Aku hampir dibunuh rindu.
Detik dan menit berlalu dengan kejam. Tanpa kehadiranmu, waktu adalah algojo nomor satu yang siap menebas kapan saja. Rasanya tak sanggup aku meneruskan petualangan jika di sampingku tidak ada kamu. Lebih baik aku berhenti.
Aku tak ingin kemana-mana.
Kamu selalu percaya bahwa aku pasti bisa menemui yang lebih darimu di depan sana. Pergilah, katamu. Tiba-tiba saja kakiku lumpuh. Tapi kamu sudah tidak peduli. Biar aku saja yang pergi, katamu.
Aku sudah bukanlah aku.
Sejak kamu luput dari pandangan, aku adalah orang asing. Bahkan bayanganku saja tidak mengenal diriku lagi. Aku berharap aku masih orang yang sama. Ternyata tidak, aku sudah berbeda. Hanya hatiku saja yang masih sama.
Aku perlahan rusak.
Satu usaha melupakanmu adalah satu kerusakan buatku. Aku mulai menyesap nikotin yang mengepulkan paru-paru. Kadang kala tegukan minuman-neraka- kata-mereka ikut memenuhi lambungku. Kuteriakkan lirik-lirik lagu menghujat yang terselip namamu dalam separuh sadar. Kerusakanku kesalahanmu.
Aku ini mengapa?
Membenci, menghujat, menyumpah-serapah. Ditujukan untukmu. Mencintai, merindukan, mendoakan. Juga ditujukan untukmu. Persis apa yang dikatakan oleh lagu satu dekade lalu; aku benci mencintaimu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar