About Me

Foto saya
Hanya orang biasa yang menyempatkan untuk berkarya.

Jumlah yang sudah singgah

Senin, 25 Juni 2018

IYATAMA

Hellowz Allz...

Selamat Hari Raya Idul Fitri 1439H mohon maaf lahir batin teman-teman pembaca setiakuhh. 

Gimana? Udah sempat modusin ngechat mantan belom dengan modus paling standar pas lagi Idul Fitri, “Mohon maaf lahir bathin ya..”

Kalo aku sih enggak.

Kan udah move on.

Kan gitu pula.

Hm di postingan kali ini aku mau nyeritain tentang keahlian aku, “Patah hati.”

Selain karena udah makanan sehari-hari, alasan lainnya adalah KARENA tiap bikin postingan tentang itu, pembacanya pasti rame. Gatau kenapa. Kayak Jess No Limit yang bikin konten Mobile Legend gitu lah.

Kali ini aku bukan cerita tentang diri sendiri, tapi tentang patah hatinya seorang teman dekat yang aku kenal setahun lalu. Jadi begini ceritanya tahun lalu itu aku nemu banyak sekali teman baru yang seru-seru. Di antara mereka itu ada dua orang yang paling klop dan paling dekat juga. Mari kita sebut dua orang ini dengan nama Tama (tanpa Gochi) dan Iyat (karena kalo Ijat kan temennya Upin-Ipin).

Jadi Tama dan Iyat ini deket banget dengan aku karena pernah menjadi teman satu kamar dalam beberapa waktu yang cukup lama, merupakan orang yang memaksa aku mencicipi sesapan nikotin, dan juga temen nongkrong paling seru buat nyeduh kafein.

Kedekatan tersebut juga dibangun satu faktor lagi yang nggak kalah pentingnya: pernah patah hati.

Kedengarannya biasa aja kan, kayak “Halah aku juga pernah kali patah hati, enggak kalian aja.”

Well, you may say that, but just listen this story.


* * *

Ide menulis postingan ini datang dari sebuah pesan di grup whatsapp kami bertiga. Iya grup isi bertiga doang. Udah kayak grup private gay gitu. 

Pesan itu datang dari Iyat.

“Kalo aku lebaran ke rumah si anu gimana ya?”

Iyat menyebutkan sebuah nama yang cukup terlarang baginya, karena nama tersebut milik seseorang yang ‘katanya’ udah ngebenci Iyat dan ngejauhin, padahal pernah dekat banget. Hmm saya mencium aroma yang serupa dengan... oke lupakan.

Aku bales, “Ya terserah sih, kan niatnya silaturahmi namanya juga lebaran.”

Sedangkan Tama cuma ngebales, “wkwk”

“Aku mau ngomong sama orang tuanya, ngobrol aja. Kalo dia gak mau ketemu sama aku ya enggak apa.”

Beberapa saat kemudian Tama yang tadi keliatan balas singkat tiba-tiba angkat bicara dan ketikannya panjang banget kayak script sinetron Cinta Fitri.

“Kalau aku sih ya, enggak mau kayak gitu amat, iya aku tau apa salahku ke mantanku, dan apa alasan dia menjauh dari aku. Cuma kita sebagai lelaki juga harus punya prinsip dan keteguhan. Ya tapi kalau emang jalan yang kau mau lewati itu Yat, aku dukung aja sebagai sahabat kau. Semangat. Raih apa yang kau mau hingga kecapai.”

Tama mulai memberi nasihat berdasar pengalaman patah hatinya.

“Terus aku harus gimana? Aku bingung. Aku juga gak sanggup lagi kerja sekarang. Aku masuk kerja karena ada alasan yang buat aku kuat.”

Waduh. Lelaki mah gitu amat yak, kalo udah sayang sama satu orang cewek terus ditinggalin ya gini nih.

“Pernah baca gak, bahwasanya Level tertinggi dari mencintai adalah merelakan?” ujarku singkat.

Haseg gak tuh?


“Pengen berhenti kerja aja aku rasanya.” Ujar Iyat lagi. 

Buset dah, quote keren aku diabaikan gitu doang. Kzl akutu.

“Ngomong-ngomong ini si Tama typing-nya lama ya, gak selesai-selesai.” Kataku lagi saat melihat bar tulisan di atas kolom chat.

Tring. Notif masuk lagi. Kali ini dari Tama.

“Kalau aku Yat, udah cewek tu bilang gak mau ketemu lagi yaudah. Kita juga ada harga diri yang harus kita jaga. Kita laki-laki. Sekarang boleh lah kau dikit-dikit sedih. Tapi jangan sampai kau kayak teman aku Yat. Ada temanku kayak kau, sampai-sampai dia perjuangin tu cewek walaupun udah punya cowok baru. Ujung-ujungnya apa? Kek enggak ada harga diri. Biarlah kalau emang jodoh, biar dia kembali dengan cara dunia. Dengan cara lain yang enggak kita duga. Aku nggak pengen kau kayak teman aku. Dahlah sekarang keliatannya dia udah kayak mencampakkan kau. Aku sama Andi pun gak tau ada apa di antara kalian berdua sampai-sampai segitunya dia memperlakukan kau. Aku ngomong gini karena kalian teman aku. Ini berlaku juga buat Andi.”

HEH. KENAPA AKU JUGA.

Mungkin karena masih belum cukup, Tama mengirim satu chat panjang lagi.

“Tau aku apa yang kau rasakan ni Yat. Persis kayak aku sama mantanku. Aku cinta mati sampai-sampai aroma badannya ni masih terngiang-ngiang sama aku tiap saat. Cuma ya gimana? Aku gak mau ada sesuatu yang membebani diri aku. Memang aku cinta, memang aku sayang, tapi kalau digituin dan masih sedih-sedih gini ah buat apa. Bahkan ya sampai sekarang aku masih menyimpan rasa percaya kalau kelak dia jadi istri aku, ada aja jalannya. Pokoknya aku gak mau lah Iyat yang aku kenal jadi berubah murung gara-gara cewek.”

“Mantap anjeng. Tapi kenapa berlaku ke aku juga ya.” Responku terhadap ceramah Tama.

“HAHAHAHA. Asam-manis percintaan ni lah yang bikin kita dewasa sebenarnya.” Kata Tama.

“Lebih enakan asam-pedas sih kalau bagi aku.” ujarku garing.

Sekarang giliran Iyat yang typing-nya gak selesai-selesai. Apa lage neh.
Ternyata Iyat membeberkan kisah cintanya ini dan alasan kenapa si doi ninggalin dia. Aku menyimak cerita kata per kata, kalimat per kalimat. Berujung pada satu kesimpulan.

“Kalo emang itu yang terjadi di antara kalian, aku kok gak percaya ya. Maksudku kalau hanya ‘itu’ gak mungkinlah dia ngebenci dan ngejauhin kau segitunya.” Protesku.

Sekarang giliran aku yang ngebacot.

“Gini ya, aku juga pernah kok mengalami hal yang sama kayak kau. Aku pernah dijauhi dan dibenci sedemikian banyak, bahkan temen-temennya dia juga ngebenci aku, ya aku sih fair aja. Karena aku tau aku salah, dan emang menyesal. Tapi sesuatu tu gak mungkin bisa balik seperti semula, dan aku belajar ikhlas, menyingkirkan keegoisan bahwa aku harus sama dia. Caranya gampang, relakan. Udah, beres dah itu galau-galauan.”

Sok bijak banget aku, padahal isi blog ini galau semua. Wkwk.

Iyat membalas. “Yang aku tau cuma itu. Kalau ada alasan lain yang lebih besar seperti orang tuanya ngelarang, aku mundur lek. Jujur prinsip aku emang satu cewek aja Ndi.”

“Belajar mengendalikan ego. Bukan masalah prinsip kau mau satu cewek apa seratus. Intinya kalo tu cewek udah gak mau sama kita, yaudahlaaah. Jangan terlalu egois untuk memaksa dia menjadi milik kita. Kayak yang aku bilang tadi: level tertinggi mencintai adalah merelakan.”

Haseg sok bijak lagi, ketimun bungkuk.

“Nah iya bener Ndi, aku juga mikir gitu. Sayang aku sama mantan aku udah kayak istri lah, semua buat dia. Yaa cuma kalau aku diposisikan enggak pantas ya buat apa kan. Toh nanti ada saatnya kita mendapatkan orang yang tepat untuk kita. Semua ada waktunya.” Mantap Tama.

“Jadi coba jelaskan ke aku, kau mau ke rumah dia tu buat apa? Klarifikasi atau apa? Menurut aku cuma kayak dejavu. Kita pun jumpa sama orang tu pasti ujungnya ditambah parah. Contoh pas buka bersama kemarin tu. Jangankan senyum atau menyapa, melihat aja enggak. Aku berpikiran sama kayak Andi, pasti ada alasan lebih besar dari yang kau sebutkan tadi. Pasti ada kesalahan fatal yang kita gak tau, yang bikin dia ngebenci kau segininya.”

Gila ni Tama kalau ngebacot, kalah saya pak.

“Ng yaudah. Makasi udah mau denger. Sekarang aku berharap semoga dia bahagia dengan gebetan ataupun pacar barunya yang udah aku tau.”

“Hah?”

“Hah?”

Aku sama Tama kaget.

LAH ITU DIA PASTI ALASANNYA KENAPA DIA NINGGALIN.

“Ya belum pasti juga lah, tapi aku tau kok. Ya tapi kalau dia bahagia, aku syukur alhamdulillah kok.”

ZZZ.

Sungguh sesuatu yang bacot.

Dia bahagia dengan orang lain, dan kita bersyukur?

Wow such of a big bullshit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar