Sudah hampir setengah jam Alby
hanya duduk di atas tempat tidurnya tanpa bersuara. Ia sejak tadi memegangi
sebuah foto yang dilapisi bingkai berwarna coklat tua. Sesekali ia menatap foto itu dengan pandangan seperti langit mendung; gelap dan dingin.
Di foto itu terdapat sosoknya berfoto
dengan seorang perempuan memakai seragam wisuda. Wajah Alby di foto itu sangat
berbanding terbalik dengan raut wajahnya saat ini. Di foto itu ia tampak
menyunggingkan senyum lebar seperti anak kecil yang baru saja diberi setangkai
lollipop. Perempuan di sebelahnya memancarkan raut yang tak jauh berbeda
dengannya. Hanya saja mungkin senyum yang dipancarkan perempuan itu jauh lebih
indah darinya. Konon, senyum yang bahkan lebih indah dari pelangi itu adalah
hal pertama yang membuat Alby jatuh cinta padanya.
Perempuan itu adalah teman
terdekat yang dipunyai Alby saat di bangku kuliah. Ya mungkin Alby menganggap perempuan
itu sendiri sudah lebih dari sekedar teman. Hanya saja ada beberapa hal yang
membuat mereka berdua tidak bisa untuk bersama.
Perempuan itu bernama Riani.
Persis seperti nama yang tertera di halaman depan kertas undangan pernikahan
yang tergeletak di atas meja kerja milik Alby. Hanya saja nama pasangan Riani
di undangan itu bukanlah nama Alby. Melainkan nama seorang lelaki lain yang
tidak Alby kenal.
Undangan itu adalah salah satu
alasan mengapa Alby termenung sambil sesekali menatap dalam-dalam foto
wisudanya bersama Riani dua tahun lalu. Ia seharusnya sanggup menerima
kenyataan jauh sebelum ini. Namun, kenyamanan yang pernah diberikan Riani
selama empat tahun mereka di perguruan tinggi tidak bisa tergantikan oleh perempuan
manapun. Hal inilah yang membuat Alby memilih untuk diam di satu titik, menatap
ke satu arah saja, yaitu Riani.
“Pak, mobilnya sudah siap.”
Terdengar suara laki-laki dari luar kamar Alby.
“Oh oke.” Jawab Alby singkat. Ia
kemudian meletakkan foto yang tadi dipeganginya di atas meja kerja miliknya.
Tapi foto itu tidak dibuatnya berdiri walaupun bingkai foto itu punya
penyanggah. Foto itu dibiarkannya telungkup, mungkin agar ia tak terus-terusan
melihat kenangan manis masa lalu miliknya.
Alby segera masuk ke dalam mobil,
diiringi lelaki yang tadi memanggilnya dari luar kamar. Mobil sedan berwarna
putih itu melesat menuju acara resepsi pernikahan yang tak pernah dibayangkan
Alby seumur hidupnya: pernikahan perempuan yang amat dicintainya.
Sebelumnya Alby sempat terpikir
untuk tidak datang saja dan mencari alasan yang logis agar Riani tidak marah
padanya. Namun, jauh di lubuk hatinya, Alby lebih ingin melihat senyum indah
milik Riani sekali lagi. Senyum kebahagiaan di hari paling bersejarah sepanjang
hidup Riani.
* * *
Tak satupun hidangan makanan yang
ada di pesta tersebut menarik perhatian Alby. Pikirannya lebih tertuju pada
sosok mempelai yang tengah duduk di singgasananya. Lebih tepatnya, Alby hanya ingin
memperhatikan Riani yang tampak anggun dengan balutan busana adat Jawa. Di
sebelah Riani tampak seorang pria dengan raut muka yang cerah melebihi cahaya
musim panas. Wajar saja ia tampak sebahagia itu. Sebab ia telah mendapatkan
seorang bidadari yang akan mendampinginya seumur hidup. Posisi yang sangat
diinginkan oleh Alby sejak lama. Sebuah mimpi yang kandas.
Setelah sekian lama duduk dengan
hanya memperhatikan sang mempelai dari jauh, Alby memberanikan diri untuk
bersalaman dengan kedua mempelai. Langkahnya terasa berat, namun mau tidak mau
ia harus melakukannya.
“Selamat ya.” Ujar Alby saat
bersalaman dengan mempelai pria. “Selamat ya.” Kalimat yang sama terulang lagi
saat ia bersalaman dengan Riani. Ia tak mampu berkata apa-apa lagi. Walau
sebetulnya ada berjuta kata yang harus ia katakan dengan jujur, tapi hal itu
tak mungkin dilakukannya. Semua sudah terlambat.
“Gitu aja?” tanggap Riani. “Kamu
kayak orang asing deh.”
“Hehe..” Alby tertawa kecil.
Tertawa yang dipaksakan. “Nanti kalau lama-lama kasian yang di belakang ngantri
pengen salaman juga kan.”
Riani tersenyum mendengar jawaban
Alby. Senyum itu lagi. Tiba-tiba saja Alby merasa ada pelangi di depan matanya.
Hampir saja dia lupa diri bahwa pelangi itu bukan miliknya lagi. Keindahan yang
sudah kepunyaan orang lain.
“Oh jangan lupa nonton film baruku,
tayang dua bulan lagi.” Lanjut Alby.
“Waaah.. kamu ngeluarin film lagi
ya. Oke, oke pasti aku tonton kok.”
“Okee. Jangan lupa ya. Judul
filmnya Pigura Usang.”
Riani mengangguk. Sekali lagi ia
memancarkan senyum penuh warna itu sesaat
sebelum Alby melangkah menjauh.
“Itu Alby Permana yang sutradara
itu kan?” Tanya pria yang baru saja sah menjadi suami Riani.
“Yap. Dia… bisa dibilang
sahabatku waktu kuliah.”
“Wah, kamu rupanya punya kenalan
orang seperti itu juga ya sayang.”
Riani hanya diam. Matanya
memandang jauh Alby yang semakin lama semakin luput dari pandangan.
* * *
“Kemana tujuan berikutnya, Pak?”
Tanya Supir pribadi Alby.
“Cari rumah makan padang paling
enak di sini. Saya lapar.”
“Tadi gak makan ya Pak?”
“Iya saya buru-buru..”
“Ooh oke.” Jawab sang supir
sambil memacu mobil dengan cepat.
Di dalam mobil, pikiran Alby
melayang tak menentu. Khayalannya semakin memperburuk keadaan. Dia membayangkan
Riani yang akan memiliki keluarga sementara dia akan hidup sebatang kara saja.
Dengan rambut yang sudah mulai memutih dan fisik yang mulai melemah, Alby mulai
sakit-sakitan tanpa ada siapapun yang akan mengurusnya. Pada akhirnya ia hanya
sendirian hingga ajal datang menjemput.
Alby mengerang membayangkan
semuanya. Ia takut sekali hidup dalam kesendirian yang menyengsarakan. Saat
itulah dia mulai berpikir untuk menemukan sosok pengganti Riani. Walau sesekali
pikiran dan hatinya beradu pendapat. Tentang apakah masih ada yang lebih baik
dari Riani? Bukankah Riani adalah yang terbaik dari segalanya?
Mobil sudah berhenti tepat di
sebuah Restoran Padang. Alby melangkah keluar dengan pikiran yang berkecamuk.
“Bapak mau ikut makan?” Tanya
Alby menawarkan pada supirnya.
“Waduh saya masih kenyang Pak.”
“Kalau mau, pesan bungkus aja.
Nanti kalau udah lapar lagi Bapak tinggal makan aja.”
“Baiklah kalau begitu, Pak.”
* * *
Alby mengambil meja yang paling sudut. Sengaja dilakukannya
agar ia tak menjadi pusat perhatian. Baru ketika ia hendak mengambil suapan
pertama nasi yang diidam-idamkannya, tiba-tiba seorang perempuan datang
menyapanya.
“Sendirian aja, mas Alby?” Tanya perempuan yang memakai
baju kaos oblong sederhana berwarna putih yang dipadukan dengan jins biru. Gaya
berpakaian yang kasual ini mengingatkannya pada sosok Riani yang selalu santai
dan friendly.
“Riani..?”
Perempuan itu mengernyitkan dahinya lalalu berkata, “Riani? Bukan..
kamu lupa sama aku mas?”
“Ah. Maaf aku pikir.. Anu.. kamu
mirip dengan seseorang. Maksudku..” Alby tergagap. Perempuan itu hanya
tersenyum dan menduduki kursi di hadapan Alby. “Gak mungkinlah aku lupa kamu,
Vania..” lanjut Alby lagi.
“Haha.. siapa memangnya Riani itu
mas?” Tanya perempuan yang kita tau bernama Vania itu.
“Ah.. ceritanya panjang.”
Vania kemudian memandangi pakaian
yang dikenakan Alby.
“Kamu kok pakai batik, mas? Abis
dari..”
“Iyap..” potong Alby. “Kamu gak
makan? Yuk bareng.”
“Iya udah pesen kok.”
Tak berapa lama kemudian, makanan
yang dipesan Vania datang, dan mereka menunda perbincangan sebentar untuk
melanjutkan makan siang. Alby makan dengan sangat lahap sambil sesekali
tersenyum sendiri mengingat refleks-nya tadi saat menyangka Vania sebagai
Riani.
Vania sendiri adalah pemeran
utama pada film terbaru Alby. Wajar saja bila Alby terkejut saat Vania datang
tiba-tiba. Yang dia tau Vania versi lokasi shooting adalah Vania yang modis dan
selalu menggunakan make-up. Sehingga ia sulit mengenali Vania yang tampil
sederhana seperti saat ini.
“Gimana kalau kita berfoto dulu.
Apa istilah sekarang itu? Selfie?” ajak Vania.
“Bukannya kita udah sering foto
bareng Van.” Sanggah Alby.
“Beda. Itu di lokasi shooting.”
Jawab Vania sambil mengeluarkan handphone miliknya. “Ini kita bertemu di luar.
It’s like we are dating, right?” Vania tertawa.
“Hei Van. Jangan ah. Nanti kalau
digosipin?” Tanya Alby. Vania hanya tersenyum dan mulai menyalakan kamera
depan.
“Senyum dong.” Kata Vania.
Alby mengikuti maunya. Seperti
yang sudah ia duga, Vania mengupload foto itu dan menandai Alby di instagram. Biar
sajalah, pikir Alby.
“Jadi.. siapa Riani itu, mas?”
ketika mereka sudah selesai ‘ibadah’ foto tersebut.
“Hahaha..” Alby tertawa
menanggapinya. “Kamu ngapain di sini?”
“Aku lapar, biasanya memang makan
di sini. Ah jangan mengalihkan cerita dong..” ujar Vania sambil memasang wajah
kesal.
Alby tergelak. “Hmm… ceritanya panjang Van. Aku
gak yakin kalo kamu mau..”
“Gapapa.” Vania memotong. “Aku
bakal jadi pendengar yang baik kok.” Vania tersenyum.
Di dalam hati Alby berbisik, “Kamu.. kenapa menjadi sangat mirip
dengannya?”
* * *
Hiruk pikuk kampus masih seperti
biasanya. Tingkah masa bodoh semua orang yang ada di sini, senioritas yang tak
ada habisnya, kepanikan Mahasiswa semester tua yang mengejar-ngejar dosen
pembimbing, dan kisah kasih Mahasiswa baru masih menghiasi layar perkuliahan
yang membuatku bosan.
Langkahku semakin berat semakin
hari. Jujur, aku ingin segera lulus dan bekerja saja. Aku ingin segera
mempunyai uang dan membeli semua mimpi-mimpiku. Mungkin kalau aku beruntung,
dalam usia muda aku sudah bisa membeli Bugatti Veyron. Haha.
Satu-satunya alasan yang
membuatku bertahan di bangku perkuliahan ini adalah perempuan bernama Riani.
Perempuan dengan segudang cerita dan perhatian yang tak pernah habis. Dia
adalah pendengar dan pencerita yang baik dalam satu paket. Perempuan yang
selalu membuatku merasakan waktu berjalan lebih cepat dari biasanya hanya
dengan bertukar cerita bersamanya.
Sudah tiga setengah tahun kami
saling menemani tanpa adanya label yang mengikat hubungan kami. Entahlah,
setiap aku ingin mengungkapkan isi hati ini, rasanya aku takut ia akan hilang
dari hidupku karena bisa saja dia tidak mempunyai perasaan yang sama denganku.
Kalian sendiri pasti sadar apabila ada seseorang yang suka dengan kita, tapi
kita tidak suka kepadanya, seringkali kita menjauhinya bukan? Aku takut Riani
seperti itu. Bagiku, lebih baik tidak
memiliki dia seutuhnya daripada harus kehilangan dia selamanya.
Tapi, tahun ini adalah tahun
terakhir kami bersama. Mudah-mudahan sebentar lagi kami akan menjadi sarjana.
Tenang saja, aku akan mengungkapkan segalanya sebentar lagi. Toh cepat atau
lambat aku akan kehilangan dia juga kan? Aku sudah menyusun rencana untuk
melakukan ‘eksekusi’ ini. Untuk itulah sekarang aku memacu cepat mobilku menuju
kost-annya untuk menjemputnya.
Aku sengaja tidak memberitahunya dulu bahwa aku sudah di depan kost-nya. Aku ingin mengejutkannya saat dia membuka pintu kamar. Satu buket bunga yang sudah kupersiapkan akan menjadi hal pertama yang diterimanya sebentar lagi.
Aku berdiri di depan pintu kamar
kost-annya. Siap-siap untuk mengetuk pintu. Tapi sayangnya aku merasa ada suara
orang lain di dalam sana. Suara seorang perempuan yang kukenal. Oh ya.. mungkin
dia Diva, sahabat Riani. Aku yakin betul dengan suaranya.
“Kamu mau kemana sih Ri?”
terdengar suara yang kuyakin suara Diva. Aku bisa mendengar percakapan mereka
dengan jelas.
“Mau jalan aja sama Alby. Kenapa
emang?” sahut suara Riani tentunya, aku hafal betul.
“Ciee dikit-dikit Alby.
Dikit-dikit Alby.”
“Apaan sih.”
“Kenapa gak jadian aja kamu sama
dia? Kamu suka kan sama dia? Ciee…”
“Apaan sih Div. Canda muluu..”
“Yaelah aku serius Ri. Gimana
kamu suka gak sama dia?”
“Ng..” Riani terdiam sejenak. Aku
yang mendengar dari luar justru makin deg-degan.
Riani melanjutkan, “Aku… nyaman
sih sama dia. Tapi…”
“Kayaknya suka sebagai sekedar
teman baik deh.”
Kepalaku berdenyut seketika. Saat
mendengar percakapan itu aku terasa menghilang di antara kabut asap. Ditelan
bumi hingga menembus lapisan terbawah. Aku langsung menjauh, mencari tempat
sampah terdekat dan membuang buket bunga ini. Sungguh tergesa-gesa memang, tapi
wajar saja, hatiku sudah roboh. Aku masuk ke mobil dan terdiam.
Tak lama setelah aku puas membentur-benturkan
kepalaku di stir mobil, handphone ku berbunyi. Dari Riani tentu saja. Aku
mengangkat panggilan itu dan menyesuaikan seolah tidak terjadi apa-apa.
“Kamu dimana?” Tanya Riani di
seberang telepon.
“Oh ini.. aku udah di depan.”
“Oke. Aku juga sudah siap.
Sebentar lagi aku keluar.”
Setelah itu semuanya berjalan
seperti biasa. Aku menghabiskan waktu berdua saja dengannya. Bertukar cerita, bercanda, makan malam
bersama, hingga kami lelah dan pulang. Seperti biasa.
Di rumah, aku hanya terbaring lesu. Mulai
realistis dan fokus pada skripsi ku. Kupikir semakin cepat aku lulus, semakin
cepat kami berpisah. Semakin cepat kami berpisah, semakin cepat aku
melupakannya. Riani, tetap menjadi sahabat terbaik yang pernah aku kenal.
* * *
Beberapa bulan setelah wisuda,
aku menghabiskan waktu di kamar saja. Aku menulis dan mencurahkan semuanya
dalam karya-karyaku. Puisi, cerita pendek, lagu sederhana, film pendek, dan
media yang bisa kupergunakan. Pigura yang berisi foto kami berdua saat wisuda
adalah teman baikku di kamar. Kadang, tiap aku patah semangat, senyuman bak
pelangi di sore hari dalam foto itu mampu memberikanku secercah harapan.
Jujur saja, setelah kejadian
menyedihkan itu aku mengurangi intensitas komunikasiku dengan Riani. Kami tidak
telponan hingga larut malam lagi, tidak jalan-jalan bersama lagi, tidak saling
memberi kabar, dan tidak sering bertemu lagi. Momen wisuda adalah kala terakhir
aku menghabiskan waktu bersamanya.
Entah ada angin apa, karya yang
pernah kutulis dan kukirim ke penerbit, salah satunya diterima. Mungkin Tuhan
tau bahwa aku butuh kebahagiaan baru. Waktu mendengar kabar novel pertamaku
akan terbit, aku tak henti-hentinya tersenyum bahkan tertawa karena kegirangan.
Sebulan lamanya aku mempersiapkan novel itu terbit. Mulai dari editing, cover,
dan masuk tahap cetak.
Hidupku seperti cerita di film-film setelah
itu. Karyaku pertama itu laku keras di masyarakat dan ada produser yang
tertarik untuk menjadikannya film. Karena aku tidak ingin karyaku akan
kehilangan ‘rasa’ saat dimediasikan ke film, maka aku menawarkan diri untuk
menulis sendiri skenarionya.
Sekali lagi, seperti di film-film, aku
sukses besar. Skenarioku mengagumkan, dan membuat sang sutradara tidak
kerepotan lagi. Sejak itulah karirku di dunia perfilman melesat. Aku mulai
bekerja menulis skenario di dua atau tiga film. Secara tidak langsung aku ikut
belajar bagaimana menyutradarai secara otodidak. Aku mulai mencoba membuat film
karyaku sendiri. Lagi-lagi, hidupku seperti film. Karyaku lagi-lagi meledak di
pasaran.
Hidupku mulai berubah. Aku tidak
lagi mengingat Riani karena sudah mendapat kesibukan yang baru. Dalam kurun
waktu dua tahun, aku mulai dikenal sebagai sutradara, bukan penulis lagi. Tepat
pada saat karya filmku ke-tiga berjudul Pigura Usang selesai proses
penyuntingan, ada kabar lagi dari Riani. Yap. Kabar yang disertai dengan
undangan pernikahan.
* * *
Dua bulan berlalu, film Pigura Usang sudah dirilis.
Pagi itu aku benar-benar merasa
malas untuk keluar kamar. Meski matahari sudah mulai naik, aku tetap belum
melakukan apapun selain berbaring. Tempat tidur ini seperti mengikat badanku
dengan daya tarik empuknya. Aah.. aku benar-benar malas.
Aku merasakan ada getaran di atas
tempat tidurku. Ah pasti hapeku. Aku sering meletakkannya di sebelah bantal.
Biasanya sangat berguna kalau aku menyalakan alarm. Handphone ini akan menyala
senyaring-nyaringnya sehingga membangunkanku yang tengah terlelap. Tapi kurasa
aku tidak menyetel alarm untuk hari ini. Oh.. siapa yang meneleponku pagi-pagi
ini. Hari ini aku betul-betul tidak ingin kemana-mana.
“Halo?” ucapku saat mengangkat
panggilan itu.
“Alby.. aku udah nonton film baru
kamu.”
“Oh ya?” tanggapku dengan nada
lemah dan setengah sadar. “Makasih kalau gitu, Ri.”
“Tapi.. aku merasa kenal dengan
jalan ceritanya.” Riani diam sejenak. “Ceritanya kayak kita.”
“Maksud kamu apa Ri?” jawabku
santai, dan tetap masih setengah sadar.
“Siang ini kita ketemuan ya.
Tempatnya akan aku beritahu nanti lewat sms. Aku tau kamu baru bangun, kamu
juga belum sadar betul. Kalaupun aku beritahu sekarang kamu pasti gak bakalan
ingat. Oke?” Riani menutup telepon.
Huft. Aku menghela nafas.
Aku masih malas kemana-mana. Tapi
ini Riani. Ya, Riani. Ah, mau bagaimana lagi.
* * *
Dia memintaku bertemu di sebuah
tempat karaoke milik suaminya. Katanya sekarang dia yang mengurus usaha
suaminya yang ini. Ya sudahlah aku ikuti saja. Kadang menyadari bahwa dia sudah
menjadi istri orang membuatku lemas.
Aku pun masuk ke tempat karaoke
itu setelah mungkin ngaret sekitar lima belas menit dari jadwal yang dia
tentukan. Aku langsung disambut oleh karyawannya di pintu depan.
“Ada yang bisa saya bantu, Pak?”
Tanya karyawan yang membantuku membuka pintu.
“Oh saya mau bertemu ibu Riani.
Bisa?”
“Ah iya. Bapak Alby kan?” aku
mengangguk. “Mari saya antar anda ke ruangan bu Riani.” Lanjutnya lagi sambil
menunjukkan aku jalannya.
Aku mengikutinya sambil melihat
ke sekitar. Tempatnya tak dibiarkan ada debu sedikitpun. Karpet yang dibentang
sepanjang koridor sangat tebal. Dinding-dindingnya dilapisi peredam dengan
sempurna. Hampir tak terdengar suara yang keluar. Padahal aku sempat mengintip
salah satu ruangan dengan speaker yang cukup besar. Sangat mewah. Suaminya
jelas orang yang sangat kaya-raya.
Karyawannya menunjukkan sebuah
ruangan, membantuku mengetuk pintu, dan terdengar sahutan, “Iya silahkan
masuk..”
Aku pun berterima kasih pada
karyawan yang sangat ramah itu seraya membuka pintu.
“Hai Alby..” sambutnya dengan
senyum itu lagi.
“Ya.. ada apa memangnya Ri?” aku
mencoba mengabaikan senyum membunuh itu.
“Aku sudah nonton filmmu.”
“Lalu?”
“It’s just like both of us.”
“Perasaanmu saja. Justru aku..”
“Tidak.” Potongnya. “Itu seperti
kita. Tentang teman kuliah? Hey... Jokes yang ada disana itu persis kita. Itu
milik kita.”
“Maaf.” Tanggapku singkat.
Riani menatap mataku dalam-dalam.
“Ceritamu salah. Ceritamu salah."
Aku terbelalak.
"Peran utama wanita yang sangat mirip denganku
itu tidak se-antagonis itu.” ujar Riani lagi.
"Maksudmu?” tanyaku yang
kebingungan.
“Aku.. maksudku. Aku dalam film
itu, tidak seperti itu ceritanya, By.” Riani tidak bisa berkata-kata.
“Bisa kamu jelaskan lebih baik
lagi?”
“Hm. Di adegan pemeran utama
laki-laki mendengar percakapan dari luar kamar itu. Pada kenyataannya aku tidak
seperti itu. Aku hanya mengelak dari pertanyaan Diva. Aku malu untuk
menceritakan kisah kita padanya. Padahal..” Riani menghentikan ceritanya.
“Ya?”
“Jauh di lubuk hati paling dalam
aku sangat ingin bersamamu.”
Hatiku berdesir mendengar
semuanya. Cerita Riani setelah itu membuatku menyesal setengah mati.
* * *
Siang itu aku tengah berdandan.
Ada Diva di kamar kost-an ku. Dia tadi datang untuk meminjam charger, tapi
malah tidak pulang-pulang sampai sekarang.
“Kamu mau kemana sih, Ri?”
tanyanya padaku sambil memainkan handphone yang masih menyambung dengan
colokan.
“Mau jalan aja sama Alby. Kenapa
emang?” tanyaku lagi.
“Ciee dikit-dikit Alby.
Dikit-dikit Alby.”
“Apaan sih.” Aku tersipu malu.
“Kenapa gak jadian aja kamu sama
dia? Kamu suka kan sama dia? Ciee…”
“Apaan sih Div. Canda muluu..”
aku melemparkan bantal ke arah Diva.
“Yaelah aku serius Ri. Gimana,
kamu suka gak sama dia?”
“Ng..” aku tergugup sambil
menahan senyum karena malu. Aku bingung hendak menjawab apa. Diva memang
sahabatku tapi, entahlah kalau bercerita soal hati ke Diva aku merasa kurang
nyaman. Apa aku berbohong saja?
“Aku… nyaman sih sama dia. Tapi…”
Aku menyusun kata-kata. Diva meletakkan Handphone yang sejak tadi dipegangnya. Pertanda
dia benar-benar serius dengan percakapan ini.
“Kayaknya suka sebagai sekedar
teman baik deh.” Lanjutku lagi.
Diva diam. Aku juga diam. Entah kenapa
wajah Diva yang kulihat adalah wajah paling kecewa selama aku bersahabat
dengannya.
“Kenapa Div?”
“Beneran? Cowok baik-baik kayak
dia?” Tanya Diva.
Aku mulai tidak nyaman. Terasa seperti
aku benar-benar jahat. Apa aku ceritakan semuanya saja?
“Eh.. bercanda kok Div.” aku
tertawa terbahak-bahak. Sengaja kulakukan agar dia percaya lagi dengan
ceritaku.
“Hah?” Diva keheranan.
“Jujur. Aku sangat sayang sama
Alby, Div. Jujur, aku pengen kami sama-sama terus. Untuk itulah selama hampir 4
tahun kami mengenal aku selalu mencoba menjadi seorang yang selalu ada
untuknya, tapi..” kataku lagi. “Dia gak nembak-nembak aku juga.”
“Kamu udah kodein belum?”
“Belum sih. Aku juga gak ngerti
kode itu yang gimana.”
Diva menghela nafas panjang. Mungkin
dia kecewa denganku. Ya wajar saja. Aku tau dia hanya ingin aku terlihat
bahagia. Ya mau bagaimana lagi.
Aku melihat jam dinding. Gawat, sudah saatnya aku menelepon Alby agar
dia lebih lekas. Alby selalu ngaret kalau tidak kudesak.
“Kamu dimana?” tanyaku tanpa
basa-basi saat teleponku diangkat.
“Oh ini.. aku udah di depan.”
“Oke. Aku juga sudah siap.
Sebentar lagi aku keluar.”
Selanjutnya kami melakukan
hal-hal seperti biasa. Bercerita, bercanda, dan makan malam bersama. Tapi yang
berbeda adalah kejadian setelahnya.
Tak pernah kusangka itu adalah hangout kami terakhir sampai detik ini. Alby
terasa berbeda. Dia tidak menghubungiku lagi, tidak banyak berbicara denganku
lagi, dan hingga kami lulus dia menjadi sangat dingin. Beruntunglah pada hari
perpisahan kami, yaitu di hari wisuda, dia terlihat ceria lagi. Pigura berisi
foto kami terakhir kali menghabiskan waktu bersama adalah kenangan terindah
yang takkan kubiarkan berdebu sedikitpun.
Hari demi hari tanpa dirinya
membuatku kehilangan arah. Aku sering menghabiskan waktu ke tempat-tempat yang
kata orang menyenangkan itu. Tapi, semakin lama justru tempat yang penuh dengan
bau alkohol dan musik-musik elektronik itu membawakan ku sedikit ketenangan. Seiring
berjalannya waktu aku terbiasa dengan alkohol bodoh itu. Dia menawarkan aku
sesuatu hal yang kucari selama ini: melupakan kesedihan.
Di sinilah semua bermula. Aku bertemu
dengan seorang lelaki yang ramahnya mendekati sosok Alby. Dia adalah pencerita
yang baik sekaligus pendengar yang baik. Terlebih lagi dia kaya. Usahanya ada
dimana-mana dan jelas sekali menjanjikan aku masa depan yang diimpi-impikan
perempuan manapun. Hingga akhirnya aku terlena oleh rayuan mautnya. Di malam
yang entah ke berapa sejak kami pertama bertemu, aku menyerahkan ragaku
untuknya. Kesalahan terbesar sekaligus terindah yang pernah aku jalani.
Hubungan kami terus berlanjut. Tidak
hanya sentuhan fisik, dia menyajikanku sentuhan indah yang sampai hingga ke
hatiku. Di kala kami yang dimabuk asmara ini berbahagia setiap hari, petaka itu
datang juga. Aku… dinyatakan hamil.
Kabar ini kuberikan secepat
mungkin padanya. Untunglah dia memang mencintaiku dan berjanji menikahiku
sesegera mungkin sebelum perut ini semakin membesar. Tentunya agar kami tidak
dicurigai manapun dan tetap akan terjaga kesucian hubungan ini.
Sebulan kami mempersiapkan
segalanya, hingga sampailah pada tahap terakhir yang paling kutakutkan:
menyebar undangan. Aku takut bertemu Alby. Benar-benar takut. Tanpa kabar
selama kurun dua tahun, tiba-tiba saja aku memberinya undangan pernikahan.
Sahabat terbaik yang pernah kupunya, seperti tidak ada artinya lagi. Aku tidak
menceritakannya sedikitpun tentang siapa yang aku dekati, dan tentu saja dia
akan shock karena secara tiba-tiba
aku menikah.
Tapi tingkahku beralasan. Kudengar
Alby telah sibuk dengan dunia barunya. Ia sangat dekat dengan impiannya. Menjadi
penulis ataupun sutradara adalah kisah yang selalu dia ceritakan di bangku
kuliah. Sekarang semuanya telah terwujud. Maaf, jika aku hanya mendukungmu lewat
doa.
* * *
Di dalam ruangan kerja milik
Riani, mereka berdua kembali seperti dua sosok seperti dua tahun lalu di bangku
kuliah. Menjadi dua orang yang saling berbagi cerita tanpa takut privasinya
akan bocor kemanapun. Dua orang yang hadir untuk saling mengisi namun tidak
ditakdirkan untuk bersama.
“Jadi..” Alby mulai menanggapi
cerita Riani. “Seperti itukah?” Alby tertawa kecil. Ada sedikit air mata di
sudut matanya.
Riani yang sudah menyelesaikan
cerita panjangnya hanya diam. Tertunduk tanpa sekalipun memberanikan diri untuk
menatap mata Alby. Mereka berdua benar-benar melakukan kesalahan fatal.
“Ya.. semua ini sudah terjadi. Mau
bagaimana lagi?” Alby mencoba santai. Tapi jauh di lubuk hatinya berat
menjalani ini semua.
“Aku sayang kamu By!!!” Riani
memberanikan diri untuk mengatakan hal yang harusnya dia ungkapkan lebih lama.
Alby tersenyum pahit. “Seharusnya
aku menyatakan itu dari dulu, Ri.”
Riani menangis sejadi-jadinya.
Alby hanya diam. Wanita di depannya sudah kepunyaan orang lain. Di dalam
rahimnya ada darah dagingnya sendiri yang harus lebih diprioritaskan masa
depannya. Sudah jelas Alby tidak boleh egois.
“Maaf Ri. Kita harus sadar dan
realistis. Kita tidak berada di jalan takdir yang sama. Ingatlah si kecil ini.”
Ujar Alby sambil mengelus perut Riani. Lalu dia berjalan menuju pintu dengan
langkah yang kaku.
“Apa karena ini, By?” teriak
Riani lagi tepat sebelum Alby membuka pintu. Alby membalikkan badan. Dia
melihat Riani tengah mengangkat handphone miliknya. Riani menunjukkan foto yang
ada di layar handphone-nya. Foto Alby dan Vania yang sudah tersebar di dunia
maya. Foto mereka berdua saat di rumah makan beberapa waktu lalu.
Alby tak menanggapi. Alby membuka
pintu dan berjalan keluar, kali ini dengan langkah yang yakin.
Sambil melangkah Alby menyalakan
handphone-nya. Ia membuka kontak dan memilih satu nama untuk ditelepon. Vania.
Tidak terlalu lama, nada tunggu
berganti menjadi suara perempuan,
“Halo?”
“Vania?”
“Ada apa mas?”
“Hari Sabtu kamu kosong gak?”
“Kosong kok. Kenapa?”
“Bisa temanin aku…” belum selesai
Alby menjelaskan Vania memotong kalimatnya.
“Bisa. Tentu saja bisa.”
Alby tersenyum. “Aku kan belum
selesai ngejelasinnya..”
“Bisa kok. Kemanapun aku mau.”
Senyum Alby semakin melebar. Senyum
selebar ini dulu hanya mampu diciptakan Riani. Sekarang, ia yakin telah
menemukan pengganti. Kisah selanjutnya, tidak akan ia berakhir sama. Sebisa mungkin
dan sesegera mungkin. Hal yang ditunda hanya mengakibatkan cerita yang buruk.
Alby tidak ingin terjadi lagi. Akhir pekan ini, ia akan melakukan apa yang
seharusnya ia lakukan dulu kepada Riani. Ia sangat yakin. Sangat yakin.
-The End-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar