About Me

Foto saya
Hanya orang biasa yang menyempatkan untuk berkarya.

Jumlah yang sudah singgah

Minggu, 13 September 2015

Wattpad Import #1

This story is taken from my wattpad story-'Love Lesson' part 3

Setelah resmi jadian dengan Arinda, aku menjadi lebih semangat untuk ke sekolah. Dari yang awalnya ke sekolah cuma sekedar datang numpang makan, boker, tidur, lalu godain cewek-cewek. Sekarang berubah jadi datang, belajar, istirahat, makan di kantin, ketemuan....

Seperti kisah percintaan pada umumnya, awal-awal kisah adalah kisah yang paling manis. Seperti halnya makan permen karet, awalnya manis, lama kelamaan mulai hambar, lalu bosan, dan kemudian dibuang.

Seperti itulah kisah cinta aku ke Arinda. Di minggu-minggu awal, dia benar-benar seorang bidadari, Tak berapa lama, dia perlahan menampakkan tanduknya, kemudian taringnya, dan hingga pada akhirnya ia mencapai wujud sebenarnya. Wujud setan.

Aku ingat, konflik pertama aku dengan Arinda adalah saat dia tau salah seorang temannya, sebut saja Mawar, mengungkapkan isi hatinya ke aku. Aku juga kaget, ternyata masih ada lagi orang yang khilaf selain Arinda. Padahal, aku udah bilang ke Mawar, kalau aku udah punya pacar, alias aku nolak. Si Mawar ini orangnya cantik, body-nya dahsyat, karena itulah mungkin Arinda merasa cemburu. Setelah kejadian itu, Arinda bukannya bangga sama aku yang udah sanggup setia, eh malah marah habis-habisan ke aku.

Satu harian dia gak ngasi kabar, sengaja matiin handphone. Memaksa aku untuk datang ke rumahnya untuk minta maaf secara langsung padahal aku gak  punya salah. Satu hal yang aku pelajari saat itu, tidak perlu mengetahui siapa yang salah dalam sebuah konflik pada suatu hubungan. Intinya, bila anda seorang lelaki, minta maaflah. Karena di mata cewek, cowok selalu salah.

Kemudian konflik selanjutnya adalah kasus sederhana yang dibesar-besarkan. Aku ingat, waktu itu aku dan Arinda sedang jalan keliling mall, dan aku gak ngegandeng tangannya Arinda. Sampai akhirnya pulang, dan aku anter dia sampai depan rumah, aku gak ada ngerasa bersalah, biasa aja gitu..

Dan aksinya pun di mulai. Dia gak ngasi kabar, matiin handphone lagi. Pada saat itu aku jengkel bukan main. Dalam hati aku mengumpat, "Kenap cuma handphone aja yang lo matiin? Kenapa gak nyawa lo sekalian aja yang lo matiin?"

Setelah sabar menanti, akhirnya dia balas sms aku. Dia bilang, "Kamu malu ya pacaran sama aku?"

Setelah aku tanya-tanya, akhirnya dia ngaku, kalau aku gak mau ngegandeng dia di depan orang ramai, itu artinya aku malu pacaran sama dia. Ya cukup masuk akal sih, akhirnya aku memakai jurus yang harusnya aku pakai sejak tadi: Minta maaf, karena cowok selalu salah.

Bukannya maafin, dia ternyata memperlebar masalah ini ke masalah lain, "Kamu masih nyimpan rasa sama kak Nina kan?" tanya dia lagi.
Aku terhenyak. Gimana caranya Arinda bisa tau kisah masa lalu aku dengan Nina? Saat itu aku percaya, agen rahasia FBI dan CIA tidak ada apa-apanya dibandingkan seorang cewek yang curiga terhadap pacarnya. Dengan informasi sesedikit apapun, dia bisa mengungkap semuanya.

"Aku sama Nina udah gak ada apa-apa lagi kok."
"Bohong!"
"Yang jelas aku sekarang sama kamu, berarti aku untuk kamu seutuhnya." jawab aku sok romantis.
"Oh gitu.."

Tak berapa lama kemudian, aku dan Arinda pun berdamai dan melakukan gencatan senjata. Saat itu aku yakin, apabila ada dua pasangan yang sedang berperang, seorang Hitler pun tak bisa melawan mereka.

Setelah beberapa lama tidak ada konflik lagi, aku tetap santai di menikmati hari-hari aku di SMA. Bentar lagi udah mau UN, dan aku sebisa mungkin membuat banyak kenangan. Salah satunya adalah berfoto dengan teman sekelas yang mayoritas adalah cewek. Isi kelas itu adalah 32 orang, terdiri dari 25 cewek dan 7 cowok. Bisa dibayangkan bagaimana kami bertujuh tertindas di dalam kelas kan?

Dan.. disinilah konflik dimulai.

Arinda mendapati foto aku dengan teman-teman cewek sekelas di handphone aku. Fotonya gak terlalu mesra juga, ya standar lah untuk sebatas teman. Tapi saat raut wajah Arinda berubah, aku langsung menggumam, "Oke, si kampret ini mulai lagi."

"Ini apa?" tanya Arinda, seperti yang aku kira, perang dimulai lagi.
"Foto." jawab aku singkat.
"Foto sama siapa?"
"Teman,"
"Teman ya?"
Aku mengangguk.
"Kamu itu gimana sih! Udah punya pacar tapi masih berani aja foto sama cewek lain. Kebiasaan."

Aku hening seketika. Aku rasa dia tidak mengerti rasanya menjadi anak kelas 3 SMA yang mau tamat, dan berkemungkinan besar tidak akan bertemu lagi dengan teman-teman sekelas setelah lulus nanti.

"Kan untuk kenang-kenangan, sayang."
"Oh kenang-kenangan sama cewek lain ya."
"Ya sama semuanya dong. Kan sama teman sekelas aja. Toh yang laki-laki juga kan."

Arinda diam. Aku merasa menang. Ternyata cowok gak selalu salah.
"Sekarang gini.." ujarnya sambil membetulkan posisi duduknya hingga kami berhadap-hadapan.
"Gimana rasanya kalau kamu ngeliat aku foto sama teman cowokku yang lain?" lanjutnya lagi.
Aku berpikir sejenak, lalu menjawab, "Ya biasa aja. Kan cuma teman."
"Tuh kan!" pekiknya.
"Udah aku duga kamu gak beneran sayang sama aku." lanjutnya lagi.

Aku hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala aku dan berharap ada petir yang menyambar tubuh Arinda sekarang.

Aku memilih untuk beranjak pergi, dan meninggalkan Arinda sendirian dengan celoteh tak masuk akalnya.Aku percaya sehebat apapun Karni Ilyas, bila dia berdebat dengan istrinya, pastilah dia kalah. Karena memang kodratnya, cowok selalu salah.

Setelah muak dengan segala konflik yang ada, aku membawa pengaruh buruk ini ke dalam kelas. Teman-teman aku yang peka, mulai ngerasain perbedaan dari aku. Khususnya teman curhat aku, Dini.

"Kamu kenapa sih? Beda banget sekarang?"
"Beda kenapa?" tanya aku yang sedang mencoba tidur di dalam kelas.
"Biasanya kamu selalu heboh dan ngelawak dalam kelas."
"Maksudnya?"
"Kamu itu berubah sekarang. Bukan Andi yang dulu."
"Entahlah, Din."
"Kalau pacaran cuma memperburuk keadaan, mending udahin aja deh."

Aku mengangkat kepala aku yang dari tadi tertunduk di atas meja. "Bener juga  Din.."
"Nah.."
"Tapi gimana caranya?" tanya aku lagi.
"Nyari masalah aja, sering ilang-ilangan. Dulu cowok aku gitu kok pas kami sebelum putus."
"Yaelah malah curhat."
 
Setelah mempertimbangkan saran Dini beberapa hari, aku udah bulat untuk memutuskan hubungan aku dengan Arinda yang terlalu bocah mempermasalahkan hal-hal kecil dan banyak dramanya. Aku pun mulai sering cari-cari masalah dengan godain cewek-cewek cantik yang lain, sengaja nyimpen foto cewek cantik yang lain, biar ketahuan dan marah. Ugh aku merasa bebas.

Beberapa kali aku sering dengan sengaja menyuruh Arinda memegang handphone aku dan berharap dia membaca chat aku dengan cewek lain, ataupun membuka galeri foto supaya dia tau aku berfoto mesra dengan cewek cantik, dan nyimpan foto cewek cantik lain lagi.

Rencana aku ternyata berhasil. Di suatu Senin sepulang sekolah, persis seperti aku menembak dia dulu, dia tersenyum pahit ke arah aku, menatap mata aku dalam-dalam, dan mengucapkan satu kalimat yang sampai detik ini aku tidak akan pernah lupakan, "Sekarang kamu bebas."

WOW !!! Aku senangnya bukan main, aku ucapin "Terima kasih" ke dia lagu melompat kegirangan menuju parkiran, dengan semangat yang baru aku tinggalkan perempuan penuh drama yang pandainya hanya menyalahkan orang saja, padahal dia sendiri punya kesalahan yang banyak yang gak pernah aku bahas karena takut nyakitin dia. Sekarang, aku terbebas dari bidadari berbulu setan kayak dia. HAHAHAHAHA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar