Menurutnya,
mengenal seorang Ega adalah kesalahan terbesar dalam hidupnya. Setiap malam, Hana
selalu menatap langit bertabur bintang yang menurutnya sedikit memberinya
harapan. Tiap kali dia melihat bintang yang berkelap-kelip, secara spontan
mulutnya memanjatkan sebuah harapan yang sebenarnya tak akan bisa terkabulkan.
“Aku berharap bisa kembali ke masa lalu, melompati ruang dan waktu, agar aku tidak sempat
untuk mengenalmu..” ucap Hana dalam hati sambil mendongakkan kepalanya kepada
langit malam.
Siapa
lagi kalau bukan Ega. Seorang yang pernah singgah di masa lalunya, bahkan
singgah di hatinya. Mmm.. entahlah. Hana sendiri juga tidak yakin kalau Ega
benar-benar pernah singgah di hatinya. Yang jelas, Ega benar-benar orang yang
mengisi masa lalunya. Meski tidak lama, namun bekasnya masih selalu ada. Sebuah
bekas yang tak kasat mata, bekas yang
hanya diketahui olehnya saja, bekas luka yang mendalam, luka di hatinya.
Hana
tidak akan pernah lupa pada sebuah sore
itu. Di kala semburat jingga tidak lagi muncul menghiasi langit senja seperti
biasanya. Langit waktu itu begitu gelap, sesekali diterangi oleh cahaya kilat yang
cukup mengejutkan batinnya. Awan-awan hitam yang bertumpukan di atas sana juga
ikut meramaikan dengan menurunkan air hujan yang dipikulnya sejak lama.
Di
dalam seluruh ketakutan dan kekhawatirannya, Hana hanya bisa duduk diam di
bawah perlindungan atap bangunan tempat kursus bahasa Inggrisnya. Menunggu
jemputan yang tak kunjung datang dengan hanya ditemani sebuah kesepian dan
suara rintikan air hujan. Hana tidak suka hujan. Lebih tepatnya, Hana tidak suka
bau hujan. Baginya, bau hujan itu sangat mengganggu indra penciumannya. Hana
lebih baik memilih suara rintik hujan daripada bau hujan. Setidaknya hanya
untuk saat ini saja. Sebab, suara rintikan air yang jatuh ke aspal saat inilah
yang menjauhkan dirinya dari keheningan.
“Kamu
suka dengan hujan?” suara berat itu mengejutkannya.
Hana
menoleh ke arah suara itu datang. Tepat di belakang pundaknya, berdiri seorang
lelaki berbadan tegap yang sepertinya seumuran dengannya sedang tersenyum di
bawah perlindungan sebuah payung.
“Apa
maksudmu?” tanya Hana kembali.
“Ah
maaf. Aku pikir kamu suka dengan hujan. Sebab aku tidak melihatmu membawa
payung. Aku juga memperhatikanmu yang menatap hujan sejak tadi. Maka dari
itulah aku pikir kamu suka sekali dengan hujan.”
“Analisa
yang lucu. Tapi jelas sekali kamu salah. Aku memperhatikan hujan bukan karena
aku suka dengan hujan. Aku hanya tak sabar melihat hujan ini berakhir. Aku
ingin segera pulang.” Jawab Hana ketus.
“Pulang?
Rumahmu jauh?” tanya lelaki itu lagi.
“Tidak.”
“Mau
ku antar pulang?”
“Memangnya
kamu siapa?” jawab Hana ketus, lagi.
“Oh
iya.. Aku Ega. Aku kursus bahasa Inggris disini juga. Rumahku dekat kok dari
sini, makanya aku kesini cuma jalan kaki dan bawa payung aja.” Kata Ega sambil
melirik dan menunjuk pada sebuah rumah di seberang jalan.
Hana
ikut melirik pada rumah itu. Tanaman indah berwarna-warni di halaman rumah itu begitu syahdu tiap kali dijatuhi oleh tetesan-tetesan sejuk air hujan. Rumah yang asri, pikirnya. Pasti Ega bukan seorang
yang jahat. Maka, Hana pun menyetujui agar Ega mengantarnya pulang. Ega segera
mengeluarkan mobilnya dari garasi, menjemput Hana yang masih di depan tempat
kursus, lalu mengantarnya pulang.
Begitulah,
sebuah perkenalan singkat di bawah rintikan hujan. Lumayan romantis dan
mengesankan untuk sebuah perkenalan.
Di
hari-hari berikutnya, Hana dan Ega semakin sering berkomunikasi dan
berinteraksi.Tak terasa, hubungan yang mereka jalin semakin baik dan berakhir
pada ikatan janji asmara. Hana memang tidak pernah punya pacar sebelumnya. Ia
tidak begitu mengerti apa itu pacaran dan selalu menjauhi banyak lelaki. Oleh
sebab itulah dia tidak punya pengalaman dengan yang namanya jalinan kasih
asmara. Dia begitu polos. Namun, sejak bertemu Ega, semuanya berubah. Ia mulai
bisa membuka hatinya. Mulai membiarkan Ega masuk ke dalam hatinya untuk mengisi
ruang kosong di sana.
Mereka
tampak begitu baik-baik saja di awal cerita cinta mereka. Tapi, lama-kelamaan Hana
seperti mengalami kejenuhan. Hana memang benar-benar tidak berpengalaman dalam
urusan asmara. Perhatian yang diberikan oleh Ega diacuhkannya begitu saja. Tak
ada alasan jelas tentang ini semua. Mungkin Hana hanya... jenuh.
Awalnya
Ega tetap sabar menerimanya. Sebab Ega tahu, Hana tidak pernah berurusan dengan
asmara sebelumnya. Jadi, Ega bersabar dalam mengajarkan Hana tentang arti
sebuah cinta. Tapi tampaknya Hana tidak peka. Hana masih saja bertingkah laku
seperti itu juga. Hana memang jenuh, tapi bukan berarti Ega tidak bisa jenuh
pula. Bayangkan saja, perhatian lebih yang diberikan Ega diabaikan begitu saja.
Manusia manapun menolak untuk diabaikan. Seorang presiden saja bisa gerah bila
diabaikan oleh bawahannya. Apalagi yang diabaikan ini adalah Ega yang seorang
lelaki biasa, dan yang mengabaikannya adalah pacarnya pula. Meski selalu terluka, Ega selalu berusaha. Meski terdengar bodoh, Ega selalu berharap agar Hana mau berubah dan mencoba menerima.
Rasa
sakit yang tak tertahankan lagi membuat Ega harus berani mengambil keputusan
untuk mengakhiri hubungan mereka. Ia juga punya hati dan hatinya tidaklah setangguh baja, melainkan hanya setegar batu karang yang pada akhirnya habis karena terkikis. Ega juga tidak ingin pengorbanannya selama ini
sia-sia dan tak dianggap apa-apa, ia juga punya harga diri. Betapa sebuah kebodohan besarlah yang dia
lakukan selama ini. Maka, tekad Ega pun sudah bulat. Kini, Ega dan Hana sudah tidak
ada hubungan apa-apa lagi.
***
Waktu
berlalu. Sebulan setelah hubungan Hana dan Ega berakhir, Hana barulah merasakan
ada sesuatu yang kurang. Sesuatu yang tidak dirasakannya di awal hubungan
mereka berakhir. Hana juga tidak tau apa itu. Yang jelas, sesuatu itu cukup
membuat hari-harinya tidak menjadi biasa saja lagi. Sesuatu yang membuat
harinya menjadi berwarna-warni seperti pelangi indah di siang hari.
Hana
selalu saja memikirkan apa sesuatu yang kurang itu. Tanpa pernah menyadari
sesuatu yang mengubah hidupnya itu adalah sesuatu yang disia-siakannya. Sesuatu
yang diabaikannya. Begitu berharga, tapi kala itu tak pernah sedikitpun diberi
nilai olehnya.
Tidak.
Sesuatu itu bukanlah Ega. Tapi, sesuatu yang datang dari seorang Ega. Ya benar,
perhatian yang dilandasi oleh sebuah ketulusan dari hati Ega. Hana memang
terlambat menyadari arti penting seorang Ega. Terlambat menghargai segala
perhatian yang diberikan Ega kepadanya. Benar-benar terlambat.
Di
depan sebuah fajar yang mulai menyingsing dan diiringi suara ayam berkokok, Hana
menyadari semuanya. Menyesali semua yang telah dilakukannya terhadap Ega. Tapi
sayang, semua terlambat.
Ega
telah bersama gadis lain yang lebih daripada sosoknya. Lebih menghargainya,
lebih menyayanginya, dan lebih segala-galanya daripada Hana. Ega bahagia, dan
tentu saja gadis itu lebih bahagia. Hana menyesal. Sangat menyesal. Namun apa
yang bisa dia perbuat? Semuanya sudah menjadi kenangan belaka, dan ia juga
tidak berhak mencemburui mereka. Hana bukan siapa-siapa Ega lagi. Hana tetaplah
Hana. Seorang gadis yang terlambat menyadari ketulusan jiwa dan kebaikan hati.
Kepada
siapa lagi Hana hendak mengadu? Semua memang sudah terlambat. Kembali seperti
sedia kala. Hana menjadi gadis yang sering melakukan pengharapan demi
pengharapan pada bintang malam yang berkelap-kelip. Bintang yang membuatnya
mampu mengenal sebuah harapan. Memberikannya pencerahan dalam kurungan
kegelapan.
Kini,
Hana sadar. Mengenal Ega bukanlah kesalahan terbesarnya lagi. Namun, kesalahan
terbesarnya adalah terlambat menghargai arti penting seorang Ega.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar