About Me

Foto saya
Hanya orang biasa yang menyempatkan untuk berkarya.

Jumlah yang sudah singgah

Kamis, 20 April 2017

13 Reasons Why

Hellz, allz.

Berangkat dari novel berjudul sama, 13 Reasons Why akhirnya diadaptasikan menjadi sebuah serial oleh Netflix. Awalnya aku cuma iseng nyobain nonton karena serial ini viral banget di mana-mana. Beberapa user twitter yang aku andalkan buat nyari film rekomendasi juga menyarankan serial ini.

Hmm.. jadi pas sebelum tidur aku cobain dulu episode pertamanya. Mmm... buat yang belum nonton ini sinopsisnya, siapa tau tertarik.

Cerita langsung dimulai dengan latar beberapa minggu setelah kematian Hannah Baker seorang siswi SMA yang memilih untuk mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri. Clay Jensen, salah seorang teman sekelasnya tiba-tiba dikirimin paket yang berisi 7 buah kaset, dimana masing-masing kaset merupakan rekaman suara Hannah yang menceritakan kenapa dia memilih bunuh diri sebanyak tiga belas alasan.

Awalnya aku juga cukup kewalahan dan kebingungan ngikutin alur ceritanya yang emang langsung berada di tengah-tengah konflik. Apalagi banyak adegan flashback dengan transisi yang cukup cepat, kalau gak fokus sih bakalan bingung nontonnya. Tapi setelah episode 2 dan seterusnya malah jadi terbiasa ngikutin pola penceritaan serial ini. Dalam satu episode, Hannah berhasil memberitahukan kita satu alasan kenapa, dan cukup hebat memainkan perasaan kita hingga kita sendiri juga mampu merasakan hal yang sama yang dirasakan oleh Hannah.

Nah, untuk panduan aja nih, kayaknya sutradaranya jenius banget buat memudahkan kita ngebedain mana flashback dan mana yang present time. 

Setiap adegan flashback, color grading setiap scene dibuat sedikit lebih warm atau kekuningan. Sedangkan yang present time dibuat sedikit cold atau kebiruan. Lalu, si karakter utama (Clay) juga dibuat kecelakaan sehingga meninggalkan bekas luka di dahi yang mana membuat kita makin mudah ngebedainnya. Jika flasback, Clay tidak punya bekas luka, sedangkan saat present time bekas luka itu ada. Jenius.

Yang membuatnya menarik lagi adalah setiap transisi dari present ke past time adalah selalu menggunakan teknik transisi dissolve dengan benda yang sama. Kalau yang sering edit video pasti tau gimana cara kerjanya. Intinya adalah shoot terakhir dari sebuah scene, bakal mirip dengan scene sebelumnya. Misalnya aku contohin di sebuah adegan, adegan terakhirnya menyorot pada kotak bekal makanan. Nah saat pindah ke adegan masa lalu, bekal makanan sekarang di dissolve atau perlahan diubah dengan bekal makanan masa lalu. Nonton deh, ntar ngerti.

Juga ada transisi blocking yang keren-keren. Misalnya dia menyorot rak buku sisi kiri, lalu bergerak ke arah kanan dan ketika kita habis pada sisi kanan rak buku, adegan sudah berganti dengan yang masa lalu.

Ketelitian dalam pembedaan masa lalu dan masa sekarang di sini benar-benar diperhatikan. Sutradaranya sangat menyadari bahwa alur cerita ini emang hidup lewat adegan-adegan masa lalu.

Nah itu dari segi gambarnya ya.

Dari sudut penceritaan atau point of view juga bagus. Kita benar-benar ngerasain dari sudut pandang Clay. Kita bener-bener ngerasain hal yang sama dengan Clay. Bingung dan penasaran. Clay di sini adalah badan kita secara gak langsung yang bergerak menelusuri misteri di balik kasus bunuh diri Hannah. Keren parah.

Cast di sini oke-oke sih aktingnya. Meski banyak, tapi kita bisa mengenali mereka karena emang perbedaan kepribadian masing-masing karakter emang terlihat. Sehingga kita benar-benar mudah kenal dengan mereka walaupun satu episode. Yang cukup membuat aku kecewa sih karena pemeran cewe yang cantik cuma Hannah doang. Sedangkan yang cowok malah cakep-cakep semua. Gak adil. 

Ng.. ini kenapa aku bisa menilai seorang cowok itu ganteng ya...

But, seriously, cewek yang nonton ini bakal dimanjakan matanya sama cowok-cowok ganteng di sini. Sedangkan cowok yang nonton, cuma bisa menikmati Hannah aja :(

Apalagi pas Hannah motong rambutnya jadi pendek. Wuhhhhhh canci sekaliii mailafff...

Ehem, lanjut.

Semua karakter di sini punya peran besar masing-masing. Gak ada karakter yang kebuang. Bahkan untuk karakter penjaga toko.

Hebatnya, aku bisa ngebenci karakter di sini hanya dari adegan-adegan yang diceritakan Hannah lewat rekaman suaranya. Berarti akting mereka emang jago-jago banget sih. Plus didukung sama backsound yang aduhai. Asli, ost serial ini pasti cocok banget buat nambah koleksi playlist kalian di handphone.

Di episode 11-12 aku hampir pen nangis ngeliat sebuah adegan yang yaaa... menyedihkan. Kalian bakal kesentuh dan mungkin gak tega buat ngeliat adegan itu. Aku sendiri nontonnya sambil mengeluarkan carut-marut juga.

Aku sih berharap ada season keduanya, karena serial ini bener-bener bikin candu. Aku nyelesaikan serial ini sehari doang. Nonton malamnya, terus di kampus juga nonton karena sengaja masukin filenya ke hape buat ditonton di kelas, pulang ngampus lanjut lagi sampai akhirnya malam lagi mau tidur. Episode 13 yang aku tonton gak buru-buru karena gak tega pengen abisinnya.

Kenapa aku pengen abisin cepat, ya karena rasa penasaran dari tiap episode itu emang bikin gak bisa berhenti dan kita penasaran buat ngelanjutin cerita biar tau kebenarannya. Tiap episode pasti bitnya bikin deg-degan di 15 menit terakhir. Pasti.

Sengaja tuh biar kita pengen lanjut-lanjut mulu.

Hmmm itu dulu deh review kita kali ini..

Sebenarnya udah gatel pengen ngereview ini sama orang lain, cuma temen-temenku belom ada yang nonton. Yaudah deh ngereview di blog aja.

Aku sih yakin dia udah nonton ini juga karena dari dulu aku tau dia hobi nih nonton serial tipe-tipe gini. Cuma ya gimana mau ngereview lagi sama dia, kan udah jauh. Hehe. Kalau aku chat, gatau deh diread apa engga. Kalaupun diread paling juga ga dibalas. Lol.

Malah curhat anjuuu... 

Bye!!!


#13ReasonsWhy : 8.5/10

Tidak ada komentar:

Posting Komentar