About Me

Foto saya
Hanya orang biasa yang menyempatkan untuk berkarya.

Jumlah yang sudah singgah

Senin, 10 Agustus 2015

Pigura Usang

Sudah hampir setengah jam Alby hanya duduk di atas tempat tidurnya tanpa bersuara. Ia sejak tadi memegangi sebuah foto yang dilapisi bingkai berwarna coklat tua. Sesekali ia menatap foto itu dengan pandangan seperti langit mendung; gelap dan dingin. 

Di foto itu terdapat sosoknya berfoto dengan seorang perempuan memakai seragam wisuda. Wajah Alby di foto itu sangat berbanding terbalik dengan raut wajahnya saat ini. Di foto itu ia tampak menyunggingkan senyum lebar seperti anak kecil yang baru saja diberi setangkai lollipop. Perempuan di sebelahnya memancarkan raut yang tak jauh berbeda dengannya. Hanya saja mungkin senyum yang dipancarkan perempuan itu jauh lebih indah darinya. Konon, senyum yang bahkan lebih indah dari pelangi itu adalah hal pertama yang membuat Alby jatuh cinta padanya.

Perempuan itu adalah teman terdekat yang dipunyai Alby saat di bangku kuliah. Ya mungkin Alby menganggap perempuan itu sendiri sudah lebih dari sekedar teman. Hanya saja ada beberapa hal yang membuat mereka berdua tidak bisa untuk bersama.

Perempuan itu bernama Riani. Persis seperti nama yang tertera di halaman depan kertas undangan pernikahan yang tergeletak di atas meja kerja milik Alby. Hanya saja nama pasangan Riani di undangan itu bukanlah nama Alby. Melainkan nama seorang lelaki lain yang tidak Alby kenal.

Undangan itu adalah salah satu alasan mengapa Alby termenung sambil sesekali menatap dalam-dalam foto wisudanya bersama Riani dua tahun lalu. Ia seharusnya sanggup menerima kenyataan jauh sebelum ini. Namun, kenyamanan yang pernah diberikan Riani selama empat tahun mereka di perguruan tinggi tidak bisa tergantikan oleh perempuan manapun. Hal inilah yang membuat Alby memilih untuk diam di satu titik, menatap ke satu arah saja, yaitu Riani.

“Pak, mobilnya sudah siap.” Terdengar suara laki-laki dari luar kamar Alby.

“Oh oke.” Jawab Alby singkat. Ia kemudian meletakkan foto yang tadi dipeganginya di atas meja kerja miliknya. Tapi foto itu tidak dibuatnya berdiri walaupun bingkai foto itu punya penyanggah. Foto itu dibiarkannya telungkup, mungkin agar ia tak terus-terusan melihat kenangan manis masa lalu miliknya.

Alby segera masuk ke dalam mobil, diiringi lelaki yang tadi memanggilnya dari luar kamar. Mobil sedan berwarna putih itu melesat menuju acara resepsi pernikahan yang tak pernah dibayangkan Alby seumur hidupnya: pernikahan perempuan yang amat dicintainya.

Sebelumnya Alby sempat terpikir untuk tidak datang saja dan mencari alasan yang logis agar Riani tidak marah padanya. Namun, jauh di lubuk hatinya, Alby lebih ingin melihat senyum indah milik Riani sekali lagi. Senyum kebahagiaan di hari paling bersejarah sepanjang hidup Riani.

* * *
Tak satupun hidangan makanan yang ada di pesta tersebut menarik perhatian Alby. Pikirannya lebih tertuju pada sosok mempelai yang tengah duduk di singgasananya. Lebih tepatnya, Alby hanya ingin memperhatikan Riani yang tampak anggun dengan balutan busana adat Jawa. Di sebelah Riani tampak seorang pria dengan raut muka yang cerah melebihi cahaya musim panas. Wajar saja ia tampak sebahagia itu. Sebab ia telah mendapatkan seorang bidadari yang akan mendampinginya seumur hidup. Posisi yang sangat diinginkan oleh Alby sejak lama. Sebuah mimpi yang kandas.

Setelah sekian lama duduk dengan hanya memperhatikan sang mempelai dari jauh, Alby memberanikan diri untuk bersalaman dengan kedua mempelai. Langkahnya terasa berat, namun mau tidak mau ia harus melakukannya.

“Selamat ya.” Ujar Alby saat bersalaman dengan mempelai pria. “Selamat ya.” Kalimat yang sama terulang lagi saat ia bersalaman dengan Riani. Ia tak mampu berkata apa-apa lagi. Walau sebetulnya ada berjuta kata yang harus ia katakan dengan jujur, tapi hal itu tak mungkin dilakukannya. Semua sudah terlambat.

“Gitu aja?” tanggap Riani. “Kamu kayak orang asing deh.”

“Hehe..” Alby tertawa kecil. Tertawa yang dipaksakan. “Nanti kalau lama-lama kasian yang di belakang ngantri pengen salaman juga kan.”

Riani tersenyum mendengar jawaban Alby. Senyum itu lagi. Tiba-tiba saja Alby merasa ada pelangi di depan matanya. Hampir saja dia lupa diri bahwa pelangi itu bukan miliknya lagi. Keindahan yang sudah kepunyaan orang lain.

“Oh jangan lupa nonton film baruku, tayang dua bulan lagi.” Lanjut Alby.

“Waaah.. kamu ngeluarin film lagi ya. Oke, oke pasti aku tonton kok.”

“Okee. Jangan lupa ya. Judul filmnya  Pigura Usang.”

Riani mengangguk. Sekali lagi ia memancarkan senyum penuh warna itu  sesaat sebelum Alby melangkah menjauh.

“Itu Alby Permana yang sutradara itu kan?” Tanya pria yang baru saja sah menjadi suami Riani.

“Yap. Dia… bisa dibilang sahabatku waktu kuliah.”

“Wah, kamu rupanya punya kenalan orang seperti itu juga ya sayang.”
Riani hanya diam. Matanya memandang jauh Alby yang semakin lama semakin luput dari pandangan.

* * *
“Kemana tujuan berikutnya, Pak?” Tanya Supir pribadi Alby.

“Cari rumah makan padang paling enak di sini. Saya lapar.”

“Tadi gak makan ya Pak?”

“Iya saya buru-buru..”

“Ooh oke.” Jawab sang supir sambil memacu mobil dengan cepat.

Di dalam mobil, pikiran Alby melayang tak menentu. Khayalannya semakin memperburuk keadaan. Dia membayangkan Riani yang akan memiliki keluarga sementara dia akan hidup sebatang kara saja. Dengan rambut yang sudah mulai memutih dan fisik yang mulai melemah, Alby mulai sakit-sakitan tanpa ada siapapun yang akan mengurusnya. Pada akhirnya ia hanya sendirian hingga ajal datang menjemput.

Alby mengerang membayangkan semuanya. Ia takut sekali hidup dalam kesendirian yang menyengsarakan. Saat itulah dia mulai berpikir untuk menemukan sosok pengganti Riani. Walau sesekali pikiran dan hatinya beradu pendapat. Tentang apakah masih ada yang lebih baik dari Riani? Bukankah Riani adalah yang terbaik dari segalanya?

Mobil sudah berhenti tepat di sebuah Restoran Padang. Alby melangkah keluar dengan pikiran yang berkecamuk.

“Bapak mau ikut makan?” Tanya Alby menawarkan pada supirnya.

“Waduh saya masih kenyang Pak.”

“Kalau mau, pesan bungkus aja. Nanti kalau udah lapar lagi Bapak tinggal makan aja.”

“Baiklah kalau begitu, Pak.”

* * *
Alby mengambil meja yang paling sudut. Sengaja dilakukannya agar ia tak menjadi pusat perhatian. Baru ketika ia hendak mengambil suapan pertama nasi yang diidam-idamkannya, tiba-tiba seorang perempuan datang menyapanya.

“Sendirian aja, mas Alby?” Tanya perempuan yang memakai baju kaos oblong sederhana berwarna putih yang dipadukan dengan jins biru. Gaya berpakaian yang kasual ini mengingatkannya pada sosok Riani yang selalu santai dan friendly.

“Riani..?”

Perempuan itu mengernyitkan dahinya lalalu berkata, “Riani? Bukan.. kamu lupa sama aku mas?”

“Ah. Maaf aku pikir.. Anu.. kamu mirip dengan seseorang. Maksudku..” Alby tergagap. Perempuan itu hanya tersenyum dan menduduki kursi di hadapan Alby. “Gak mungkinlah aku lupa kamu, Vania..” lanjut Alby lagi.

“Haha.. siapa memangnya Riani itu mas?” Tanya perempuan yang kita tau bernama Vania itu.

“Ah.. ceritanya panjang.”

Vania kemudian memandangi pakaian yang dikenakan Alby.

“Kamu kok pakai batik, mas? Abis dari..”

“Iyap..” potong Alby. “Kamu gak makan? Yuk bareng.”

“Iya udah pesen kok.”

Tak berapa lama kemudian, makanan yang dipesan Vania datang, dan mereka menunda perbincangan sebentar untuk melanjutkan makan siang. Alby makan dengan sangat lahap sambil sesekali tersenyum sendiri mengingat refleks-nya tadi saat menyangka Vania sebagai Riani.

Vania sendiri adalah pemeran utama pada film terbaru Alby. Wajar saja bila Alby terkejut saat Vania datang tiba-tiba. Yang dia tau Vania versi lokasi shooting adalah Vania yang modis dan selalu menggunakan make-up. Sehingga ia sulit mengenali Vania yang tampil sederhana seperti saat ini.

“Gimana kalau kita berfoto dulu. Apa istilah sekarang itu? Selfie?” ajak Vania.

“Bukannya kita udah sering foto bareng Van.” Sanggah Alby.

“Beda. Itu di lokasi shooting.” Jawab Vania sambil mengeluarkan handphone miliknya. “Ini kita bertemu di luar. It’s like we are dating, right?” Vania tertawa.

“Hei Van. Jangan ah. Nanti kalau digosipin?” Tanya Alby. Vania hanya tersenyum dan mulai menyalakan kamera depan.

“Senyum dong.” Kata Vania.

Alby mengikuti maunya. Seperti yang sudah ia duga, Vania mengupload foto itu dan menandai Alby di instagram. Biar sajalah, pikir Alby.

“Jadi.. siapa Riani itu, mas?” ketika mereka sudah selesai ‘ibadah’ foto tersebut.

“Hahaha..” Alby tertawa menanggapinya.  “Kamu ngapain di sini?”

“Aku lapar, biasanya memang makan di sini. Ah jangan mengalihkan cerita dong..” ujar Vania sambil memasang wajah kesal.

Alby tergelak. “Hmm… ceritanya panjang Van. Aku gak yakin kalo kamu mau..”

“Gapapa.” Vania memotong. “Aku bakal jadi pendengar yang baik kok.” Vania tersenyum.

Di dalam hati Alby berbisik, “Kamu.. kenapa menjadi sangat mirip dengannya?”

* * *
Hiruk pikuk kampus masih seperti biasanya. Tingkah masa bodoh semua orang yang ada di sini, senioritas yang tak ada habisnya, kepanikan Mahasiswa semester tua yang mengejar-ngejar dosen pembimbing, dan kisah kasih Mahasiswa baru masih menghiasi layar perkuliahan yang membuatku bosan.

Langkahku semakin berat semakin hari. Jujur, aku ingin segera lulus dan bekerja saja. Aku ingin segera mempunyai uang dan membeli semua mimpi-mimpiku. Mungkin kalau aku beruntung, dalam usia muda aku sudah bisa membeli Bugatti Veyron. Haha.

Satu-satunya alasan yang membuatku bertahan di bangku perkuliahan ini adalah perempuan bernama Riani. Perempuan dengan segudang cerita dan perhatian yang tak pernah habis. Dia adalah pendengar dan pencerita yang baik dalam satu paket. Perempuan yang selalu membuatku merasakan waktu berjalan lebih cepat dari biasanya hanya dengan bertukar cerita bersamanya.

Sudah tiga setengah tahun kami saling menemani tanpa adanya label yang mengikat hubungan kami. Entahlah, setiap aku ingin mengungkapkan isi hati ini, rasanya aku takut ia akan hilang dari hidupku karena bisa saja dia tidak mempunyai perasaan yang sama denganku. Kalian sendiri pasti sadar apabila ada seseorang yang suka dengan kita, tapi kita tidak suka kepadanya, seringkali kita menjauhinya bukan? Aku takut Riani seperti itu.  Bagiku, lebih baik tidak memiliki dia seutuhnya daripada harus kehilangan dia selamanya.

Tapi, tahun ini adalah tahun terakhir kami bersama. Mudah-mudahan sebentar lagi kami akan menjadi sarjana. Tenang saja, aku akan mengungkapkan segalanya sebentar lagi. Toh cepat atau lambat aku akan kehilangan dia juga kan? Aku sudah menyusun rencana untuk melakukan ‘eksekusi’ ini. Untuk itulah sekarang aku memacu cepat mobilku menuju kost-annya untuk menjemputnya.

Aku sengaja tidak memberitahunya dulu bahwa aku sudah di depan kost-nya. Aku ingin mengejutkannya saat dia membuka pintu kamar. Satu buket bunga yang sudah kupersiapkan akan menjadi hal pertama yang diterimanya sebentar lagi.

Aku berdiri di depan pintu kamar kost-annya. Siap-siap untuk mengetuk pintu. Tapi sayangnya aku merasa ada suara orang lain di dalam sana. Suara seorang perempuan yang kukenal. Oh ya.. mungkin dia Diva, sahabat Riani. Aku yakin betul dengan suaranya.

“Kamu mau kemana sih Ri?” terdengar suara yang kuyakin suara Diva. Aku bisa mendengar percakapan mereka dengan jelas.

“Mau jalan aja sama Alby. Kenapa emang?” sahut suara Riani tentunya, aku hafal betul.

“Ciee dikit-dikit Alby. Dikit-dikit Alby.”

“Apaan sih.”

“Kenapa gak jadian aja kamu sama dia? Kamu suka kan sama dia? Ciee…”

“Apaan sih Div. Canda muluu..”

“Yaelah aku serius Ri. Gimana kamu suka gak sama dia?”

“Ng..” Riani terdiam sejenak. Aku yang mendengar dari luar justru makin deg-degan.

Riani melanjutkan, “Aku… nyaman sih sama dia. Tapi…”

“Kayaknya suka sebagai sekedar teman baik deh.”

Kepalaku berdenyut seketika. Saat mendengar percakapan itu aku terasa menghilang di antara kabut asap. Ditelan bumi hingga menembus lapisan terbawah. Aku langsung menjauh, mencari tempat sampah terdekat dan membuang buket bunga ini. Sungguh tergesa-gesa memang, tapi wajar saja, hatiku sudah roboh. Aku masuk ke mobil dan terdiam.

Tak lama setelah aku puas membentur-benturkan kepalaku di stir mobil, handphone ku berbunyi. Dari Riani tentu saja. Aku mengangkat panggilan itu dan menyesuaikan seolah tidak terjadi apa-apa.

“Kamu dimana?” Tanya Riani di seberang telepon.

“Oh ini.. aku udah di depan.”

“Oke. Aku juga sudah siap. Sebentar lagi aku keluar.”

Setelah itu semuanya berjalan seperti biasa. Aku menghabiskan waktu berdua saja dengannya.  Bertukar cerita, bercanda, makan malam bersama, hingga kami lelah dan pulang. Seperti biasa.

Di  rumah, aku hanya terbaring lesu. Mulai realistis dan fokus pada skripsi ku. Kupikir semakin cepat aku lulus, semakin cepat kami berpisah. Semakin cepat kami berpisah, semakin cepat aku melupakannya. Riani, tetap menjadi sahabat terbaik yang pernah aku kenal.

* * *
Beberapa bulan setelah wisuda, aku menghabiskan waktu di kamar saja. Aku menulis dan mencurahkan semuanya dalam karya-karyaku. Puisi, cerita pendek, lagu sederhana, film pendek, dan media yang bisa kupergunakan. Pigura yang berisi foto kami berdua saat wisuda adalah teman baikku di kamar. Kadang, tiap aku patah semangat, senyuman bak pelangi di sore hari dalam foto itu mampu memberikanku secercah harapan.

Jujur saja, setelah kejadian menyedihkan itu aku mengurangi intensitas komunikasiku dengan Riani. Kami tidak telponan hingga larut malam lagi, tidak jalan-jalan bersama lagi, tidak saling memberi kabar, dan tidak sering bertemu lagi. Momen wisuda adalah kala terakhir aku menghabiskan waktu bersamanya.
Entah ada angin apa, karya yang pernah kutulis dan kukirim ke penerbit, salah satunya diterima. Mungkin Tuhan tau bahwa aku butuh kebahagiaan baru. Waktu mendengar kabar novel pertamaku akan terbit, aku tak henti-hentinya tersenyum bahkan tertawa karena kegirangan. Sebulan lamanya aku mempersiapkan novel itu terbit. Mulai dari editing, cover, dan masuk tahap cetak.

Hidupku seperti cerita di film-film setelah itu. Karyaku pertama itu laku keras di masyarakat dan ada produser yang tertarik untuk menjadikannya film. Karena aku tidak ingin karyaku akan kehilangan ‘rasa’ saat dimediasikan ke film, maka aku menawarkan diri untuk menulis sendiri skenarionya.

Sekali lagi, seperti di film-film, aku sukses besar. Skenarioku mengagumkan, dan membuat sang sutradara tidak kerepotan lagi. Sejak itulah karirku di dunia perfilman melesat. Aku mulai bekerja menulis skenario di dua atau tiga film. Secara tidak langsung aku ikut belajar bagaimana menyutradarai secara otodidak. Aku mulai mencoba membuat film karyaku sendiri. Lagi-lagi, hidupku seperti film. Karyaku lagi-lagi meledak di pasaran.

Hidupku mulai berubah. Aku tidak lagi mengingat Riani karena sudah mendapat kesibukan yang baru. Dalam kurun waktu dua tahun, aku mulai dikenal sebagai sutradara, bukan penulis lagi. Tepat pada saat karya filmku ke-tiga berjudul Pigura Usang selesai proses penyuntingan, ada kabar lagi dari Riani. Yap. Kabar yang disertai dengan undangan pernikahan.

* * *

Dua bulan berlalu, film Pigura Usang sudah dirilis.

Pagi itu aku benar-benar merasa malas untuk keluar kamar. Meski matahari sudah mulai naik, aku tetap belum melakukan apapun selain berbaring. Tempat tidur ini seperti mengikat badanku dengan daya tarik empuknya. Aah.. aku benar-benar malas.

Aku merasakan ada getaran di atas tempat tidurku. Ah pasti hapeku. Aku sering meletakkannya di sebelah bantal. Biasanya sangat berguna kalau aku menyalakan alarm. Handphone ini akan menyala senyaring-nyaringnya sehingga membangunkanku yang tengah terlelap. Tapi kurasa aku tidak menyetel alarm untuk hari ini. Oh.. siapa yang meneleponku pagi-pagi ini. Hari ini aku betul-betul tidak ingin kemana-mana.

“Halo?” ucapku saat mengangkat panggilan itu.

“Alby.. aku udah nonton film baru kamu.”

“Oh ya?” tanggapku dengan nada lemah dan setengah sadar. “Makasih kalau gitu, Ri.”

“Tapi.. aku merasa kenal dengan jalan ceritanya.” Riani diam sejenak.  “Ceritanya kayak kita.”

“Maksud kamu apa Ri?” jawabku santai, dan tetap masih setengah sadar.

“Siang ini kita ketemuan ya. Tempatnya akan aku beritahu nanti lewat sms. Aku tau kamu baru bangun, kamu juga belum sadar betul. Kalaupun aku beritahu sekarang kamu pasti gak bakalan ingat. Oke?” Riani menutup telepon.

Huft. Aku menghela nafas.

Aku masih malas kemana-mana. Tapi ini Riani. Ya, Riani. Ah, mau bagaimana lagi.

* * *
Dia memintaku bertemu di sebuah tempat karaoke milik suaminya. Katanya sekarang dia yang mengurus usaha suaminya yang ini. Ya sudahlah aku ikuti saja. Kadang menyadari bahwa dia sudah menjadi istri orang membuatku lemas.

Aku pun masuk ke tempat karaoke itu setelah mungkin ngaret sekitar lima belas menit dari jadwal yang dia tentukan. Aku langsung disambut oleh karyawannya di pintu depan.

“Ada yang bisa saya bantu, Pak?” Tanya karyawan yang membantuku membuka pintu.

“Oh saya mau bertemu ibu Riani. Bisa?”

“Ah iya. Bapak Alby kan?” aku mengangguk. “Mari saya antar anda ke ruangan bu Riani.” Lanjutnya lagi sambil menunjukkan aku jalannya.

Aku mengikutinya sambil melihat ke sekitar. Tempatnya tak dibiarkan ada debu sedikitpun. Karpet yang dibentang sepanjang koridor sangat tebal. Dinding-dindingnya dilapisi peredam dengan sempurna. Hampir tak terdengar suara yang keluar. Padahal aku sempat mengintip salah satu ruangan dengan speaker yang cukup besar. Sangat mewah. Suaminya jelas orang yang sangat kaya-raya.

Karyawannya menunjukkan sebuah ruangan, membantuku mengetuk pintu, dan terdengar sahutan, “Iya silahkan masuk..”

Aku pun berterima kasih pada karyawan yang sangat ramah itu seraya membuka pintu.

“Hai Alby..” sambutnya dengan senyum itu lagi.

“Ya.. ada apa memangnya Ri?” aku mencoba mengabaikan senyum membunuh itu.

“Aku sudah nonton filmmu.”

“Lalu?”

“It’s just like both of us.”

“Perasaanmu saja. Justru aku..”

“Tidak.” Potongnya. “Itu seperti kita. Tentang teman kuliah? Hey... Jokes yang ada disana itu persis kita. Itu milik kita.”

“Maaf.” Tanggapku singkat.

Riani menatap mataku dalam-dalam. “Ceritamu salah. Ceritamu salah."

Aku terbelalak.  

"Peran utama wanita yang sangat mirip denganku itu tidak se-antagonis itu.” ujar Riani lagi.

"Maksudmu?” tanyaku yang kebingungan.

“Aku.. maksudku. Aku dalam film itu, tidak seperti itu ceritanya, By.” Riani tidak bisa berkata-kata.

“Bisa kamu jelaskan lebih baik lagi?”

“Hm. Di adegan pemeran utama laki-laki mendengar percakapan dari luar kamar itu. Pada kenyataannya aku tidak seperti itu. Aku hanya mengelak dari pertanyaan Diva. Aku malu untuk menceritakan kisah kita padanya. Padahal..” Riani menghentikan ceritanya.

“Ya?”

“Jauh di lubuk hati paling dalam aku sangat ingin bersamamu.”
Hatiku berdesir mendengar semuanya. Cerita Riani setelah itu membuatku menyesal setengah mati.

* * *
Siang itu aku tengah berdandan. Ada Diva di kamar kost-an ku. Dia tadi datang untuk meminjam charger, tapi malah tidak pulang-pulang sampai sekarang.

“Kamu mau kemana sih, Ri?” tanyanya padaku sambil memainkan handphone yang masih menyambung dengan colokan.

“Mau jalan aja sama Alby. Kenapa emang?” tanyaku lagi.

“Ciee dikit-dikit Alby. Dikit-dikit Alby.”

“Apaan sih.” Aku tersipu malu.

“Kenapa gak jadian aja kamu sama dia? Kamu suka kan sama dia? Ciee…”

“Apaan sih Div. Canda muluu..” aku melemparkan bantal ke arah Diva.

“Yaelah aku serius Ri. Gimana, kamu suka gak sama dia?”

“Ng..” aku tergugup sambil menahan senyum karena malu. Aku bingung hendak menjawab apa. Diva memang sahabatku tapi, entahlah kalau bercerita soal hati ke Diva aku merasa kurang nyaman. Apa aku berbohong saja?

“Aku… nyaman sih sama dia. Tapi…” Aku menyusun kata-kata. Diva meletakkan Handphone yang sejak tadi dipegangnya. Pertanda dia benar-benar serius dengan percakapan ini.

“Kayaknya suka sebagai sekedar teman baik deh.” Lanjutku lagi.
Diva diam. Aku juga diam. Entah kenapa wajah Diva yang kulihat adalah wajah paling kecewa selama aku bersahabat dengannya.

“Kenapa Div?”

“Beneran? Cowok baik-baik kayak dia?” Tanya Diva.

Aku mulai tidak nyaman. Terasa seperti aku benar-benar jahat. Apa aku ceritakan semuanya saja?

“Eh.. bercanda kok Div.” aku tertawa terbahak-bahak. Sengaja kulakukan agar dia percaya lagi dengan ceritaku.

“Hah?” Diva keheranan.

“Jujur. Aku sangat sayang sama Alby, Div. Jujur, aku pengen kami sama-sama terus. Untuk itulah selama hampir 4 tahun kami mengenal aku selalu mencoba menjadi seorang yang selalu ada untuknya, tapi..” kataku lagi. “Dia gak nembak-nembak aku juga.”

“Kamu udah kodein belum?”

“Belum sih. Aku juga gak ngerti kode itu yang gimana.”

Diva menghela nafas panjang. Mungkin dia kecewa denganku. Ya wajar saja. Aku tau dia hanya ingin aku terlihat bahagia. Ya mau bagaimana lagi.

Aku melihat jam dinding. Gawat, sudah saatnya aku menelepon Alby agar dia lebih lekas. Alby selalu ngaret kalau tidak kudesak.

“Kamu dimana?” tanyaku tanpa basa-basi saat teleponku diangkat.

“Oh ini.. aku udah di depan.”

“Oke. Aku juga sudah siap. Sebentar lagi aku keluar.”

Selanjutnya kami melakukan hal-hal seperti biasa. Bercerita, bercanda, dan makan malam bersama. Tapi yang berbeda adalah kejadian setelahnya.

Tak pernah kusangka itu adalah hangout kami terakhir sampai detik ini. Alby terasa berbeda. Dia tidak menghubungiku lagi, tidak banyak berbicara denganku lagi, dan hingga kami lulus dia menjadi sangat dingin. Beruntunglah pada hari perpisahan kami, yaitu di hari wisuda, dia terlihat ceria lagi. Pigura berisi foto kami terakhir kali menghabiskan waktu bersama adalah kenangan terindah yang takkan kubiarkan berdebu sedikitpun.

Hari demi hari tanpa dirinya membuatku kehilangan arah. Aku sering menghabiskan waktu ke tempat-tempat yang kata orang menyenangkan itu. Tapi, semakin lama justru tempat yang penuh dengan bau alkohol dan musik-musik elektronik itu membawakan ku sedikit ketenangan. Seiring berjalannya waktu aku terbiasa dengan alkohol bodoh itu. Dia menawarkan aku sesuatu hal yang kucari selama ini: melupakan kesedihan.

Di sinilah semua bermula. Aku bertemu dengan seorang lelaki yang ramahnya mendekati sosok Alby. Dia adalah pencerita yang baik sekaligus pendengar yang baik. Terlebih lagi dia kaya. Usahanya ada dimana-mana dan jelas sekali menjanjikan aku masa depan yang diimpi-impikan perempuan manapun. Hingga akhirnya aku terlena oleh rayuan mautnya. Di malam yang entah ke berapa sejak kami pertama bertemu, aku menyerahkan ragaku untuknya. Kesalahan terbesar sekaligus terindah yang pernah aku jalani.

Hubungan kami terus berlanjut. Tidak hanya sentuhan fisik, dia menyajikanku sentuhan indah yang sampai hingga ke hatiku. Di kala kami yang dimabuk asmara ini berbahagia setiap hari, petaka itu datang juga. Aku… dinyatakan hamil.

Kabar ini kuberikan secepat mungkin padanya. Untunglah dia memang mencintaiku dan berjanji menikahiku sesegera mungkin sebelum perut ini semakin membesar. Tentunya agar kami tidak dicurigai manapun dan tetap akan terjaga kesucian hubungan ini.

Sebulan kami mempersiapkan segalanya, hingga sampailah pada tahap terakhir yang paling kutakutkan: menyebar undangan. Aku takut bertemu Alby. Benar-benar takut. Tanpa kabar selama kurun dua tahun, tiba-tiba saja aku memberinya undangan pernikahan. Sahabat terbaik yang pernah kupunya, seperti tidak ada artinya lagi. Aku tidak menceritakannya sedikitpun tentang siapa yang aku dekati, dan tentu saja dia akan shock karena secara tiba-tiba aku menikah.

Tapi tingkahku beralasan. Kudengar Alby telah sibuk dengan dunia barunya. Ia sangat dekat dengan impiannya. Menjadi penulis ataupun sutradara adalah kisah yang selalu dia ceritakan di bangku kuliah. Sekarang semuanya telah terwujud. Maaf, jika aku hanya mendukungmu lewat doa.

* * *
Di dalam ruangan kerja milik Riani, mereka berdua kembali seperti dua sosok seperti dua tahun lalu di bangku kuliah. Menjadi dua orang yang saling berbagi cerita tanpa takut privasinya akan bocor kemanapun. Dua orang yang hadir untuk saling mengisi namun tidak ditakdirkan untuk bersama.

“Jadi..” Alby mulai menanggapi cerita Riani. “Seperti itukah?” Alby tertawa kecil. Ada sedikit air mata di sudut matanya.

Riani yang sudah menyelesaikan cerita panjangnya hanya diam. Tertunduk tanpa sekalipun memberanikan diri untuk menatap mata Alby. Mereka berdua benar-benar melakukan kesalahan fatal.

“Ya.. semua ini sudah terjadi. Mau bagaimana lagi?” Alby mencoba santai. Tapi jauh di lubuk hatinya berat menjalani ini semua.

“Aku sayang kamu By!!!” Riani memberanikan diri untuk mengatakan hal yang harusnya dia ungkapkan lebih lama.

Alby tersenyum pahit. “Seharusnya aku menyatakan itu dari dulu, Ri.”
Riani menangis sejadi-jadinya. Alby hanya diam. Wanita di depannya sudah kepunyaan orang lain. Di dalam rahimnya ada darah dagingnya sendiri yang harus lebih diprioritaskan masa depannya. Sudah jelas Alby tidak boleh egois.

“Maaf Ri. Kita harus sadar dan realistis. Kita tidak berada di jalan takdir yang sama. Ingatlah si kecil ini.” Ujar Alby sambil mengelus perut Riani. Lalu dia berjalan menuju pintu dengan langkah yang kaku.

“Apa karena ini, By?” teriak Riani lagi tepat sebelum Alby membuka pintu. Alby membalikkan badan. Dia melihat Riani tengah mengangkat handphone miliknya. Riani menunjukkan foto yang ada di layar handphone-nya. Foto Alby dan Vania yang sudah tersebar di dunia maya. Foto mereka berdua saat di rumah makan beberapa waktu lalu.

Alby tak menanggapi. Alby membuka pintu dan berjalan keluar, kali ini dengan langkah yang yakin.

Sambil melangkah Alby menyalakan handphone-nya. Ia membuka kontak dan memilih satu nama untuk ditelepon. Vania.

Tidak terlalu lama, nada tunggu berganti menjadi suara perempuan,

“Halo?”

“Vania?”

“Ada apa mas?”

“Hari Sabtu kamu kosong gak?”

“Kosong kok. Kenapa?”

“Bisa temanin aku…” belum selesai Alby menjelaskan Vania memotong kalimatnya.

“Bisa. Tentu saja bisa.”

Alby tersenyum. “Aku kan belum selesai ngejelasinnya..”

“Bisa kok. Kemanapun aku mau.”


Senyum Alby semakin melebar. Senyum selebar ini dulu hanya mampu diciptakan Riani. Sekarang, ia yakin telah menemukan pengganti. Kisah selanjutnya, tidak akan ia berakhir sama. Sebisa mungkin dan sesegera mungkin. Hal yang ditunda hanya mengakibatkan cerita yang buruk. Alby tidak ingin terjadi lagi. Akhir pekan ini, ia akan melakukan apa yang seharusnya ia lakukan dulu kepada Riani. Ia sangat yakin. Sangat yakin.

-The End-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar