About Me

Foto saya
Hanya orang biasa yang menyempatkan untuk berkarya.

Jumlah yang sudah singgah

Sabtu, 31 Agustus 2013

Pertemuan Dalam Mimpi

Kopi hitam pekat di depannya seakan-akan mencemooh Arief yang sejak tadi tak henti-hentinya meracau tentang mimpinya tadi malam. Pikirannya berkecamuk saat teringat puing-puing sisa mimpinya semalam. Tiap kali dia mencoba mengalihkan pikirannya dari mimpi itu, kepalanya mendadak berdenyut, berat, seolah-olah sedang dihimpit beban yang begitu besar. Sehingga, ia kembali tersentak dengan gambaran mimpi yang masih sangat begitu detil dalam ingatannya.

Masih teringat jelas tentang wanita yang menghampirinya di mimpi itu. Wanita itu tidak sendiri, dan Arief sangat ingat tentang itu. Mungkin wanita itu bersama ibunya. Sebab dalam mimpi itu Arief melihat si wanita sedang menggandeng seorang wanita tua dengan begitu hati-hati. Arief sendiri tidak mengerti apa tujuan mereka menghampirinya yang disesaki oleh kebingungan. Yang Arief ingat, wanita itu tersenyum kepadanya. Senyum yang benar-benar tercipta dari rasa kesenangan dan kepuasan yang luar biasa. Seperti berhasil menemukan masa lalu yang pernah terpenggal dari ingatannya.

Saat Arief hendak bertanya tentang apa yang mereka mau dari dirinya, seketika pula ia seperti tersedot masuk ke sebuah ruang. Ruang berwarna putih. Luas sekali. Seakan tak berbatas. Napasnya tersengal, sesak. Dadanya serasa ditusuk-tusuk. Pandangannya mendadak kabur. Masih di mimpi itu, tubuh Arief mulai terhuyung. Ia mencoba berdiri tegak. Namun berikutnya terdengar denging yang panjang. Sangat panjang dan membisingkan. Telinganya sakit. Kepalanya berdenyut hebat. Ia terperanjat di atas tempat tidurnya yang nyaman. 

Arief terbangun.

Sejak pagi hingga sekarang, ia tak bisa berhenti terpikirkan tentang kedua wanita yang menyusup ke dalam mimpinya. Sungguh, ia benar-benar tidak bisa berhenti memikirkannya. Beragam upaya telah dilakukan agar ia lupa, seperti menyibukkan diri dengan berbagai macam kegiatan. Namun, hasilnya nihil. Berulang kali ia mencoba melupakannya, berulang kali pula ia teringat detil mimpi anehnya itu.

Tidak masalah kalau di dalam mimpi itu ia hanya bertemu wanita yang biasa. Tapi kali ini, Arief merasa wanita yang ada di mimpinya benar-benar tidak biasa. Ia merasa kenal dengan wanita itu. Tidak hanya sekedar kenal, dia betul-betul mengenalnya, begitu akrab dan dekat. Namun, yang menjadi masalahnya adalah ia tidak bisa mengingat wanita itu. Berulang kali Arief mencoba menerawang masa lalunya, tentang kapan dan dimana ia pernah bertemu dengan wanita itu. Berkali-kali hingga ia letih, dan tetap saja ia menemukan jawaban yang sama. Bahwa ia memang tidak pernah bertemu dengan wanita itu sebelumnya secara nyata. Mimpi tadi malam adalah pertemuan pertama dirinya dengan wanita itu. Anehnya, tetap saja dia yakin kalau wanita itu amat dikenalnya.

Malam harinya, Arief bertekad sebelum tidur. Jika ia memimpikan wanita itu lagi, dia akan menyempatkan dirinya untuk bertanya. Ia sudah tidak kuat lagi menahan rasa penasaran. Arief sebetulnya tidak yakin ia akan bisa mengendalikan mimpinya nanti. Tapi tidak ada salahnya jika mencoba. Sebab kita tidak akan pernah tahu jika belum pernah mencoba.

Arief mematikan lampu di kamarnya. Suasana gelap seperti ini seringkali membuat ia cepat tertidur pulas. Kegelapan membuat pikirannya lekas terbang. Melayang mencari tempat pendaratan di alam bawah sadarnya. Benar saja, tak lama berselang Arief sudah tiba di alam relaksasinya.

Tak jauh berbeda dari mimpi sebelumnya. Wanita itu masih datang menghampiri Arief bersama wanita tua yang ada dalam gandengan tangannya. Kali ini Arief lebih tenang dan sempat melihat kondisi sekelilingnya. Belakangan ia baru sadar, bahwa di belakang kedua wanita itu ada sebuah pintu yang tak asing baginya. Benar, itu pintu masuk rumahnya. Berarti ia sekarang sedang melihat kedua wanita asing berada dalam rumahnya. Benar-benar aneh. Saat Arief mulai mencoba mengendalikan mimpinya untuk bertanya, kembali ia tersedot dalam ruang putih yang menyajikan denging panjang yang membisingkan. Lagi-lagi Arief tersadar dari mimpinya disambut oleh suara ayam yang berkokok.

Tak kuat menahan rasa penasaran, Arief langsung membuka laptop-nya lalu mencari artikel di internet yang berkaitan dengan mimpi yang dialaminya. Tentang sebuah mimpi yang terjadi berulang kali. Setelah sekian lama mencari, akhirnya Arief menemukan sebuah tulisan yang membuat bibirnya tersungging.

“...anda akan bisa mengendalikan mimpi anda apabila anda telah mengalami mimpi yang sama sebanyak dua kali atau lebih. Yang anda perlu lakukan adalah tetap tenang, mengatur nafas anda, dan yakinkan diri anda bahwa itu adalah mimpi. Sadarkan diri anda berulang kali kalau anda benar-benar berada dalam mimpi.”

Rasa senang dan puas meledak di dalam hatinya. Arief benar-benar sudah tidak sabar ingin mencobanya. Tanpa diketahuinya, ada seorang lagi yang ingin melakukan hal sama seperti Arief. Seseorang yang mengalami mimpi sama berulang kali. Dia adalah wanita di dalam mimpi Arief.

***

Aku akan mencoba mengendalikan mimpi aneh yang kualami dua malam ini. Aku benar-benar bingung. Pria yang kutemui di sana sepertinya aku kenal. Namun anehnya, aku tidak pernah bertemu dengannya secara langsung di dunia nyata. Wajahnya itu sangat aku kenal. Tidak asing. Sedikitpun tidak terlintas di pikiranku untuk menganggapnya sebagai orang asing. Tapi, saat aku mulai memikirkannya, pikiranku berkecamuk. Otakku menolak untuk berpikir. Misteri dalam mimpi harus diselesaikan di dalam mimpi. Malam ini aku akan mencobanya.

Kini aku sudah siaga dengan persenjataanku bertarung di dalam mimpi. Bantal dan selimut sudah siap di posisi mereka masing-masing. Sebuah AC yang sejak tadi menyebar kesejukan ke seluruh penjuru ruangan ikut melengkapi amunisiku. Tinggal satu petikan pada saklar lampu yang menggelapkan kamar ini, maka selesai sudah persiapanku berperang di dalam mimpi. Aku telah siap berangkat menuju medan perang yang kusebut sebagai alam bawah sadar.

Tanganku terasa menggenggam sesuatu yang lembut dan sedikit keriput. Lambat kusadari kalau itu adalah tangan ibuku. Sosok yang membesarkan dan mendidikku seorang diri. Aku memang tak pernah bertemu dengan ayahku sejak kecil. Ketika aku bertanya, ibu selalu mengalihkan pembicaraan ke hal-hal lain.

Di depanku terlihat seorang pria yang sebaya denganku. Pria itu lagi. Pria yang wajahnya sangat kukenal, namun tak bisa kuingat siapa dirinya. Eh? Aku hampir lupa kalau ini adalah mimpi. Aku harus meyakinkan diriku kalau ini benar-benar mimpi. Aku harus yakin, kalau tidak aku tidak akan bisa mengendalikannya. Jika tidak yakin, aku akan tersedot ke ruang putih memekakkan telinga itu lagi. Aku tidak mau. Aku harus yakin agar bisa mengendalikan mimpi ini dan bertanya siapa pria itu sebenarnya. Harus.

Ada yang lain di mimpi kali ini. Ada adegan yang bertambah. Pria itu kini mendekati aku dan ibuku. Aku juga tidak tersedot seperti kemarin. Sepertinya aku sudah mengendalikan mimpi ini.

“Kamu siapa?” tanya pria itu kepadaku. Pertanyaan yang sama seperti dalam pikiranku.
“Aku... Alya. Kamu?” jawabku singkat dengan sedikit keraguan.
“Aku Arief.” Pria itu menyodorkan tangannya di depanku.

Sepertinya dia ingin bersalaman denganku. Tanpa pikir panjang, aku menyambut tangannya. Aku merasa ada yang kurang. Tangan kiriku tidak lagi menggenggam tangan ibuku. Benar saja, ibuku tidak ada di sampingku lagi.

“Apa aku mengenalmu?” tanya lelaki itu lagi.
“Aku pikir kita lebih dari sekedar kenal.” Jawabku.
“Ternyata pikiran kita sama. Bisakah kita bertemu di dunia nyata saja? Bagaimana kalau di Coffee Shop itu, pukul 19.00?” ajak pria itu.

Aku mengangguk pertanda mengiyakan. Tak lama setelah anggukan ini selesai, pria itu tersenyum dan menghilang dari hadapanku. Seketika pula aku tersedot kembali ke ruang putih luas yang berdenging itu lagi. Begitu sadar, aku telah berada di dalam kamarku yang nyaman. Kulihat melalui jendela kamar ini, sang fajar mulai menyingsing. Masih ada waktu lebih dari 12 jam lagi untuk pertemuan kami di dunia nyata. Aku sudah tak sabar lagi.

***

Arief sudah di Coffee Shop pada waktu yang telah ditentukan, menanti Alya dengan sabar. Ia sengaja memilih tempat duduk dekat jendela yang menghadap jalan raya agar mudah terlihat oleh Alya dari luar. Seperti yang Arief kira, Alya terbukti cepat menemukan dirinya yang tengah termenung menatap luar melalui jendela. Dengan langkah yang terburu-buru, Alya menghampiri Arief dan duduk di hadapannya.
“Maaf terlambat.” Ujar Alya.

“Tidak masalah. Ngg.. kamu tidak mau mesan minuman dulu?” tanya Arief dengan ramahnya.

Alya menggeleng. Terlukis jelas rasa penasaran di wajahnya yang cantik itu. Wajah yang sangat dikenal Arief, tapi jelas sekali mereka tidak pernah bertemu secara langsung di dunia nyata. Awalnya mereka saling canggung, tapi seiring berjalannya waktu, mereka menemukan sebuah rasa kecocokan yang tidak biasa. Saling menukar nomor handphone dan bercerita banyak. Mereka bercerita apa saja, termasuk tentang keluarganya.

“Apa? Kamu tidak pernah bertemu dengan ayahmu?” tanya Arief kepada Alya dengan kagetnya.
“Iya.. sungguh.” Alya mengangguk mantap.
“Berbeda denganku yang seumur hidup selalu berjumpa ayahku. Tapi, aku tidak pernah bertemu dengan ibuku.”
“Benarkah?” sekarang Alya yang kaget.
“Ya.. ibuku sudah meninggal. Setidaknya itulah yang diceritakan ayah kepadaku. Walau sebenarnya aku tidak percaya sepenuhnya.” Lanjut Arief lagi.
“Kenapa kamu tidak percaya?”
“Aku saja tidak pernah sekalipun ziarah ke makam ibuku. Bagaimana aku bisa percaya?”

Alya kembali mengangguk, pertanda setuju dengan pendapat Arief. Cukup masuk akal. Untuk mempercayai perkataan seseorang, perlu disediakan sebuah bukti. Tanpa bukti, semua hal akan dianggap bualan semata.

“Kamu mau mampir ke rumahku dan bertemu ayah?” Arief menawarkan.
“Boleh...”

Sesampainya di rumah Arief, Alya sangat merasa tidak asing. Rumah ini begitu familiar. Pintunya, tiap ruang, perabotan, sangat dikenalnya. Belakangan ia baru sadar, ternyata rumah ini adalah rumah yang dia lihat di dalam mimpinya. Alya tersenyum kecil, menertawakan dirinya yang bisa sebodoh itu melupakannya. Tiba-tiba Alya dikagetkan dengan kehadiran Arief dengan ayahnya.

Suasana hening seketika, ketika Alya membalikkan badan dan wajahnya terlihat oleh ayah Arief. Alya menyapa beliau dengan ramah. Namun, paras ayah mendadak berubah. Wajahnya terhiasi oleh segala gejala kepanikan. Keringat mengucur, dahi yang mengkerut, mulut yang menganga, mata yang tak berkedip.

Ayah segera meninggalkan Arief dan Alya berdua. Alya sangat kecewa melihat tingkah beliau. Alya merasa dia tidak diterima oleh tuan rumah. Di dalam hati, Arief juga bertanya-tanya. Apa yang terjadi?

Tanpa pikir panjang, Alya langsung meninggalkan rumah Arief dengan hati dan pikiran yang berkecamuk. Arief sudah sempat mencegahnya, namun apa daya, Alya tetap teguh pada pendiriannya. Arief merasa sangat bersalah, Arief segera mencari ayahnya dan meminta beliau untuk menjelaskan semuanya.

“Ayah! Tolong ceritakan kepadaku tentang apa yang baru saja terjadi!”

Ayah tetap bungkam. Ia sadar, ia salah. Tapi apa boleh buat, ia terlalu terkejut tadi. Tanpa sempat berpikir jernih tentang apa yang harus dilakukannya. Wajah Alya yang dilihatnya, terlalu menjelaskan kebenaran dari masa lalunya. Masa lalu yang tak ingin dia ingat dan tak ingin ia ceritakan kepada siapapun.

Di tempat lain, Alya justru terpikirkan pada sebuah fakta yang aneh. Tentang mimpinya dan mimpi Arief. Alya merasa aneh tentang seseorang yang memimpikan orang lain, dan sedangkan orang lain itu juga memimpikan orang yang sama. Alya ingat, ia pernah membaca sebuah buku tentang kejadian seperti ini. Tentang dua orang yang memimpikan hal sama. Alya tau, kejadian ini sangat jarang terjadi. Jadi, pasti ada sebuah alasan kenapa ini terjadi padanya dan Arief. Melihat tingkah ayah Arief tadi, Alya semakin membulatkan tekad untuk membuat segala kejadian ini menjadi jelas.

“Ceritakan kepadaku, ayah! Aku mohon. Aku mulai curiga sejak awal dengan tingkah ayah. Aku tau, ada sebuah rahasia terselubung kan?!!” Arief terus memaksa ayahnya yang sejak tadi bungkam untuk bercerita.
Ayah menghela nafas dan memejamkan matanya sejenak. Kemudian ayah berjalan mendekati sebuah cermin.
“Coba kemarilah..” pinta Ayah kepada Arief.
“Untuk apa?”
“Kemarilah. Lihat cermin ini, dan kau akan menemukan jawabannya sendiri.”

Arief memantapkan diri di depan cermin. Menatap sosoknya yang berada di dimensi lain. Menatap wajahnya. Mendalami dan memahami tiap relief wajahnya. Tiba-tiba Arief tersentak kaget.
Hal yang sama juga dialami oleh Alya yang berada di rumahnya. Begitu kagetnya ia begitu membaca sebuah paragraf pada sebuah buku yang dari tadi dirasanya bisa menjelaskan semuanya.

“Pernahkah anda memimpikan orang lain dan mengharapkan orang itu balik memimpikan anda? Hal ini sangat jarang terjadi. Bahkan untuk orang yang ada hubungan darah saja peluangnya sangat kecil. Tapi, hal ini biasanya cukup sering terjadi pada anak kembar.”

“Sudah kau temukan jawabannya?” tanya Ayah kepada Arief yang menatap cermin. Menatap wajahnya yang mirip dengan Alya. Betapa bodohnya ia karena tidak menyadari hal ini dari awal. Ayahnya kemudian menjelaskan bahwa ibu Arief masih hidup. Ya benar, ibu Arief adalah ibunya Alya juga. Ayah dan Ibu bercerai sewaktu mereka masih berusia 2 bulan. Perceraian yang dirasa terlalu cepat. Entahlah, mungkin mereka terlalu terbawa emosi waktu itu. Kebetulan anak mereka kembar, dan sepakat untuk mendapatkan hak asuh yang sama. Jadi, tinggallah Arief dengan ayahnya dan Alya dengan ibunya. Tanpa pernah tahu tentang masa lalu mereka masing-masing.

Beberapa bulan berlalu, hubungan orang tua mereka mulai membaik. Sepertinya keduanya sepakat untuk kembali menjadi satu keluarga lagi. Sudah bisa ditebak siapa dalang atas kembali eratnya hubungan ayah-ibu mereka. Ya, tentu saja si kembar Arief dan Alya. Berkat usaha mereka yang selalu mempertemukan ayah dan ibu yang perlahan mampu menyembuhkan luka di hati keduanya. Waktu juga turut membantu dalam perbaikan hubungan ini. Ternyata benar, tidak ada luka yang tidak bisa disembuhkan, semuanya hanya butuh waktu.

Keluarga mereka yang sempat terpecah ini ibarat sebuah puzzle. Kepingan-kepingan yang tadinya berserakan dan berpencar, kini perlahan mulai tersusun dan membentuk sebuah keindahan baru. Menyusun sebuah puzzle memang sulit. Namun, jika dikerjakan secara bersama-sama, semuanya akan mudah bukan?
Arief sudah siap menyambut kepindahan ibu dan saudara kembarnya di rumah. Ketukan di pintu yang tidak asing sudah terdengar. Tak usah dipertanyakan lagi, itu sudah pasti mereka. Dari balik pintu, muncul sosok yang tak asing lagi. Seseorang dari kepingan masa lalu yang pernah hilang. Alya datang dengan menggandeng tangan ibunya erat dan hati-hati. Bibir Alya tampak menyunggingkan senyum. Senyum kepuasan dan kebahagiaan karena berhasil menyusun momen baru dari puing-puing masa lalu.



Momen seperti ini rasanya pernah terjadi. Kalian tau kapan dan dimana itu? Ya benar, saat pertemuan di dalam mimpi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar