Mungkin aku sedikit
bahagia, mungkin juga aku meragu. Yang jelas, aku sendiri masih tidak yakin
dengan apa yang kurasakan saat ini. Semua karena surat yang kutemukan terselip
di celah pintu depan rumahku tadi pagi. Memang, aku sudah lama sekali tidak
menerima surat, kira-kira sudah empat tahun lamanya. Begitupun dengan
mengirimnya. Aku ingat, terakhir kali aku mengirim surat, tepat sebelum aku
meninggalkan tanah air ini untuk berangkat ke ranah Britania Raya. Surat yang
mewakilkan ucapan selamat tinggalku padanya.
Tapi surat yang kutemukan
pagi ini agak berbeda dari yang kuterima biasanya. Surat ini lebih penuh tanda
tanya dan sarat makna. Aku mencoba memahami isinya dengan membacanya ribuan
kali, hingga aku akhirnya mengerti apa arti dari kalimat “..bertemu kembali di
tempat kenangan masa muda..” di dalam surat tersebut. Ya, aku sudah tau akan kemana, sepertinya.
* * *
Dugaanku
benar tentang ‘kenangan
masa muda’ di surat itu. Tempat yang akan membawaku kembali menuju masa
lalu. Tak salah lagi, bekas SMA-ku inilah yang dimaksud. Tak mungkin salah, sebab sudah
ada spanduk bertuliskan, “Reuni Angkatan 34’ di daerah selamat datang sekolah
ini. Aku melihat wajah-wajah lama yang sangat kurindukan.
Ada yang datang sendirian, ada yang datang dengan pasangan, bahkan ada yang
datang dengan menggendong buah hatinya. Satu hal yang aku tau, mereka masih tetap
membawa satu hal yang sama: ‘kenangan’.
Sasaran
utamaku adalah tembok tua di tengah sekolah. Tembok yang penuh kenangan. Tembok
tempat ditempelkannya cerpen dan puisi-puisiku, tembok saksi teriakan kami saat
melihat hasil kelulusan, tempat pertama aku bertemu dengannya. Hingga saat ini,
tembok tua penuh kenangan ini tak banyak berubah.
“Fan..?”
sapa seseorang dari arah belakang saat aku tengah menatap tembok tua ini dan
menerawang masa lalu yang ada di dalamnya.
Aku membalikkan badan.
“Fandi, kan?” lanjutnya lagi. Aku mencoba
mengingat-ingat siapa dia. Wajahnya tidak asing, hanya saja aku lupa namanya.
“Fia, ya?” tebakku saat melihat lesung pipi di
wajahnya.
“IYA!” ia mengangguk, lalu memelukku erat.
Aku sudah ingat, dia adalah teman sekelasku dulu.
Orang paling ceria yang pernah ada. Satu hari saja kelas tanpa dia, terasa
sunyi dan berbeda. Tipe manusia yang paling sulit dilupakan.
“Wah.. makin tampan aja
kamu, Fan. Efek London kali ya?” Aku tergelak mendengar candaannya.
“Tampan tampan begini,
udah punya calon pendamping hidup belum?” lanjutnya lagi.
“Hah?” Aku berpura-pura bodoh. Membiarkan keheningan memberi jeda di
obrolan kami berdua.
Fia menyentuh pundak kananku secara
tiba-tiba di antara keheningan yang ada sambil berkata, “Masih kepikiran
Almira, ya?”
* * *
Tembok tua ini adalah saksi pertemuan pertama kami
berdua. Aku dan Almira. Dia adalah penikmat nomor satu karya-karyaku yang terpajang di tembok tua kesukaanku ini, yang dikenal orang lain dengan sebutan
mading. Awalnya dia bukan siapa-siapa.
Namun, waktu selalu bisa mengubah apa saja.
Setelah hari itu dan seterusnya, dia adalah
jawaban atas semua cerpen dan puisi yang pernah aku tempelkan di tembok tua
ini. Dia adalah sosok nyata dari sajak-sajak yang kutulis. Tapi itu dulu,
sebelum akhirnya dia meninggalkanku. Ng.. mungkin aku yang meninggalkannya.
Atau mungkin kami saling meninggalkan.
“Ngomong-ngomong, udah ketemu Arief?” tiba-tiba
Fia membuyarkan lamunanku.
Ah benar, Arief. Teman dekatku. Sejak aku
meninggalkan tanah air, aku tak lagi melakukan kontak dengannya.
“Anak-anak lagi ngumpul di auditorium. Rame
kok di sana. Kamu mau ke sana? Yuk barengan.” Ajak Fia.
“Boleh..”
* * *
Begitu
sampai di auditorium, aku langsung disambut dengan wajah-wajah yang kurindukan.
Ah.. teman semasa SMA memang teman yang paling indah. Setidaknya mereka lebih
baik daripada teman-temanku di London selama 4 tahun belakangan. Mereka masih
belum berubah.
“Fandi,
kan?” sapa seseorang di belakangku. Aku membalikkan badan.
“Astaga! Arief!!!” aku menjitak
kepalanya. Ia tertawa lalu membalas. Masih seperti yang dulu. Arief yang sama. Teman
paling gila yang pernah aku kenal.
“Gimana? Seru ya acara reuni-nya.” Tanya Arief
basa-basi.
“Lumayan.. aku baru datang sih, belum
ketemu banyak. Tadi ketemu Fia.”
“Oh gitu...” Arief mengangguk. “Oh iya. Kebetulan
timing reuni-nya pas. Aku harus terima kasih banyak ke penyelenggaranya.”
“Pas dengan apa?” tanyaku.
“Aku mau married bro! Jadi gak repot ngundang kalian.” Ujar Arief
menggebu-gebu.
“Wow! Selamat bro!” aku melakukan tos
dengannya. Kami berdua tertawa kegirangan.
“Nanti aku sekalian nyebarin undangan di
sini. Kamu jangan lupa datang.”
“Oke...” jawabku sambil mengangkat
jempol. “Oh iya, mana undangannya?”
“Bentar-bentar..”
Arief meninggalkanku, mungkin mau
mengambil undangan. Lalu, aku berjalan ke arah tempat hidangan makanan yang
ada. Sambil sesekali mengobrol dengan siapa saja yang aku jumpai. Ada si gendut
Razi, si mantan ketua osis Fajar, si gila Afdal, cheeleader cantik Shafira, dan
masih banyak lagi.
Setelah kurasa puas untuk bercanda tawa
di auditorium, kuputuskan untuk melangkah ke tembok tua yang paling kusuka. Masih
belum terpuaskan dahagaku untuk menikmati tempat paling bersejarah menurutku.
* * *
Di hadapan tempat bersejarah ini, aku
kembali dikagetkan dengan suara halus meneriaki namaku ketika aku sedang
terbang ke memori-memori indah bersama tembok tua ini. Memori indah ketika aku
mengungkapkan rasa cinta kepada Almira.
“Fandi?” ujar suara halus di sebelah
kananku. Langsung saja aku menolehkan kepala ke arah datangnya suara. Aku
melihat seorang wanita menghampiriku dengan langkah yang terburu-buru. Semakin dia
mendekat ke arahku, semakin kukenal siapa sosok itu hanya dengan wangi parfum
yang sangat kuhafal.
“Almira..? sudah lama sekali ya.” Ujarku pelan,
namun jantungku deg-degan.
“Ya.. terakhir kau menelantarkan aku
begitu saja. Tanpa kalimat perpisahan, tanpa pelukan.. hanya sepucuk surat
pemicu kerinduan. Kamu kejam sekali, Fan..” ujar perempuan berambut panjang
yang baru saja menghampiriku disertai dengan senyum menyindir.
Aku tidak tau harus berkata apa. Aku memang
salah, dan kuakui sudah. Mengejar cita-cita dan mengejar cinta itu dua hal
berbeda. Salah satu harus kukorbankan. Untuk itulah kupadamkan api cinta yang
menyulut kami berdua demi terbang ke Britania Raya untuk mengejar cita-cita.
“Kenapa diam saja?” tanya Almira lagi.
“Ng... aku minta maaf.”
“Ya.. sudah aku maafkan jauh-jauh hari. Hanya
saja, luka itu tidak mau hilang, Fan.” Almira tersenyum lagi.
Agak canggung memang. Tembok tua ini
adalah saksi diikrarkannya cinta kami. Kali ini, dia menjadi saksi pertengkaran
kami. Padahal aku dan Almira tidak pernah melakukan kontak selama 4 tahun. Bukannya
melepas rindu, dia justru meluapkan amarah.
“Al..” ucapku seraya menatap matanya
dalam-dalam. “Aku hanya tidak sanggup mengucap kalimat perpisahan. Aku akan
ragu untuk terbang ke London kalau harus melakukan adegan menyedihkan itu.
Dan...”
Almira memotong kalimatku.
“..dan kamu akan melihat aku menangis,
berubah pikiran, lalu bisa saja membatalkan keberangkatan kan? Ya aku tau. Kamu
memang serapuh itu. Karena itulah aku jatuh hati padamu kala itu..”
“Yang penting, kamu sudah kutitipkan
surat. Ada sepotong hatiku yang tertera di coretan sederhana itu.”
“Yaaa...” Almira mengangguk. “Dasar
lelaki sastra.” Almira tersenyum lagi.
Aku membalas senyumannya dengan senyum
kecil yang dipaksakan. Tak mampu mengeluarkan kata-kata lain lagi. Lagipula, aku rasa kami memang tidak
ditakdirkan untuk bersama lagi, dan Almira pun tau itu.
“Oh iya. Kamu dari mana? Baru datang?”
tanyaku untuk mengubah topik pembicaraan yang menegangkan itu.
Almira menggeleng. “Enggak, udah dari tadi
aku datang. Ini barusan dari parkiran. Ada yang ketinggalan di mobil.”
“Apa yang ketinggalan?” tanyaku. Sebenarnya
tidak ingin tau, hanya sedikit basa-basi saja.
“Nih..” ia menunjuk sebuah kantong yang
cukup besar. Almira kemudian membuka kantong itu dan mengambil sesuatu, lalu
memberikan benda itu kepadaku. Sebuah undangan.
“Undangan? Siapa?”
“Kamu kan bisa baca.”
Sorot pandanganku menghunus ke arah dua
nama yang tertera di halaman depan. Kubaca pelan-pelan. Sangat jelas.
Begitu jelas tertulis:
“Almira & Arief”
* * *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar