Percayakah bahwasanya engkau hingga kini masih menjadi hening yang kubisingkan dalam doa pukul tiga pagi? Jujur saja, tak pernah habis asaku dalam tiap tutur doa agar terwujudlah anomali yang kunanti: kau mampu kumiliki.
Padahal.. realitasnya kita memang tak bisa sama dan bersama.
Mungkin ada benarnya
ketika engkau mengatakan bahwa kita memahami segala sesuatu dengan beda. Aku sibuk dengan visi. Sedangkan yang kau maksud adalah fisi. Di kala aku meyakini kisah kita sebagai bentuk progresi, kau
dengan tanpa keraguan melabelinya stagnasi. Entah kau yang memang
terlalu cerdas atau aku yang hanya naif dan tidak pernah menyadari.
Harusnya juga aku menyadari betapa mustahilnya engkau untuk disunting karena aku hanyalah rakyat proletar sementara kau adalah darah daging borjuis. Kau berada dalam golongan ksatria sementara aku tertatih menjalani hidup sebagai sudra.
Memilikimu benar-benar sebuah enigma yang hingga mati pun tak mampu aku pecahkan. Jadi dengan segala kondisi yang memaksa aku memimpikanmu dari kejauhan, biarkanlah aku menjadi seekor Pungguk yang merindukan bulan. Biarkan saja aku tiap malam berkicau di antara kesunyian.
Menjadi seekor burung pungguk dan merindukan sang putri rembulan adalah nadir yang tak lagi kuhiraukan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar