About Me

Foto saya
Hanya orang biasa yang menyempatkan untuk berkarya.

Jumlah yang sudah singgah

Rabu, 09 Oktober 2013

Penyesalan

Menurutnya, mengenal seorang Ega adalah kesalahan terbesar dalam hidupnya. Setiap malam, Hana selalu menatap langit bertabur bintang yang menurutnya sedikit memberinya harapan. Tiap kali dia melihat bintang yang berkelap-kelip, secara spontan mulutnya memanjatkan sebuah harapan yang sebenarnya tak akan bisa terkabulkan.

“Aku berharap bisa kembali ke masa lalu, melompati ruang dan waktu, agar aku tidak sempat untuk mengenalmu..” ucap Hana dalam hati sambil mendongakkan kepalanya kepada langit malam.

Siapa lagi kalau bukan Ega. Seorang yang pernah singgah di masa lalunya, bahkan singgah di hatinya. Mmm.. entahlah. Hana sendiri juga tidak yakin kalau Ega benar-benar pernah singgah di hatinya. Yang jelas, Ega benar-benar orang yang mengisi masa lalunya. Meski tidak lama, namun bekasnya masih selalu ada. Sebuah bekas yang tak  kasat mata, bekas yang hanya diketahui olehnya saja, bekas luka yang mendalam, luka di hatinya.

Hana tidak akan  pernah lupa pada sebuah sore itu. Di kala semburat jingga tidak lagi muncul menghiasi langit senja seperti biasanya. Langit waktu itu begitu gelap, sesekali diterangi oleh cahaya kilat yang cukup mengejutkan batinnya. Awan-awan hitam yang bertumpukan di atas sana juga ikut meramaikan dengan menurunkan air hujan yang dipikulnya sejak lama.

Di dalam seluruh ketakutan dan kekhawatirannya, Hana hanya bisa duduk diam di bawah perlindungan atap bangunan tempat kursus bahasa Inggrisnya. Menunggu jemputan yang tak kunjung datang dengan hanya ditemani sebuah kesepian dan suara rintikan air hujan. Hana tidak suka hujan. Lebih tepatnya, Hana tidak suka bau hujan. Baginya, bau hujan itu sangat mengganggu indra penciumannya. Hana lebih baik memilih suara rintik hujan daripada bau hujan. Setidaknya hanya untuk saat ini saja. Sebab, suara rintikan air yang jatuh ke aspal saat inilah yang menjauhkan dirinya dari keheningan.

“Kamu suka dengan hujan?” suara berat itu mengejutkannya.
Hana menoleh ke arah suara itu datang. Tepat di belakang pundaknya, berdiri seorang lelaki berbadan tegap yang sepertinya seumuran dengannya sedang tersenyum di bawah perlindungan sebuah payung.
“Apa maksudmu?” tanya Hana kembali.
“Ah maaf. Aku pikir kamu suka dengan hujan. Sebab aku tidak melihatmu membawa payung. Aku juga memperhatikanmu yang menatap hujan sejak tadi. Maka dari itulah aku pikir kamu suka sekali dengan hujan.”
“Analisa yang lucu. Tapi jelas sekali kamu salah. Aku memperhatikan hujan bukan karena aku suka dengan hujan. Aku hanya tak sabar melihat hujan ini berakhir. Aku ingin segera pulang.” Jawab Hana ketus.
“Pulang? Rumahmu jauh?” tanya lelaki itu lagi.
“Tidak.”
“Mau ku antar pulang?”
“Memangnya kamu siapa?” jawab Hana ketus, lagi.
“Oh iya.. Aku Ega. Aku kursus bahasa Inggris disini juga. Rumahku dekat kok dari sini, makanya aku kesini cuma jalan kaki dan bawa payung aja.” Kata Ega sambil melirik dan menunjuk pada sebuah rumah di seberang jalan.

Hana ikut melirik pada rumah itu. Tanaman indah berwarna-warni di halaman rumah itu begitu syahdu tiap kali dijatuhi oleh tetesan-tetesan sejuk air hujan. Rumah yang asri, pikirnya. Pasti Ega bukan seorang yang jahat. Maka, Hana pun menyetujui agar Ega mengantarnya pulang. Ega segera mengeluarkan mobilnya dari garasi, menjemput Hana yang masih di depan tempat kursus, lalu mengantarnya pulang.

Begitulah, sebuah perkenalan singkat di bawah rintikan hujan. Lumayan romantis dan mengesankan untuk sebuah perkenalan.

Di hari-hari berikutnya, Hana dan Ega semakin sering berkomunikasi dan berinteraksi.Tak terasa, hubungan yang mereka jalin semakin baik dan berakhir pada ikatan janji asmara. Hana memang tidak pernah punya pacar sebelumnya. Ia tidak begitu mengerti apa itu pacaran dan selalu menjauhi banyak lelaki. Oleh sebab itulah dia tidak punya pengalaman dengan yang namanya jalinan kasih asmara. Dia begitu polos. Namun, sejak bertemu Ega, semuanya berubah. Ia mulai bisa membuka hatinya. Mulai membiarkan Ega masuk ke dalam hatinya untuk mengisi ruang kosong di sana.

Mereka tampak begitu baik-baik saja di awal cerita cinta mereka. Tapi, lama-kelamaan Hana seperti mengalami kejenuhan. Hana memang benar-benar tidak berpengalaman dalam urusan asmara. Perhatian yang diberikan oleh Ega diacuhkannya begitu saja. Tak ada alasan jelas tentang ini semua. Mungkin Hana hanya... jenuh.

Awalnya Ega tetap sabar menerimanya. Sebab Ega tahu, Hana tidak pernah berurusan dengan asmara sebelumnya. Jadi, Ega bersabar dalam mengajarkan Hana tentang arti sebuah cinta. Tapi tampaknya Hana tidak peka. Hana masih saja bertingkah laku seperti itu juga. Hana memang jenuh, tapi bukan berarti Ega tidak bisa jenuh pula. Bayangkan saja, perhatian lebih yang diberikan Ega diabaikan begitu saja. Manusia manapun menolak untuk diabaikan. Seorang presiden saja bisa gerah bila diabaikan oleh bawahannya. Apalagi yang diabaikan ini adalah Ega yang seorang lelaki biasa, dan yang mengabaikannya adalah pacarnya pula. Meski selalu terluka, Ega selalu berusaha. Meski terdengar bodoh, Ega selalu berharap agar Hana mau berubah dan mencoba menerima.

Rasa sakit yang tak tertahankan lagi membuat Ega harus berani mengambil keputusan untuk mengakhiri hubungan mereka. Ia juga punya hati dan hatinya tidaklah setangguh baja, melainkan hanya setegar batu karang yang pada akhirnya habis karena terkikis. Ega juga tidak ingin pengorbanannya selama ini sia-sia dan tak dianggap apa-apa, ia juga punya harga diri. Betapa sebuah kebodohan besarlah yang dia lakukan selama ini. Maka, tekad Ega pun sudah bulat. Kini, Ega dan Hana sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi.

***
Waktu berlalu. Sebulan setelah hubungan Hana dan Ega berakhir, Hana barulah merasakan ada sesuatu yang kurang. Sesuatu yang tidak dirasakannya di awal hubungan mereka berakhir. Hana juga tidak tau apa itu. Yang jelas, sesuatu itu cukup membuat hari-harinya tidak menjadi biasa saja lagi. Sesuatu yang membuat harinya menjadi berwarna-warni seperti pelangi indah di siang hari.

Hana selalu saja memikirkan apa sesuatu yang kurang itu. Tanpa pernah menyadari sesuatu yang mengubah hidupnya itu adalah sesuatu yang disia-siakannya. Sesuatu yang diabaikannya. Begitu berharga, tapi kala itu tak pernah sedikitpun diberi nilai olehnya.

Tidak. Sesuatu itu bukanlah Ega. Tapi, sesuatu yang datang dari seorang Ega. Ya benar, perhatian yang dilandasi oleh sebuah ketulusan dari hati Ega. Hana memang terlambat menyadari arti penting seorang Ega. Terlambat menghargai segala perhatian yang diberikan Ega kepadanya. Benar-benar terlambat.

Di depan sebuah fajar yang mulai menyingsing dan diiringi suara ayam berkokok, Hana menyadari semuanya. Menyesali semua yang telah dilakukannya terhadap Ega. Tapi sayang, semua terlambat.

Ega telah bersama gadis lain yang lebih daripada sosoknya. Lebih menghargainya, lebih menyayanginya, dan lebih segala-galanya daripada Hana. Ega bahagia, dan tentu saja gadis itu lebih bahagia. Hana menyesal. Sangat menyesal. Namun apa yang bisa dia perbuat? Semuanya sudah menjadi kenangan belaka, dan ia juga tidak berhak mencemburui mereka. Hana bukan siapa-siapa Ega lagi. Hana tetaplah Hana. Seorang gadis yang terlambat menyadari ketulusan jiwa dan kebaikan hati.

Kepada siapa lagi Hana hendak mengadu? Semua memang sudah terlambat. Kembali seperti sedia kala. Hana menjadi gadis yang sering melakukan pengharapan demi pengharapan pada bintang malam yang berkelap-kelip. Bintang yang membuatnya mampu mengenal sebuah harapan. Memberikannya pencerahan dalam kurungan kegelapan.

Kini, Hana sadar. Mengenal Ega bukanlah kesalahan terbesarnya lagi. Namun, kesalahan terbesarnya adalah terlambat menghargai arti penting seorang Ega.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar