Hellowz Allz...
Selamat Hari Raya Idul Fitri 1439H mohon maaf lahir batin
teman-teman pembaca setiakuhh.
Gimana? Udah sempat modusin ngechat mantan belom
dengan modus paling standar pas lagi Idul Fitri, “Mohon maaf lahir bathin ya..”
Kalo aku sih enggak.
Kan udah move on.
Kan gitu pula.
Hm di postingan kali ini aku mau nyeritain tentang keahlian
aku, “Patah hati.”
Selain karena udah makanan sehari-hari, alasan lainnya
adalah KARENA tiap bikin postingan tentang itu, pembacanya pasti rame. Gatau kenapa.
Kayak Jess No Limit yang bikin konten Mobile Legend gitu lah.
Kali ini aku bukan cerita tentang diri sendiri, tapi tentang
patah hatinya seorang teman dekat yang aku kenal setahun lalu. Jadi begini
ceritanya tahun lalu itu aku nemu banyak sekali teman baru yang seru-seru. Di
antara mereka itu ada dua orang yang paling klop dan paling dekat juga. Mari
kita sebut dua orang ini dengan nama Tama (tanpa Gochi) dan Iyat (karena kalo
Ijat kan temennya Upin-Ipin).
Jadi Tama dan Iyat ini deket banget dengan aku karena pernah
menjadi teman satu kamar dalam beberapa waktu yang cukup lama, merupakan orang
yang memaksa aku mencicipi sesapan nikotin, dan juga temen nongkrong paling
seru buat nyeduh kafein.
Kedekatan tersebut juga dibangun satu faktor lagi yang
nggak kalah pentingnya: pernah patah hati.
Kedengarannya biasa aja kan, kayak “Halah aku juga pernah
kali patah hati, enggak kalian aja.”
Well, you may say that,
but just listen this story.
* * *
Ide menulis postingan ini datang
dari sebuah pesan di grup whatsapp kami
bertiga. Iya grup isi bertiga doang. Udah kayak grup private gay gitu.
Pesan itu datang dari Iyat.
“Kalo aku lebaran ke rumah si anu
gimana ya?”
Iyat menyebutkan sebuah nama yang
cukup terlarang baginya, karena nama tersebut milik seseorang yang ‘katanya’
udah ngebenci Iyat dan ngejauhin, padahal pernah dekat banget. Hmm saya mencium aroma yang serupa dengan... oke lupakan.
Aku bales, “Ya terserah sih, kan
niatnya silaturahmi namanya juga lebaran.”
Sedangkan Tama cuma ngebales, “wkwk”
“Aku mau ngomong sama orang
tuanya, ngobrol aja. Kalo dia gak mau ketemu sama aku ya enggak apa.”
Beberapa saat kemudian Tama yang
tadi keliatan balas singkat tiba-tiba angkat bicara dan ketikannya panjang
banget kayak script sinetron Cinta
Fitri.
“Kalau aku sih ya, enggak mau
kayak gitu amat, iya aku tau apa salahku ke mantanku, dan apa alasan dia
menjauh dari aku. Cuma kita sebagai lelaki juga harus punya prinsip dan
keteguhan. Ya tapi kalau emang jalan yang kau mau lewati itu Yat, aku dukung
aja sebagai sahabat kau. Semangat. Raih apa yang kau mau hingga kecapai.”
Tama mulai memberi nasihat
berdasar pengalaman patah hatinya.
“Terus aku harus gimana? Aku
bingung. Aku juga gak sanggup lagi kerja sekarang. Aku masuk kerja karena ada
alasan yang buat aku kuat.”
Waduh. Lelaki mah gitu amat yak,
kalo udah sayang sama satu orang cewek terus ditinggalin ya gini nih.
“Pernah baca gak, bahwasanya
Level tertinggi dari mencintai adalah merelakan?” ujarku singkat.
Haseg gak tuh?
“Pengen berhenti kerja aja aku
rasanya.” Ujar Iyat lagi.
Buset dah, quote
keren aku diabaikan gitu doang. Kzl akutu.
“Ngomong-ngomong ini si Tama typing-nya lama ya, gak selesai-selesai.”
Kataku lagi saat melihat bar tulisan di atas kolom chat.
Tring. Notif masuk lagi. Kali ini
dari Tama.
“Kalau aku Yat, udah cewek tu
bilang gak mau ketemu lagi yaudah. Kita juga ada harga diri yang harus kita
jaga. Kita laki-laki. Sekarang boleh lah kau dikit-dikit sedih. Tapi jangan
sampai kau kayak teman aku Yat. Ada temanku kayak kau, sampai-sampai dia
perjuangin tu cewek walaupun udah punya cowok baru. Ujung-ujungnya apa? Kek enggak
ada harga diri. Biarlah kalau emang jodoh, biar dia kembali dengan cara dunia. Dengan
cara lain yang enggak kita duga. Aku nggak pengen kau kayak teman aku. Dahlah sekarang
keliatannya dia udah kayak mencampakkan kau. Aku sama Andi pun gak tau ada apa
di antara kalian berdua sampai-sampai segitunya dia memperlakukan kau. Aku ngomong
gini karena kalian teman aku. Ini berlaku juga buat Andi.”
HEH. KENAPA AKU JUGA.
Mungkin karena masih belum cukup,
Tama mengirim satu chat panjang lagi.
“Tau aku apa yang kau rasakan ni
Yat. Persis kayak aku sama mantanku. Aku cinta mati sampai-sampai aroma
badannya ni masih terngiang-ngiang sama aku tiap saat. Cuma ya gimana? Aku gak
mau ada sesuatu yang membebani diri aku. Memang aku cinta, memang aku sayang,
tapi kalau digituin dan masih sedih-sedih gini ah buat apa. Bahkan ya sampai
sekarang aku masih menyimpan rasa percaya kalau kelak dia jadi istri aku,
ada aja jalannya. Pokoknya aku gak mau lah Iyat yang aku kenal jadi berubah
murung gara-gara cewek.”
“Mantap anjeng. Tapi kenapa
berlaku ke aku juga ya.” Responku terhadap ceramah Tama.
“HAHAHAHA. Asam-manis percintaan
ni lah yang bikin kita dewasa sebenarnya.” Kata Tama.
“Lebih enakan asam-pedas sih
kalau bagi aku.” ujarku garing.
Sekarang giliran Iyat yang typing-nya gak selesai-selesai. Apa lage
neh.
Ternyata Iyat membeberkan kisah
cintanya ini dan alasan kenapa si doi ninggalin dia. Aku menyimak cerita kata
per kata, kalimat per kalimat. Berujung pada satu kesimpulan.
“Kalo emang itu yang terjadi di
antara kalian, aku kok gak percaya ya. Maksudku kalau hanya ‘itu’ gak
mungkinlah dia ngebenci dan ngejauhin kau segitunya.” Protesku.
Sekarang giliran aku yang
ngebacot.
“Gini ya, aku juga pernah kok
mengalami hal yang sama kayak kau. Aku pernah dijauhi dan dibenci sedemikian
banyak, bahkan temen-temennya dia juga ngebenci aku, ya aku sih fair aja. Karena
aku tau aku salah, dan emang menyesal. Tapi sesuatu tu gak mungkin bisa balik
seperti semula, dan aku belajar ikhlas, menyingkirkan keegoisan bahwa aku harus sama dia. Caranya gampang, relakan. Udah, beres dah itu galau-galauan.”
Sok bijak banget aku, padahal isi
blog ini galau semua. Wkwk.
Iyat membalas. “Yang aku tau cuma
itu. Kalau ada alasan lain yang lebih besar seperti orang tuanya ngelarang, aku
mundur lek. Jujur prinsip aku emang satu cewek aja Ndi.”
“Belajar mengendalikan ego. Bukan
masalah prinsip kau mau satu cewek apa seratus. Intinya kalo tu cewek udah gak
mau sama kita, yaudahlaaah. Jangan terlalu egois untuk memaksa dia menjadi
milik kita. Kayak yang aku bilang tadi: level tertinggi mencintai adalah
merelakan.”
Haseg sok bijak lagi, ketimun
bungkuk.
“Nah iya bener Ndi, aku juga
mikir gitu. Sayang aku sama mantan aku udah kayak istri lah, semua buat dia. Yaa
cuma kalau aku diposisikan enggak pantas ya buat apa kan. Toh nanti ada saatnya
kita mendapatkan orang yang tepat untuk kita. Semua ada waktunya.” Mantap Tama.
“Jadi coba jelaskan ke aku, kau
mau ke rumah dia tu buat apa? Klarifikasi atau apa? Menurut aku cuma kayak
dejavu. Kita pun jumpa sama orang tu pasti ujungnya ditambah parah. Contoh pas
buka bersama kemarin tu. Jangankan senyum atau menyapa, melihat aja enggak. Aku
berpikiran sama kayak Andi, pasti ada alasan lebih besar dari yang kau sebutkan
tadi. Pasti ada kesalahan fatal yang kita gak tau, yang bikin dia ngebenci kau
segininya.”
Gila ni Tama kalau ngebacot,
kalah saya pak.
“Ng yaudah. Makasi udah mau
denger. Sekarang aku berharap semoga dia bahagia dengan gebetan ataupun pacar
barunya yang udah aku tau.”
“Hah?”
“Hah?”
Aku sama Tama kaget.
LAH ITU DIA PASTI ALASANNYA
KENAPA DIA NINGGALIN.
“Ya belum pasti juga lah, tapi
aku tau kok. Ya tapi kalau dia bahagia, aku syukur alhamdulillah kok.”
ZZZ.
Sungguh sesuatu yang bacot.
Dia bahagia dengan orang lain,
dan kita bersyukur?
Wow such of a big bullshit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar