About Me

Foto saya
Hanya orang biasa yang menyempatkan untuk berkarya.

Jumlah yang sudah singgah

Kamis, 22 Januari 2015

Tiga Sudut

Selalu ada cara untuk menemukan calon pasangan. Sebagian orang menemukan pasangan melalui kencan buta. Sebagian orang menemukan pasangan dari kenalan teman. Sebagian lagi menemukan pasangan melalui acara cari jodoh di televisi dengan cara pamer kekayaan lalu nunggu siapa yang mati-matiin lampu.

Aku pernah nyobain gimana rasanya kencan buta. Awalnya sih iseng karena aku pikir ini cara menemukan pasangan yang punya kerusakan mata. Soalnya bakalan lebih mudah dapetin pacar kalo gak bisa ngeliat aku secara fisik. Rupanya kencan buta bukan seperti itu. Kita bakal ketemu orang yang kita kenal dari social media di kehidupan nyata. Waktu itu lagi musim main twitter. Ada salah satu follower yang selalu ngikutin kicauan aku. Awalnya dia cuma mention-mention gitu, tapi semakin dia melihat tulisan-tulisan aku, eh ujung-ujungnya dia ngirim pesan lewat direct message buat dikirimin pin BBM. Gak berapa lama setelah asyik ngobrol, akhirnya dia ngajakin ketemu. Karena lagi senggang ya aku ladenin.

Setelah ketemu, dan ngobrol-ngobrol kayaknya dia asik, tapi dia orangnya terlalu high-class. Apalah daya aku yang kelas bawah ini. Kena AC dikit aja langsung meler. Setelah kencan itupun, kami udah makin jarang kontak-kontakan. Lebih tepatnya bukan kami, tapi dia. Belakangan aku sadar, ternyata dia tidak cukup rabun untuk bisa jadian sama aku.

Aku juga pernah nyari calon pasangan lewat teman, dikenalin gitu. Tapi ya, abis kenalan langsung gak ketemu-ketemu lagi. Alasannya ada-ada aja. Kadang lagi sibuk bikin tugas, kadang sibuk beres-beres rumah, kadang emang gak lagi sibuk, tapi disibuk-sibukin.

Habis itu kadang kepikiran buat ikut acara cari jodoh di televisi yang pake mati-matiin lampu itu. Tapi setelah nyadar gak ada yang bisa dibanggain dari diri sendiri, yaudah gak jadi. Udah kebayang gimana pas baru masuk, semua ceweknya langsung matiin lampu. Bahkan mungkin studio-studionya juga ikut mati lampu.

Pernah sih waktu SMA, dengan frustrasi yang udah memuncak, ditawarin buat dibantu cariin pacar sama teman, namanya Vina.

'Kamu mau aku kenalin sama temanku gak?' tanya Vina di suatu siang pas lagi duduk melamun di koridor depan kelas sewaktu guru mata pelajaran jam terakhir gak masuk.

Aku menggeleng, tanpa menoleh ke arah Vina sedikitpun.

'Lho.. Gak percaya ya sama aku?' tanya Vina lagi. Ia membetulkan posisi duduknya sehingga kami tepat duduk berhadap-hadapan.

'Gini ya..' lanjut Vina. 'Kamu udah liat kan apa yang aku lakuin ke Fifi?'

'Fifi?' tanyaku sambil mengernyitkan dahi.

'Iya, dia kan udah jadian tuh. Berkat siapa coba?'

'Siapa?' tanyaku yang emang gak tau.

'Siapa lagi kalau bukan...' ujar Vina sambil menepuk dadanya dengan bangga.

Kemudian Vina bercerita bagaimana cara dia mempertemukan Fifi dengan kenalannya hingga bisa jadian seperti sekarang. Vina mengaku kalau cowok yang ia kenalkan ke Fifi adalah teman sepermainannya sewaktu kecil, namanya Alvin. Bahkan orang tua mereka adalah sahabat lama. Nama Alvin dan Vina memang terdengar senada, sebab memang sudah saling direncanakan jauh-jauh hari sebelum mereka berdua lahir. Begitulah kira-kira hubungan mereka berdua.

Sampai sini, setelah dia bercerita sedemikian banyak, aku cuma tau tentang hubungan dia dengan Alvin. Entah dimana cerita yang menghubungkan bagaimana kesuksesannya menjodohkan Alvin dan Fifi. Aku yang awalnya tertarik buat ngikutin perjodohan ini, malah makin ragu ngeliat mak comblangnya malah begini.

'Gitu, Ndi..' ujar Vina berbinar-binar. 'Gimana? Kamu tertarik buat nyobain pertolongan aku?'

'Gak deh..' jawab aku yang emang terlanjur frustasi dan gak percaya juga.

'Yakin? Aku gak minta apa-apa kok kalau berhasil. Ya minimal ada traktiran apa gitu dikit..'

Aku cuma diam dan menghiraukan kalimatnya barusan. Melihat aku yang cuek dan tidak peduli, Vina kembali memancing dengan kalimat-kalimat sugesti ala SPG.

'Cobain dulu deh. Nanti nyesel loh. Aku pernah baca ya, katanya kalau terlalu lama jomblo, hati kamu itu bakal gak berfungsi lagi. Habis itu bakalan dibuang deh.'

'Kamu pikir ini usus buntu apa?' jawab aku ketus, melihat Vina yang semakin mengada-ada.

'Ya efeknya emang bisa separah itu loh, Ndi..' Vina terkekeh.

'Kamu emang kebelet ditraktir atau emang niat nolongin sih?'

Vina hanya tergelak. Kemudian dia beranjak pergi meninggalkan aku yang masih termenung menunggu bel pulang berbunyi. Mungkin Vina mulai merasakan aura-aura jahat dan nafsu membunuh di sekitar aku. Niat baik kadang emang gak selalu berakhir baik.

Setelah bel pulang berbunyi, aku pun bergegas menuju parkiran. Semua siswa mulai berhamburan dengan langkah tak sabaran. Beberapa ada yang memang bergegas ingin pulang karena sudah terlalu lapar, beberapa lagi ada yang ingin lekas pulang karena memang sudah dijemput, dan ada juga yang buru-buru pulang karena sudah ada janji dengan pacarnya, seperti Fifi.

Dari kejauhan, saat di parkiran aku bisa melihat Fifi yang memacu langkahnya menuju gerbang. Di sana ada seorang lelaki yang seumuran kami, berpakaian seragam sekolah lain, berdiri menanti Fifi dengan senyum yang tak redup. Mungkin itu Alvin yang tadi diceritakan Vina.

Dan dari kejauhan yang sama aku tak sengaja melihat Vina yang berdiri menatap Alvin dan Vina dari jauh, dengan senyum berbeda. Aku rasa kehadirannya tak disadari oleh mereka berdua yang tengah dilanda asmara. Aku rasa senyum Vina barusan adalah senyum kepuasan akan keberhasilannya menolong kedua temannya menuju kebahagiaan sejati.

* * *

Setelah kelulusan, aku masih belum punya pacar juga. Di kala yang lain lagi dilema masuk universitas mana karena tau bakal dipisahkan sama namanya LDR, aku justru dilema mau masuk ke hati yang mana. Seperti halnya Fifi yang jelas bakal LDR sama Alvin. Fifi tetap di sini. Alvin merantau ke luar kota. Gak jarang juga dia curhat sama aku ataupun Vina. Kita emangnya bisa apa? Ngasi saran pun juga gak guna. Kebanyakan cewek itu curhat karena butuh didengar, bukan karena sepenuhnya butuh saran. Jadi, kalau dia cerita, ya aku cuma bisa manggut-manggut. Kalau ditanyain saran aku, paling aku jawab, 'Ya mau gimana lagi. Jalanin aja dulu.' Sungguh saran yang tidak membantu.

Sebagai orang yang gak paham-paham banget sama cinta-cintaan, aku sih gampang ngomong gitu. Ya mereka yang ngejalaninnya yang ribet. Kadang gak ngerti juga, udah punya pacar masih aja ada masalah. Kayaknya mau jomblo ataupun taken, masalah bakal ada terus ya.

Setelah beberapa bulan LDR, hubungan mereka nyerah juga. Lagi-lagi aku cuma bisa ngomong, 'Ya mau gimana lagi. Emang udah gitu jalannya.' Tapi tetap Fifi gak mau ngerti. Di sini aku paham, orang yang terjebak sama cinta, bisa jadi idiot sejadi-jadinya. 

Akhirnya konflik paling nyata itu datang juga. Fifi mulai ngomong yang enggak-enggak. Aku ingat, waktu itu gak sengaja ketemu di kedai mie ayam pas lagi sarapan. Karena lagi berdua aja, Fifi mau ngomong terbuka. 

'Kok bisa putus, sih Fi?' tanyaku yang kemudian menyuap sesendok mie ayam.

'Entahlah.. biasalah gangguan.'

'Udah kayak provider telepon aja ya. Hahaha' Aku tertawa. Tapi Fifi hanya diam. Aku melanjutkan, 'Orang baru ya? Ketemu di sana?' 

Fifi menggeleng. Usai menyelesaikan kunyahan terakhirnya, Fifi berbisik pelan, sok misterius, 'Enggak, justru sebaliknya. Orang lama.'

Aku yang enggak terlalu paham maksudnya, cuma diam. Ternyata Fifi peka dan ngelanjutin, 'Kamu taulah siapa orangnya.'

'Ya mana aku tau. Lagian malas juga nuduh orang sembarangan.' Ujar aku sok enggak pengen tau sambil kembali menyuap sesendok mie lagi.

'Vina, Ndi.. Vina.' 

Aku tersedak. 

'Serius kamu?' tanyaku lagi setelah mengatur nafas dan meminum beberapa teguk air putih.

Kemudian Fifi semakin bercerita panjang tentang bagaimana dulu saat ia masih pacaran dengan Alvin. Ia tau betul kebiasaan Alvin yang selalu menghubungi Vina tiap kali mereka berantem. 

'Ah itu kan karena mereka emang udah temanan lama.' tanggapku cepat setelah Fifi menyelesaikan cerita. 'Kamu gak boleh nuduh gitulah.'

'Terserah kamu,' ujar Fifi lalu berdiri. 'Yang jelas, instingku bilang pasti ada sesuatu di antara mereka.' 

Fifi pergi menuju kasir, membayar makanannya, lalu meninggalkan aku sendiri dengan mulut yang penuh dengan mie ayam yang belum terkunyah habis. Masih dengan rasa penasaran yang sama, aku putuskan untuk lanjut makan tanpa ragu. 

* * *

Berbulan kemudian, aku masih disibukkan dengan dunia perkuliahan yang gak ada henti-hentinya ngasi beban. Seingatku, waktu itu mau UTS. Jadi malamnya aku sengaja konsentrasi buat belajar. Lagi asiknya belajar, tiba-tiba ada telepon masuk. Pas aku liat, itu dari Vina.

'Halo, Vina?'

'Andi! Aku mau nanya, kalau cowok lagi badmood kita mestinya ngapain ya?'

Berhubung aku gak pernah badmood dan gak pernah ngadepin cowok badmood, aku putuskan untuk sok tau aja ke Vina.

'Gini.. kamu datang ke rumahnya, bawain makanan kesukaannya.' jawabku, santai dan sok tau.

'Gak bisa..' jawab Vina. '..orangnya jauh.'

Aku lagi-lagi mikir, biar keliatan expert masalah ginian, sok tau level berikutnya, 'Kirimin voice note, nyanyiin lagu-lagu romantis yang moodbooster.'

'Ide bagus tuh!' jawab Vina. Aku tersenyum penuh kemenangan. Tiba-tiba Vina bertanya lagi, 'Emang lagu yang pas apa?'
Karena udah gak tau mau jawab apa lagi, aku jadi asal sebut, 'Goyang dumang aja..'

'Kok lagu itu? Mana romantisnya?'

'Itu moodbooster kali. Pasti lucu deh.'

'Bener juga ya.' Vina diam sejenak. 'Tapi aku maunya Fix You....'

'Nah itu boleh juga. Bikin keduanya aja! Di-remix aja seru..' sahutku lagi-lagi sok tau.
'Oke deh, makasih ya! Bhay!' Vina menutup telepon. Entah dia sengaja menutup tel Di detik itu, aku merasa menjadi orang paling berguna di dunia. Walaupun agak sesat sih.

* * *

Kemarin sore pas lagi gak ada kerjaan, seperti biasa, aku scroll-scroll kontak BBM. Tujuannya jelas, ngeliat foto teman yang cantique-cantique buat dimodusin. Pas lagi scroll ketemu deh kontak Vina yang status-nya udah ada nama cowok pakai lope-lope. 'Udah jadian aja ni anak.' pikir aku dalam hati. Lalu tanpa pikir panjang, langsung deh aku PING!!! dia.

'Ya?' balasnya beberapa menit kemudian.

'Gila, udah jadian aja.'

'Heheheh...'

'Kayaknya aku kenal tuh orangnya. Gak cerita lagi ya sama aku. Tau-tau udah taken aja.' 

'Aku telpon kamu ya.'

Tak berapa lama ada panggilan masuk dari Vina. Aku menjawab panggilan itu dan Vina langsung nyerocos panjang. 

'Kok bisa? Maksud aku, kok bisa "SAMA DIA" ?' tanya aku antusias.

'Ya, namanya juga udah nyaman mau diapain kan..' jawab Vina singkat.

'Iya juga sih,' tanggap aku. 'Aku juga gitu. Kalau gak nyaman pas pake kolor, aku ganti. Tapi kalau udah nyaman, ya gak bakal aku pakai.' jelasku lagi-lagi gak nyambung.

Suasana hening sejenak. Selang beberapa saat Vina angkat bicara, 'Kamu ngomongin apa sih...'

Mungkin Vina shock mendengar jawaban aku tadi. Ya sama aja, aku juga shock sama jawaban dia. Karena udah nyaman. Ya.. Selalu alasan yang sama. Jujur, aku gak nyangka kalau feeling Fifi sekuat itu. Aku jadi ingat kalimat-kalimatnya saat kami bertemu tak sengaja di warung mie ayam. Aku juga ingat momen saat dia memacu langkah terburu-buru menuju gerbang, demi lekas bertemu sang doi yang menunggu dengan senyuman. Aku juga ingat bagaimana senyum Vina yang menatap mereka dari kejauhan. Semuanya terlihat jelas seperti tayangan flashback di film-film. 

Mungkin aku salah tanggap waktu itu. Senyum Vina dari kejauhan itu bukan senyum kepuasan karena sukses membantu teman. Senyum itu adalah senyum bahagia yang ikhlas saat melihat orang yang dicintai menemukan kebahagiaan sejati. Level tertinggi mencintai adalah membahagiakan dia yang kita cintai. Vina tau betul itu. Oleh karena itu dia mengikhlaskan cintanya jatuh ke tangan orang lain, yang dia percaya tentunya.


Tapi, itu masa lalu. Sekarang ia sudah berhasil berbahagia dengan orang yang ia cintai sepenuhnya. Aku hanya bisa jadi penonton setia akan kisah mereka. Menjadi saksi mata terhadap cinta segitiga yang terselubung oleh ketulusan cinta yang pada akhirnya menemukan jalannya. Yang jelas, aku rasa, Fifi harus bisa menerima kenyataan bahwa itu memang sudah jalannya. Mengikhlaskan, seperti yang dilakukan Vina dulu. Tak perlu ada dendam. 

Hal yang lambat aku sadari yaitu, bahwa saat kita meminta dikenalkan sama teman sendiri, sosok yang bakal ia tawarkan pasti lah sosok yang ia sukai sebelumnya. Kita misalkan kayak beli laptop. Saat teman kamu meminta saran laptop mana yang bagus untuk dibeli, pasti kamu akan menyarankan laptop yang paling bagus yang kita suka sebelumnya tapi gak kesampaian. Begitupun calon pacar, pastilah kita kenalin sama sosok yang kita sukai sebelumnya. Dan itulah kenapa hal kayak gini terjadi. Persis kayak Vina yang memperkenalkan Alvin pada Fifi.

Dan, untuk Alvin.. Kampret sekali anda ya. Kok bisa sih selaku itu? Pelet ya? Pelet? Aku kok gini-gini aja dari dulu? Jomblo juga, jomblo juga. Kalau iya, kasih tau dong dimana pasangnya. BHAY !!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar