Hellz allz.
Aku selalu kagum sama karya-karya sastra yang berupa syair atau puisi dari
dulu. Padahal sebagai seorang yang menghabiskan masa remaja di era modern,
rasanya hampir mustahil untuk menikmati keindahan sastra. Bahkan juga gak
sedikit teman aku yang ngatain selera aku ini kuno dan aneh. Apalagi tiap
kemana gitu harus singgah dulu ke toko buku dan ngincer buku kumpulan-kumpulan
puisi karya Sapardi, Jokpin, Pramoedya, atau siapalah.. mereka pasti pada
ngomong, "Aku gak ngerti sama selera baca kau, Ndi."
Padahal justru menurut aku buku ini jauh lebih menarik dibandingkan bacaan
kesukaan remaja sekarang macam novel teenlit yang mengagungkan percintaan
khayalan ala ala pangeran berkuda era modern.
Awal suka sama puisi dan syair memang udah dari SMP. Masa puber aku
dihabisin sama larik-larik puisi. Sangat berbeda dengan masa puber
teman-temanku saat itu tentunya yang cenderung menghabiskan masa puber mereka
dengan cinta monyet yang katanya menyenangkan itu. Karena perbedaan selera itu
tadi mungkin beberapa orang ngecap aku sebagai freak, nerd, atau
apalah lagi itu sebutannya. Benar aja, aku gak pernah dekat sama seorang cewek
pun di masa itu. Err. Sekarang juga sama aja sih.
Lanjut ke masa SMA, masa dimana aku benar-benar menikmati syair dan puisi
itu sendiri. Yang paling aku ingat adalah pernah ada satu soal essai di Ujian
Semester bahasa Indonesia yang menanyakan tentang siapakah penyair Riau yang
terkenal. Hampir satu ruangan ujian berisik mencari jawabannya. Sedangkan aku,
langsung tanpa ba bi bu, ngisi Sutardji Caldzoum Bachri. Nama itu sangat
terdengar asing bagi teman-teman aku. Karena memang pengetahuan itu gak pernah
diajarin sama guru mata pelajaran kami.
Di kelas 3 SMA, I'm still the same freak. Tapi kali ini semakin
menarik. Wali kelas aku sendiri salah satu budayawan yang cukup terkenal di
Riau. Dia seorang dosen yang mengajar sastra ke berbagai daerah. Spesialisnya?
Tentu aja Puisi. Sejak itu, kekaguman aku makin menjadi-jadi pada puisi. Wali
kelasku yang juga seorang pengelola pustaka sekolah, otomatis membuat isi
pustaka didominasi kumpulan buku puisi dari berbagai penyair terkenal Indonesia
sampai Luar. Ugh. It was like a heaven at that time.
Sebagai bentuk perpisahan kami, beliau sempat menulis sebuah puisi yang
judulnya "Pelita" untuk anak sekelas, dan aku yang sebagai seorang
ketua kelas menerimanya, dan sampai sekarang masih menyimpan tulisan itu di
dompet.
Nah terus apa sih yang membuat puisi sebegitu menariknya hingga aku sampai
lebih jatuh cinta pada kata-kata ketimbang wanita?
Aku juga gak ngerti kenapa. Yang jelas aku lebih sibuk menghabiskan waktu
dengan membaca kumpulan puisi daripada pedekate yang berujung pada masa sekolah
yang gak pernah punya pacar. Lol.
Eh ada deng satu, itupun di akhir masa sekolah. Tapi cuma sebentar banget,
ga nyampe dua bulan. Dia aja mungkin gak masukin aku dalam hitungan mantannya.
Hahaha. Sedih amat yak kisah cinta aku di masa sekolah.
But... Itu yang makin menyatukan aku dengan karya sastra.
Selama ini, di balik puisi-puisi indah yang tersebar di luar sana, selalu
ada cerita patah hati yang luar biasa. Bahkan untuk penyair legend
Chairil Anwar juga menulis puisi dengan hati yang terluka. Sebut aja karyanya
untuk gadis fenomenal itu, "Cerita Buat Dien Tamaela". Ada
kisah-kasih tak sampai di sana. Juga karyanya berjudul "Sajak Putih-buat
tunanganku Mira". Masih berkisah pada pengalaman patah hati. Rajanya galau
emang Chairil sih, makanya dia terkenal sampai sekarang, bahkan untuk seorang
yang gak suka puisi. "Penerimaan", "Sia-Sia", serta
"Tak Sepadan" yang pernah dibawakan stand up comedian Wira
Nagara, merupakan puisi-puisi favorit aku.
Aku percaya seseorang gak akan menjadi penyair yang hebat bila bukan patah
hati yang menjadi penyebabnya.
Bahkan, kalo kalian baca sejarah, banyak
sastrawan dunia yang karya-karya besarnya lahir saat dia jatuh cinta atau hati
patah. Yang paling terkenal adalah Dante, penyair besar Italia dengan karya
‘Komedi Ketuhanan’ dipengaruhi oleh cintanya yang tak sampai kepada perempuan
yang bernama Beatrice.
Kahlil Gibran, penyair Lebanon (yang kemudian disebut
sebagai nabinya puisi cinta), juga tak luput dari patah hati yang kemudian
menjadi energi dari kreatifitasnya dalam menulis puisi cinta. Aku pernah
ngeracunin temen sekelas pas 1 SMA buat suka sama Gibran. Kalo gak salah aku
pinjamin dia buku "Sayap-Sayap Patah", abis itu dia beberapa hari
ngabisin waktu cuma baca buku puisi.
Aku lupa di buku apa pernah baca, Kahlil Gibran menulis untuk seorang wanita yang dia cintai tapi pergi begitu saja tanpa pamit, kalimatnya kira-kira gini: “Jika meninggal, di nisanku akan tertulis, Gibran meninggal karena mengenangmu.”
Aku lupa di buku apa pernah baca, Kahlil Gibran menulis untuk seorang wanita yang dia cintai tapi pergi begitu saja tanpa pamit, kalimatnya kira-kira gini: “Jika meninggal, di nisanku akan tertulis, Gibran meninggal karena mengenangmu.”
Galau abis.
Setuju sih sama Aan Mansyur di bukunya yang bilang
orang patah hati itu gak banyak bicara, dan berbahaya. Puisinya bahaya-bahaya
banget.
Oke. Masih belum percaya? Lanjut.
Sebut aja nama Sapardi Djoko Damono yang juga tidak
asing di telinga kita, merupakan guru besar sastra UI. Kalau kalian gak pernah
dengar namanya setidaknya karyanya yang berjudul "Aku Ingin" pernah
kalian baca. Bahkan di undangan pernikahan orang juga cukup sering sih aku
lihat pakai puisi ini. Mungkin suatu hari nanti aku juga pengin deh bikin puisi
sendiri yang bakal tertulis di undangan pernikahan aku. Hehe.
Kalo kita ngomong penyair dengan puisi cinta emang gak
ada habisnya. Hampir semua penyair terkenal pasti pernah membuat puisi cinta.
W.S Rendra yang identik dengan puisi sindiran kepada pemerintahan juga kerap
disebut rajanya puisi cinta.
Selain nama-nama besar tadi, di lingkungan aku juga
ada sih orang yang aku kagumi salah satu karyanya. Sejak aku ngebaca puisi
ciptaannya, aku sampai sekarang benar-benar respect sama dia. Padahal dia gak terlalu
suka menulis dan lebih tertarik sama politik ketimbang sastra. Puisi
legendarisnya itu, katanya, dibuat dini hari setelah putus dari pacarnya. Huf..
Aku sendiri suka menyebut orang yang jago nulis puisi
itu romantis. Yah, di zaman sekarang ini hampir gak ada cewek yang suka dikasi
puisi. Cewek lebih suka cowok polisi dibanding cowok yang jago nulis puisi. Hhhh.
Ya realistis sih, mending sama orang yang menawarkan
masa depan daripada orang yang menawarkan kata-kata doang.
Tapi bukan itu poinnya. Puisi gak bakal bisa tercipta
kalau gak pakai hati. Kalaupun bisa, pasti hasilnya gak bakal indah. That's why
orang yang ngasi puisi lebih romantis, karena apa yang mereka beri memang
berasal dari hati.
Gak masalah sih sebenarnya kalian suka sama yang mana. Toh emang dari dulu aku selalu beda dari selera orang. Di akhir postingan aku
cuma mau bilang, setiap orang punya hal-hal untuk mereka kagumi. Dan aku..
memilih untuk mengagumi puisi.
Here I am, your freak!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar