari Nina itu.
"Jemput aku besok pagi. Aku menemukan jejak Arinda."
Tanpa banyak bertanya lagi, aku langsung melangkah ke garasi rumahku dan memanaskan mobil. Rumahku ini sudah seperti rumah kami bersama; aku, Adit, dan Nina. Kami bertiga memiliki kunci rumah ini masing-masing. Karena itulah Adit bisa seenaknya masuk ke kamarku dan menghancurkan mimpi indahku tadi. Aku menyesal telah memberikannya kunci rumah ini.
Mengingat pesan penting yang dibawanya pagi ini, aku rasa sudah tidak perlu lagi mempermasalahkan kejadian tadi pagi. Lagipula aku sudah melakukan pembalasan yang setimpal di pipi kirinya. Kini, berita tentang Arinda adalah hal yang lebih indah daripada berciuman dengan Scarlett Johannsson.
Aku, Adit, Nina, dan Arinda sudah bersahabat sejak di bangku SMA. Kami selalu saling mengisi dalam situasi apapun. Tak heran, dari pengalaman cabut sekolah hingga mengerjai polisi lalu lintas sudah kami lakukan bersama-sama. Kenakalan kami saat itu sangat beralasan, karena Nina mendapat telepon dari keluarganya bahwa ayahnya tengah sekarat. Nina yang hanya anak kost disini begitu panik pada saat itu ketika tidak tahu harus bagaimana untuk pulang ke rumahnya yang berada di kabupaten yang berbeda. Aku dan Adit yang membawa motor pada saat itu menawarkan diri untuk mengantarnya. Arinda juga tidak tinggal diam, dia ingin ikut. Maka terpaksa kami bertiga harus melarikan diri dari sekolah tanpa pikir panjang. Tapi polisi lalu lintas sialan menghambat keterburuan kami. Beruntung aku banyak membaca dan tahu nama polisi berpangkat tinggi yang aku sebut sebagai ayahku. Lantas, polisi yang hendak menilang kami tadi membiarkan kami pergi ketika aku melakukan gerakan mengancam dengan berpura-pura menelpon 'ayah palsu'-ku itu.
Perjalanan kami memakan waktu dua jam. Beruntung Nina masih sempat bertemu dengan ayahnya yang sekarat itu walaupun pada akhirnya nyawa ayahnya tetap saja tidak bisa ditolong lagi. Di saat Nina yang pilu karena kehilangan orangtuanya, justru orangtua kami yang kehilangan anaknya. Aku lupa memberi kabar pada orangtuaku karena terlalu sibuk menghibur dan menenangkan Nina. Walau kami sudah memberikan alasan kepada pihak sekolah, tapi tetap saja kami dihukum. Meskipun dengan hukuman yang lebih ringan daripada seharusnya. Sedangkan orangtuaku tidak terlalu mempermasalahkan masalah aku cabut setelah tahu alasan sebenarnya. Beliau lebih mempermasalahkan mengapa aku tidak mengabari mereka.
Begitulah persahabatan kami. Tidak akan bisa ditemukan hal yang serupa di belahan bumi bagian manapun.
* * *
Semua bermula dari pertengkaran tak terelakkan. Waktu itu kami berempat tengah berkumpul di tempat favorit kami. Sebuah kafe bernuansa outdoor di bukit tertinggi, yang menyajikan pemandangan satu kota. Kami berempat sependapat, bahwa pemandangan lepas seperti ini akan lebih menyejukkan pikiran kita yang setiap hari memandangi tempat-tempat yang terlalu banyak sudut mati.
Aku sendiri masih heran mengapa kami bisa pecah seperti ini. Kenyamanan yang tiap hari kami rasakan tiba-tiba sirna ketika Adit yang biasanya lebih memilih diam, mengeluarkan kata-kata yang tak bisa dipercaya. Kalimat yang keluar dari mulutnya mencabik-cabik perasaan Nina, tentu saja karena kalimat jahat itu tertuju padanya. Aku tidak bisa lagi mengingat pertengkaran malam itu. Mungkin lebih tepatnya, aku tidak ingin mengingatnya. Yang jelas setelah itu, Arinda mengajukan perjanjian untuk kami berempat. Perjanjian yang memulai semuanya.
"Apa yang sebenarnya ada di benak kalian?! Kita udah berteman lama. Tapi kenapa kalian menjadi pecah seperti ini? Mengapa hubungan yang bertahun-tahun bisa musnah hanya dalam satu malam?" teriakannya menghentikan pertengkaran konyol ini.
"Mulai malam ini, selama sebulan lamanya, kita tidak usah bertemu dulu. Tidak boleh ada satupun dari kita yang berkomunikasi." Arinda melanjutkan kalimatnya.
Aku adalah orang yang paling pertama menyetujui pendapatnya. Aku tidak tahu alasanku mengiyakan, yang jelas hati kecilku merasa ini adalah jalan terbaik. Sedangkan Nina, adalah yang paling sulit menyetujuinya. Tapi, karena yang lain sudah setuju, terpaksa ia juga harus mengikuti perjanjian ini. Sebulan lagi, di tempat yang sama, di jam yang sama, kami akan bertemu kembali.
"Gunakanlah waktu sebulan ini untuk saling mengintrospeksi diri." ujar Arinda lagi. Ia membalikkan badannya dan berjalan menjauhi kami. Kami terus menatap punggungnya yang perlahan menjauh hingga akhirnya tak tampak lagi.
Aku kira masalah ini selesai begitu saja. Namun, setelah perjanjian sebulan ini usai, dan aku menepatinya dengan datang kembali ke kafe ini, masalah baru pun timbul lagi. Malam ini hanya aku, Nina, dan Adit yang menepati janji. Tak ada Arinda malam ini, malam sesudahnya, ataupun malam-malam berikutnya.
* * *
Terhitung 3 tahun lamanya kami kehilangan Arinda. Tak ada jejaknya lagi meski kami bertanya-tanya kepada tetangganya kemana keluarga Arinda pindah. Mengapa Arinda tidak mengabari kami? Apa karena perjanjian yang melarang kami untuk berkomunikasi ini? Apa salahnya ia melanggar saja, untuk kondisi mendesak ini? Lagipula setelah perjanjian ini pun dia sudah tidak bisa dihubungi lagi. Kami kehabisan akal.
Setidaknya pesan Nina pagi ini sudah menaruh sedikit asa kepada kami yang sudah kelelahan untuk berharap. Aku memacu mobilku menuju rumah Nina. Ternyata ia sudah menunggu di depan rumah, dan tanpa tingkah apapun yang memperlambat, ia masuk ke mobil dan menceritakan semuanya.
"Aku dapat alamat ini dari seorang yang mengaku disuruh oleh Arinda." Nina menunjukkan sebuah kertas dengan alamat yang berada di luar kota. Tidak jauh, mungkin hanya berjarak sekitar 3 jam jika aku memacu mobil ini dengan kecepatan penuh.
Sambil mengemudikan mobil, pikiranku mengkhayal. Terbayang olehku wajah Arinda yang semakin cantik dengan rambut panjang bergelombang yang dulu sering aku elus perlahan saat ia tengah bercerita dengan air mata berderai di pundakku. Selanjutnya aku membayangkan ia tersenyum ke arahku lalu memelukku erat dengan segala kerinduan yang tak pernah tersalurkan. Senyumnya itu mampu memekarkan bunga di dadaku yang semakin lama semakin menyesakkan hingga aku seperti akan mati. Pesona senyumnya membunuhku.
Tak terasa khayalku menghabiskan waktu. Tiga jam tak terasa lagi ketika kami sampai di alamat yang dituju. Ada satu kejanggalan. Rumah ini terlalu ramai. Aku harap sedang tidak terjadi apa-apa. Aku menepis segala kemungkinan terburuk itu.
Nina keluar terburu-buru dari mobil. Air matanya berderai, aku bisa melihat itu. Aku berani bertaruh dia sedang mencoba menepis semua kemungkinan buruk yang terlintas sejenak tadi di pikiranku. Apalagi setelah Adit berkata, "Semoga tidak seperti yang kuduga." saat turun dari mobil. Ternyata pikiran kami sama.
Aku melangkah perlahan sambil melewati beberapa orang yang terlalu ramai tadi. Aku mencoba masuk ke rumah dan menuju ruang tengah. Kami tidak menuju alamat yang salah, kami bertemu dengan Arinda. Tangisku pecah. Jantungku berasa ditikam berkali-kali. Nafasku tersengal seperti baru saja melakukan olahraga berat. Adit dan Nina tak jauh berbeda. Kami terpukul. Namun Arinda masih tetap diam, tak bergerak.
Tangisan ini kucoba tahan sambil mendekat ke arah Arinda yang hanya diam. Tubuhnya pucat, dingin, dan kaku dengan pakaian serba putih--pakaian semua manusia. Sambil terbaring, ia masih menyunggingkan senyum. Aku benar-benar merasa terbunuh oleh senyumnya.
Kami bertiga terbenam pilu. Tangis kami tak bersuara. Orang-orang sekitar yang telah datang lebih dulu dari kami hanya melihat dengan keheranan tanpa bisa berbuat apa-apa. Tiba-tiba pundak Nina dipukul oleh seseorang dari belakang. Nina membalikkan badan.
"Aku yang kemarin loh mbak." ujar wanita itu. Nina mengangguk.
"Ah ya aku ingat, kau yang memberikan alamat itu kan?" jawab Nina sambil menyeka air matanya.
"Dia sudah sakit lama sekali. Sudah lebih lima tahun ia menahan leukimia ini." lanjut wanita tadi sambil menatap ke arah jenazah Arinda. Kami bertiga diam, menatap jenazah teman kami itu dengan air mata yang berlinang seenaknya.
Melihat kami bertiga yang terlalu pilu, wanita tadi menahan ceritanya. Aku sangat terpukul, apa yang kubayangkan tiga jam lalu, dan apa yang kunanti selama tiga tahun ini, berakhir pada pemandangan Arinda yang terbujur kaku. Tanpa nyawa, ia masih sanggup tersenyum.
Sudah
seharusnya aku tidak mempercayaimu sejak dulu, dari awal kita bertemu.
Kau selalu bilang kau tidak apa-apa, padahal kau sedang terluka. Kau
selalu tertawa, padahal kau sedang berduka. Kau selalu menghibur kami,
padahal kau sendiri tengah tersakiti.
Mengapa
kau berbohong kepada kami, Arinda? Rupanya ini yang hendak kau tutupi selama ini. Bukankah kau katakan
bahwa kami adalah tempat paling tepat untuk meluapkan semua gundahmu?
Kau sebut kami sahabat, kau sebut kami orang yang tepat, kau sebut kami
orang yang selalu bisa membuat hari-harimu menjadi lebih hebat, tapi apa
yang kau lakukan, Arinda? Kau menutupi hal terbesar dan terpenting yang
seharusnya kami bertiga pantas untuk mengetahuinya.
Aku benar-benar kecewa.
Wanita suruhan Arinda yang dari tadi duduk di sebelah kami dengan diam, bersuara lagi, kali ini dengan maksud menenangkan kami.
"Tenanglah.. kalau kalian meratapinya terus, mbak Arindi bakal marah loh."
Nina yang dari tadi terkulai lemas di pundak Adit, mendadak kuat untuk menegakkan kepalanya.
"Maksud kamu?" tanya Nina sambil mengerutkan keningnya.
"Iya, maksud saya, Mbak Arindi bakal gak tenang perginya kalau kalian meratapi dan tidak mengikhlaskannya." jawab wanita itu lagi.
"Siapa?!" tanya Nina lagi.
"Almarhumah Mbak Arindi." jawab wanita itu sambil menatap jenazah yang terbaring.
Aku, Nina, dan Adit bertatapan. Saling tidak mengerti. Tak ada kata-kata namun terlalu banyak tanda tanya.
Aku memutuskan untuk keluar sebentar. Nina dan Adit mengikuti langkahku. Kami bertiga menyadari sesuatu yang salah, tapi masih tidak percaya.
"Maksud wanita itu apa?" tanyaku.
"Entahlah, mungkin dia hanya salah bicara." jawab Adit cepat.
"Atau... " belum selesai Nina berbicara tiba-tiba ada lengan yang melingkarkan tubuhnya dari belakang. Aku dan Adit spontan kaget. Begitupun Nina, terlebih sewaktu iya membalikkan tubuh guna melihat siapa yang tengah memeluknya.
"Hai...!!!" kata seseorang di hadapan kami bertiga.
"ARINDA?!!" teriak kami serempak. Lantas, Arinda merentangkan tangannya, sinyal supaya kami memeluknya. Tapi tak ada satupun yang hendak memulai.
"Hei. Ini aku, Arinda." ulangnya lagi.
Adit menunjuk ke arah rumah dengan jari telunjuk gemetar. Arinda hanya tersenyum.
"Oh itu Arindi. Kembaranku." jelasnya, singkat.
* * *
Setelah bersusah payah membuat kami bertiga percaya bahwa dia itu nyata, barulah Arinda menjelaskan semuanya. Dalam perjanjian sebulan itu, ia diharuskan pindah rumah untuk memudahkan akses pengobatan Arindi. Karena masih terikat perjanjian itu Arinda tak bisa mengabari kami bertiga. Arinda berniat akan menelpon kami saat perjanjian itu usai. Namun malang tak dapat dihindar, ponsel Arinda hilang yang tentu saja memutuskan koneksi apapun dengan kami. Sebetulnya Arinda ingin sekali mengunjungi kami, tapi kondisi Arindi, kembarannya, sangat mengharuskan ia untuk menemani Arindi sepanjang waktu. Saking tidak sempatnya, bahkan Arinda menyuruh pembantunya untuk mengantarkan alamat rumah barunya ke alamat Nina yang beruntung masih diingatnya.
Di dalam hati aku bersyukur. Bukan mensyukuri kematian Arindi, tapi mensyukuri hidupnya Arinda. Aku sangat takut apabila Arinda benar-benar meninggal dunia. Aku takut tak sempat mengutarakan perasaanku pada Arinda.
"Kenapa kamu senyum-senyum sendiri? Kamu kagum ya karena aku terlalu hebat merahasiakan semua ini? Tiga tahun loh.." ujar Arinda kepadaku.
Aku hanya tersenyum. Mana mungkin aku bilang bahwa akulah yang paling hebat dalam urusan merahasiakan. Kau hanya tiga tahun, Arinda. Sedangkan aku sudah merahasiakan ini sejak pertama kali kita bertemu. Ya, aku masih sanggup merahasiakannya, Arinda. Suatu saat aku akan mengungkapnya:
Aku sangat mencintaimu, Arinda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar