About Me

Foto saya
Hanya orang biasa yang menyempatkan untuk berkarya.

Jumlah yang sudah singgah

Sabtu, 17 November 2012

Nilai, bukan Kemampuan

Sudah lama sekali sebetulnya aku mau menceritakan tentang pendidikan di Indonesia, terutama keanehannya. Dari nama tempat mendidik aja udah aneh. Sebagai contoh, ketika SD ada kelas 1-6. Tapi kenapa setelah SMP malah hanya kelas 7-9 dan SMA 10-12. Mengapa tidak ada kata kelas 1 SMP-6 SMP tapi hanya ada 7-9 SMP. Begitu pula dengan SMA. Kalau pun mau menyebut tingkat pendidikan seharusnya cukup dengan menyebutkan angkanya saja, seperti kelas 1 sampai kelas 12. Gak usah pakai embel-embel SD, SMP, SMA segala.
Aku berpendapat bahwa sampai kapanpun pendidikan dan kualitas SDM Indonesia tidak akan pernah bagus apabila hanya mengandalkan "Nilai raport" bukan "Kemampuan". Seperti masuk sekolah saja contohnya, kita harus punya nilai yang bagus, padahal nilai yang kita dapat tadi belum tentu dari hasil kemampuan kita sendiri. Jadi, sebaiknya untuk masuk sekolah itu harus ada tes-nya barulah pendidikan bisa berkualitas. Dampaknya, karena pendidikan Indonesia cuma mengandalkan "Nilai" jadi para pelajar akan melakukan berbagai cara demi meraih nilai yang tinggi. Dari mencontek hingga les dengan guru mata pelajaran dengan 'tujuan lain', semuanya mereka lakukan. Alhasil, ketika masuk dunia kerja, akan banyak pribadi-pribadi yang kesulitan, hingga berujung pada sebuah pengangguran. Mungkin itu alasannya seorang sarjana bisa menganggur. Mereka adalah "Pribadi yang Pintar, bukan Cerdas"
Selain itu, faktor dari orangtua yang berprinsip agar anaknya dapat nilai tinggi dan selalu juara kelas juga supaya memiliki masa depan yang baik adalah alah. Sekedar memperbaiki konsep yang salah tadi, aku telah mengadakan observasi kecil-kecilan. Aku mengajukan pertanyaan, mengapa anda selalu menyuruh anak anda untuk mendapat nilai tinggi? Sebagian besar mereka menjawab supaya mereka bisa dapat sekolah yang berkualitas bagus. Kemudian aku tanya lagi, untuk apa anak anda belajar di sekolah yang berkualitas? Supaya dia bisa lulus sebagai pribadi yang pintar. Aku lanjutkan, mengapa anda menginginkan mereka pintar? Agar mereka bisa bekerja di sebuah perusahaan atau departemen yang bagus. Aku bertanya lagi, Dan jika itu terjadi? Maka mereka bisa menyongsong masa depan yang cerah.
Dari sebuah observasi sederhana tadi, aku berkesimpulan bahwa mereka meminta anaknya agar mempunyai nilai yang baik, adalah supaya bisa bekerja di tempat yang layak dan dapat masa depan yang cerah. Disinilah konsep yang salah itu. "...supaya bisa bekerja di tempat yang layak..." tidakkah kalian pikir itu keliru? Setiap tahunnya, ada lebih kurang 9,5 juta manusia yang pintar akan melamar kerja. Dan perbandingan untuk bisa diterima jelas lebih kecil dibanding peluang untuk ditolak. Karena jumlah lapangan pekerjaan lebih sedikit daripada jumlah orang yang melamar. Lalu kita akan bersaing dengan 9,5 juta orang tadi demi mendapat sebuah pekerjaan. Bagaimana jika kita balik? Bagaimana jika kitalah orang yang menerima lamaran, bukan orang yang memberi lamaran. Dalam arti lain, kita adalah seorang wirausahawan dan bukan karyawan. Bukankah peluang 9,5 juta : 1 lebih besar daripada 1 : 9,5 juta?
Menjadi satu orang cerdas ketimbang menjadi salah satu dari sekian orang pintar jauh lebih baik. Mungkin dari teman-teman masih belum mengerti perbedaan antara Cerdas dan Pintar. Insya Allah aku jelaskan di postingan berikutnya. 
Hanya karena konsep "Nilai, bukan Kemampuan" inilah akibatnya. Sangat berpengaruh. Ini hanya salah satu dari keanehan pendidikan di Indonesia dari sekian banyak keanehan. Sebenarnya ada lagi konsep "Pintar, bukan Cerdas". Tapi akan aku jelaskan di postingan aku selanjutnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar