This story is taken from my wattpad story-'Love Lesson' part 3
Setelah resmi jadian dengan Arinda, aku menjadi lebih semangat untuk ke
sekolah. Dari yang awalnya ke sekolah cuma sekedar datang numpang makan, boker,
tidur, lalu godain cewek-cewek. Sekarang berubah jadi datang, belajar,
istirahat, makan di kantin, ketemuan....
Seperti kisah percintaan pada
umumnya, awal-awal kisah adalah kisah yang paling manis. Seperti halnya makan
permen karet, awalnya manis, lama kelamaan mulai hambar, lalu bosan, dan
kemudian dibuang.
Seperti itulah kisah cinta aku ke
Arinda. Di minggu-minggu awal, dia benar-benar seorang bidadari, Tak berapa
lama, dia perlahan menampakkan tanduknya, kemudian taringnya, dan hingga pada
akhirnya ia mencapai wujud sebenarnya. Wujud setan.
Aku ingat, konflik pertama aku
dengan Arinda adalah saat dia tau salah seorang temannya, sebut saja Mawar,
mengungkapkan isi hatinya ke aku. Aku juga kaget, ternyata masih ada lagi orang
yang khilaf selain Arinda. Padahal, aku udah bilang ke Mawar, kalau aku udah
punya pacar, alias aku nolak. Si Mawar ini orangnya cantik, body-nya dahsyat,
karena itulah mungkin Arinda merasa cemburu. Setelah kejadian itu, Arinda
bukannya bangga sama aku yang udah sanggup setia, eh malah marah habis-habisan
ke aku.
Satu harian dia gak ngasi kabar,
sengaja matiin handphone. Memaksa aku untuk datang ke rumahnya untuk minta maaf
secara langsung padahal aku gak punya salah. Satu hal yang aku pelajari
saat itu, tidak perlu mengetahui siapa yang salah dalam sebuah konflik pada
suatu hubungan. Intinya, bila anda seorang lelaki, minta maaflah. Karena di
mata cewek, cowok selalu salah.
Kemudian konflik selanjutnya
adalah kasus sederhana yang dibesar-besarkan. Aku ingat, waktu itu aku dan
Arinda sedang jalan keliling mall, dan aku gak ngegandeng tangannya Arinda.
Sampai akhirnya pulang, dan aku anter dia sampai depan rumah, aku gak ada
ngerasa bersalah, biasa aja gitu..
Dan aksinya pun di mulai. Dia gak
ngasi kabar, matiin handphone lagi. Pada saat itu aku jengkel bukan main. Dalam
hati aku mengumpat, "Kenap cuma handphone aja yang lo matiin? Kenapa gak
nyawa lo sekalian aja yang lo matiin?"
Setelah sabar menanti, akhirnya
dia balas sms aku. Dia bilang, "Kamu malu ya pacaran sama aku?"
Setelah aku tanya-tanya, akhirnya
dia ngaku, kalau aku gak mau ngegandeng dia di depan orang ramai, itu artinya aku
malu pacaran sama dia. Ya cukup masuk akal sih, akhirnya aku memakai jurus yang
harusnya aku pakai sejak tadi: Minta maaf, karena cowok selalu salah.
Bukannya maafin, dia ternyata
memperlebar masalah ini ke masalah lain, "Kamu masih nyimpan rasa sama kak
Nina kan?" tanya dia lagi.
Aku terhenyak. Gimana caranya
Arinda bisa tau kisah masa lalu aku dengan Nina? Saat itu aku percaya, agen
rahasia FBI dan CIA tidak ada apa-apanya dibandingkan seorang cewek yang curiga
terhadap pacarnya. Dengan informasi sesedikit apapun, dia bisa mengungkap
semuanya.
"Aku sama Nina udah gak ada
apa-apa lagi kok."
"Bohong!"
"Yang jelas aku sekarang
sama kamu, berarti aku untuk kamu seutuhnya." jawab aku sok romantis.
"Oh gitu.."
Tak berapa lama kemudian, aku dan
Arinda pun berdamai dan melakukan gencatan senjata. Saat itu aku yakin, apabila
ada dua pasangan yang sedang berperang, seorang Hitler pun tak bisa melawan
mereka.
Setelah beberapa lama tidak ada
konflik lagi, aku tetap santai di menikmati hari-hari aku di SMA. Bentar lagi
udah mau UN, dan aku sebisa mungkin membuat banyak kenangan. Salah satunya
adalah berfoto dengan teman sekelas yang mayoritas adalah cewek. Isi kelas itu
adalah 32 orang, terdiri dari 25 cewek dan 7 cowok. Bisa dibayangkan bagaimana
kami bertujuh tertindas di dalam kelas kan?
Dan.. disinilah konflik dimulai.
Arinda mendapati foto aku dengan
teman-teman cewek sekelas di handphone aku. Fotonya gak terlalu mesra juga, ya
standar lah untuk sebatas teman. Tapi saat raut wajah Arinda berubah, aku
langsung menggumam, "Oke, si kampret ini mulai lagi."
"Ini apa?" tanya
Arinda, seperti yang aku kira, perang dimulai lagi.
"Foto." jawab aku
singkat.
"Foto sama siapa?"
"Teman,"
"Teman ya?"
Aku mengangguk.
"Kamu itu gimana sih! Udah
punya pacar tapi masih berani aja foto sama cewek lain. Kebiasaan."
Aku hening seketika. Aku rasa dia
tidak mengerti rasanya menjadi anak kelas 3 SMA yang mau tamat, dan
berkemungkinan besar tidak akan bertemu lagi dengan teman-teman sekelas setelah
lulus nanti.
"Kan untuk kenang-kenangan,
sayang."
"Oh kenang-kenangan sama
cewek lain ya."
"Ya sama semuanya dong. Kan
sama teman sekelas aja. Toh yang laki-laki juga kan."
Arinda diam. Aku merasa menang.
Ternyata cowok gak selalu salah.
"Sekarang gini.."
ujarnya sambil membetulkan posisi duduknya hingga kami berhadap-hadapan.
"Gimana rasanya kalau kamu
ngeliat aku foto sama teman cowokku yang lain?" lanjutnya lagi.
Aku berpikir sejenak, lalu
menjawab, "Ya biasa aja. Kan cuma teman."
"Tuh kan!" pekiknya.
"Udah aku duga kamu gak
beneran sayang sama aku." lanjutnya lagi.
Aku hanya bisa
menggeleng-gelengkan kepala aku dan berharap ada petir yang menyambar tubuh
Arinda sekarang.
Aku memilih untuk beranjak pergi,
dan meninggalkan Arinda sendirian dengan celoteh tak masuk akalnya.Aku percaya
sehebat apapun Karni Ilyas, bila dia berdebat dengan istrinya, pastilah dia
kalah. Karena memang kodratnya, cowok selalu salah.
Setelah muak dengan segala
konflik yang ada, aku membawa pengaruh buruk ini ke dalam kelas. Teman-teman aku
yang peka, mulai ngerasain perbedaan dari aku. Khususnya teman curhat aku,
Dini.
"Kamu kenapa sih? Beda banget
sekarang?"
"Beda kenapa?" tanya aku
yang sedang mencoba tidur di dalam kelas.
"Biasanya kamu selalu heboh
dan ngelawak dalam kelas."
"Maksudnya?"
"Kamu itu berubah sekarang.
Bukan Andi yang dulu."
"Entahlah, Din."
"Kalau pacaran cuma
memperburuk keadaan, mending udahin aja deh."
Aku mengangkat kepala aku yang
dari tadi tertunduk di atas meja. "Bener juga Din.."
"Nah.."
"Tapi gimana caranya?"
tanya aku lagi.
"Nyari masalah aja, sering
ilang-ilangan. Dulu cowok aku gitu kok pas kami sebelum putus."
"Yaelah malah curhat."
Setelah mempertimbangkan saran
Dini beberapa hari, aku udah bulat untuk memutuskan hubungan aku dengan Arinda
yang terlalu bocah mempermasalahkan hal-hal kecil dan banyak dramanya. Aku pun
mulai sering cari-cari masalah dengan godain cewek-cewek cantik yang lain,
sengaja nyimpen foto cewek cantik yang lain, biar ketahuan dan marah. Ugh aku
merasa bebas.
Beberapa kali aku sering dengan
sengaja menyuruh Arinda memegang handphone aku dan berharap dia membaca chat aku
dengan cewek lain, ataupun membuka galeri foto supaya dia tau aku berfoto mesra
dengan cewek cantik, dan nyimpan foto cewek cantik lain lagi.
Rencana aku ternyata berhasil. Di
suatu Senin sepulang sekolah, persis seperti aku menembak dia dulu, dia
tersenyum pahit ke arah aku, menatap mata aku dalam-dalam, dan mengucapkan satu
kalimat yang sampai detik ini aku tidak akan pernah lupakan, "Sekarang
kamu bebas."
WOW !!! Aku senangnya bukan main,
aku ucapin "Terima kasih" ke dia lagu melompat kegirangan menuju
parkiran, dengan semangat yang baru aku tinggalkan perempuan penuh drama yang
pandainya hanya menyalahkan orang saja, padahal dia sendiri punya kesalahan
yang banyak yang gak pernah aku bahas karena takut nyakitin dia. Sekarang, aku
terbebas dari bidadari berbulu setan kayak dia. HAHAHAHAHA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar