Aku harus berterima kasih pada tingkahku yang acak: dalam kebosanan, di sela-sela waktu berbuka puasa, aku tak sengaja menemukanmu. Meskipun hanya lewat story, senyummu kala itu membuatku sadar ada berbukaan yang lebih manis daripada sebutir kurma.
Aku juga harus berterima kasih pada tingkahku yang gila. Jika tidak, mana mungkin aku berani sok akrab mengomentari, hingga akhirnya kau mau berkomunikasi.
Padahal sesungguhnya siapalah aku bagimu? Hanya orang asing yang secara acak mencoba berkomunikasi lewat balasan story. Kau berhak mengabaikanku, tapi beruntungnya takdir membantuku sehingga kau mau meresponku
* * *
Di hari yang fitri, aku melakukan trik itu kembali. Kukomentari, dan kau di luar dugaan merespon lagi. Sungguh, masih saja, siapalah aku buatmu? Hanya orang asing yang entah kenapa kau ladeni lagi.
Beberapa waktu setelahnya kucoba langkah yang lebih jauh: mengajakmu bertemu untuk berbincang hangat. Sekali lagi, takdir menolongku sehingga kau mengiyakan ajakan itu.
Tidakkah kau saat itu merasa bahwasanya alam semesta terlalu mendukung kita? Apa benar kau tidak sedikitpun merasa heran mengapa semuanya terlalu berjalan mulus begitu saja?
Biar kuberitahu satu hal, satu hingga empat jam yang kita habiskan setelahnya berlalu tanpa terasa. Bukankah obrolan panjang yang hangat itu pertanda bahwa kau dan aku ditakdirkan untuk menjadi kita?
* * *
Hari-hari setelahnya intensitas semakin tinggi, kadang kala kita saling menghiasi hari, kadang waktu juga kita bisa saling memaki. Tanpa terasa saat itu tiba, kita sama-sama bisa menyepakati bahwa sudah saatnya kita saling jatuh hati.
Kini, aku harus berterima kasih pada hadirmu. Jika dahulu aku hanya tahu hitam, putih, dan abu-abu, sekarang kau mengajarkanku tentang warna-warna baru.
Dulu, kupikir aku akan kehilangan separuh diriku ketika bersamamu, ternyata aku salah. Justru ketika bersamamu, aku menemukan separuh diriku yang lain.
Ah aku kesal kepada diriku sendiri. Apa saja yang kulakukan hingga baru sekarang aku menemukanmu? Bukankah akan lebih indah jika aku mengenalmu dari dulu?
* * *
Aku kerap bertanya-tanya, kebaikan apa yang telah aku lakukan hingga sekarang aku diberikan hadirmu sebagai hadiah dari Tuhan?
Kau terlalu luar biasa untukku yang biasa-biasa saja. Kau terlalu sempurna untukku yang tidak ada apa-apanya.
Jujur aku bingung bagaimana mensyukuri ini. Sehingga seringkali aku bertanya sendiri di dalam hati, "Apakah aku cukup buatmu?"
Bayangkan saja, sejak kau hadir, hidupku jadi punya tujuan. Padahal sebelumnya aku hanyalah seonggok manusia yang kehilangan semangat hidupnya. Yang awalnya hanya sekadar menunggu mati, menjadi orang yang punya seribu mimpi.
* * *
Izinkan aku bercerita tentang apa yang aku suka tentangmu.
Aku suka matamu saat menatap mataku ketika kita sedang bertukar cerita.
Aku suka alismu yang bergerak lucu saat kau sedang berbicara.
Aku suka hidungmu yang terjepit di antara pipi tembammu yang ada dua.
Aku suka caramu menyelipkan rambut ke sela-sela telinga.
Aku suka wangimu yang ingin aku hirup tiap harinya.
Aku suka suaramu saat sedang marah ataupun bahagia.
Aku suka semuanya.
Jika kamu bertanya apa yang tidak aku suka, tentu saja jawabannya tidak ada. Bukankah kau adalah perwujudan untuk kata yang lebih dari sekadar indah?
* * *
Aku ingin kau selalu ada di sini. Maaf sedikit egois, tapi aku tidak tau bagaimana nanti jika kamu memilih pergi. Kuharap tak akan pernah terjadi. Setidaknya itulah yang aku pinta kepada Tuhan tiap kali aku menadahkan tangan.
Maaf jika aku belum bisa menjadi seperti yang kau mau. Maaf jika aku jauh dari kata cukup. Maaf untuk aku yang sangat berkekurangan.
Namun terlepas dari semuanya, percayalah, aku akan selalu berusaha menghadirkan cerah di setiap hari-harimu, menjadi kesejukan di setiap terikmu, dan menjadi seseorang yang kau cari ketika kau sedang ingin berbagi.
Percayalah, dan yakinlah, "Aku diciptakan memang untukmu, Anya Devenna Fitriana."
* * *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar