Aku senang ketika malam semakin larut.
Suara hening mengisi setiap sudut ruangan. Sesekali detik jarum jam terdengar lebih keras dari helaan nafas saat aku mulai memikirkan tentang hidup,
Apakah aku pantas untuk seseorang?
Pertanyaan itu terlintas begitu saja kala mataku dipaksa untuk terpejam. Lantas, bukan gelap lagi yang kulihat saat memejamkan mata. Layaknya proyektor tua, otakku tanpa disuruh mulai memperlihatkan sepenggal demi sepenggal kenangan yang sudah lama aku tenggelamkan.
Bagaimana kabarmu hari ini?
Aku dengar kamu telah menjadi seorang istri yang hebat baginya. Jujur, aku senang melihatmu bisa memenuhi mimpimu untuk menikah muda. Aku ingat sekali bagaimana kamu termotivasi memacu skripsimu demi bisa mewujudkan mimpi itu. Ya bagaimana aku bisa lupa sebab tiap hari kamu mengingatkan bahwa tidak apa-apa ketika kita belum punya apa-apa. Kita bisa bertumbuh bersama. Meskipun di akhir kalimat kamu bilang, "Papaku pasti bantu kok".
Mungkin aku terlalu takut karena mimpiku terlihat sangat kerdil di hadapan mimpimu yang besar itu. Mimpiku hanya sesederhana "aku bahagia bila melihatmu bahagia".
Syukurlah pada akhirnya tetaplah aku dengan mimpiku dan kamu dengan mimpimu.
Umm... Maaf kalau di malam ini aku tiba-tiba merindukanmu. Yang terjadi malam ini tepat seperti perwujudan dari "Gagal Bersembunyi"-nya The Rain. Ketika aku mulai memikirkanmu, musiknya mulai dimainkan di dalam kepala.
Aku membuka folder di gallery handphone yang sudah setahun tidak pernah aku buka. Ah masa-masa indah itu. Aku mengumpat sedikit ketika sadar bahwa ini salah. Maaf aku tidak bermaksud. Toh kamu juga sudah menjadi milik orang lain bukan? Maafkan aku, setidaknya untuk malam ini saja.
Mungkin benar bahwa kita dipertemukan hanya untuk saling belajar, bukan untuk saling memiliki. Sekalipun hubungan kita berakhir dengan baik dan tanpa dendam, entah kenapa semua hal menjadi membekas di kepala.
Masihkah kamu ingat bahwa perdebatan kita setiap pagi adalah menentukan ketoprak mana yang paling enak? Ketika siang justru kita akur karena menyukai kopi yang sama. Malam justru lebih aneh lagi, kamu memilih menyetir sendirian keliling kota agar tidak gila, sedang aku lebih nyaman dengan rebahan di kamar tanpa melakukan apa-apa.
Lucunya adalah kamu justru lebih optimis dengan mimpiku dibanding mimpimu sendiri. Aku pun sebaliknya. Saat mimpiku entah bagaimana terwujud di akhir tahun, ustru inilah awal dari kerenggangan kita.
Apakah seratus kilometer bisa mengubah banyak hal?
Awalnya aku menyepelekan hal ini. Namun tak disangka seratus kilometer bisa membuat satu dua tiga bulan berikutnya menjadi berbeda. Empat lima bulan kemudian menjadi berat. Enam tujuh bulan kemudian kamu resmi menjadi pendamping hidup seseorang. Sementara delapan sembilan bulan setelahnya aku hampir gila sendirian.
Sepuluh sebelas dua belas, tepat malam ini, sekali lagi aku menginginkanmu.
Maaf.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar