About Me

Foto saya
Hanya orang biasa yang menyempatkan untuk berkarya.

Jumlah yang sudah singgah

Kamis, 04 Oktober 2018

JELAJAH: Menggapai Puncak

Hellowz allz...

Sebelum lanjut ke ceritanya aku mau ngeshare video perjalanan ini dulu: "Marapi Trip"

Nah, kalian tonton, terus dapetin visualnya dulu baru baca ke sini. Kalau suka silahkan like videonya, kalau gak suka, silahkan report aja channelnya Atta Halilintar.

Oke, sebenarnya mendaki gunung adalah salah satu life goal aku sejak tamat sekolah. Tapi karena berbagai halangan nggak pernah terwujud. Akhirnya setelah sekian lama rencana terus gagal, aku berhasil dapetin yang timing yang tepat untuk mendaki gunung. Momennya bertepatan banget dengan momen aku lagi butuh-butuhnya sama yang namanya kamu. Eh maksudnya butuh liburan.

Aku butuh liburan karena emang udah stress banget sama skripsi tapi gak kunjung selesai padahal semua waktu dan tenaga udah dicurahin ke sana. Ada aja halangannya yang bikin aku jadi sedikit frustrasi dan pengen refreshing.

Berawal dari pesan di grup line, yaitu salah satu grup aku sama temen-temen travelling yang namanya "No Serigala". Yap nama grupnya emang terinspirasi dari game Werewolf karena kami jadi deket gara-gara mainin game itu di tahun ke dua masa kuliah.

Bunyi pesannya kira-kira begini, "Minggu depan kita naik gunung, biaya total satu org 250k buat transport, logistik, dan peralatan."

Tanpa ada aba-aba, pesan itu muncul dan bikin kaget seisi grup. 

"Andi tolong jogging dulu sebelum hari-H" lanjut pesan itu lagi. Tau aja emang dia. Aku terakhir kali olahraga mungkin sekitar tahun lalu, pas lagi KKN. Itupun cuma senam doang. Senam lima jari.

Tanpa latihan dulu, mendaki gunung emang bikin pegel. Bisa-bisa baru jalan dikit, kaki aku udah tegang-tegang duluan. Gak enak jadi beban.

Setelah berdiskusi cukup alot, akhirnya diputuskan kami berangkat tanggal 4 September kemarin.

Kami berangkat malam dan nyampe ke kaki gunung sekitaran selesai shalat Shubuh. Kami singgah dulu ke SPBU buat nyetor tinja supaya ntar di gunung gak pada mules. Soalnya kan di gunung gak ada WC.

Sekitar pukul 9 pagi kami berangkat mulai mendaki. Awal mendaki super semangat dan jalannya cepet. Apalagi aku yang bawaannya cuma tas kamera sama tas tenda. 

Dua jam perjalanan kaki mulai terasa gak nyaman, lutut-lutut kayak kaget ketika dia tau harus bekerja lebih keras daripada biasanya. Trek yang tadinya landai sekarang udah mulai curam dan bener-bener mengerahkan banyak tenaga. Ketika jam Zuhur udah masuk kami beristirahat untuk solat lalu memasak makanan untuk makan siang.

Setelah selesai makan dan beristirahat, kami melanjutkan perjalanan. Waduh, ternyata setelah perut kenyang, tenaga malah makin gak ada. Jadi kadang setiap 10 menit kami berhenti buat ambil nafas. Pendakian yang tadinya bisa banyak langkah menjadi satu langkah demi satu langkah yang pelan. 


Tapi selalu ada yang tetap mengeluarkan kalimat default tiap kami mulai merasa lelah dan berasa pengen nyerah. Kalimat andalan kami itu gini, "Semangat, semangat, tinggal dua belokan lagi sampai.."

Saking keseringan nyebut kalimat itu tapi gak kunjung nyampe-nyampe, yang denger pada marah. Terus kalimat penyemangatnya berubah lagi jadi, "Semangat, semangat, di depan jalannya landai."

Begitu dilihat, gak ada landai-landainya sama sekali alias curam, super curam.

"Di KBBI kayaknya udah berubah ya definisi landai. Yang kayak gini sekarang bisa disebut landai."

Dalam sela-sela rasa capek kami membuat guyonan yang lumayan bisa bikin lupa tentang beratnya medan yang kami hadapi.

"Aku heran ya, siapa sih yang pertama kali mencetuskan ide buat mendaki gunung."

Yang lain ikutan nyeletuk, "Sama, aku juga heran. Di rumahnya ada masalah apa sehingga dia memutuskan buat 'ah naik gunung ah' kan goblok."

"Iya ya, apa sih yang dia pikirin. Ga mungkin kan lagi nyantai-nyantai di depan rumah minum kopi tiba-tiba nyeletuk, 'Naik gunung kayaknya enak nih..' kan gak mungkin gitu."

"Udah gitu dijadiin hobi lagi. Aneh.."

Dalam percakapan bodoh itu lah akhirnya kami berhasil mencapai pos terakhir yaitu Cadas, sebuah batas vegetasi di mana biasanya pendaki mendirikan tenda. Waktu sudah menunjukkan pukul 4 sore lewat.

Langit terlihat mendung dan kami memutuskan cepat-cepat mendirikan tenda sebelum hujan datang.


Begitu tenda sudah berdiri aku buru-buru mengganti pakaian yang sudah basah oleh keringat dan segera berbaring meluruskan kaki demi melemaskan otot-otot kaki.

Beberapa yang lain ada juga yang masih di luar buat masak-masak dan nyiapin peralatan lainnya. Gak lama setelah bersantai dan memejamkan mata tiba-tiba suara seorang teman yang heboh di luar membuat yang lagi beristirahat jadi ikut keluar. Yap, dia memberi tau tentang keadaan di luar yang mendungnya sudah perlahan hilang dan senja mulai tampak indah. Aku yang melihat pemandangan itu tiba-tiba merasa bugar kembali dan termenung menatap jingga-jingga dari atas awan.



Padahal aku tadi udah pasrah karena cuaca mendung banget. Gak taunya sampai malam cuaca semakin cerah. Kami dari atas bisa melihat bintang-bintang yang begitu banyak, sayang kamera ku gak bisa menangkap keindahan itu karena butuh kamera yang lebih hebat untuk itu. Kira-kira pemandangan bintang yang bertaburan itu seperti ini. Pemandangan yang gak akan bisa kita lihat saat di kota.



Dari atas juga kami bisa melihat kota di bawah kami yang terlihat seperti kumpulan cahaya kelap-kelip berwarna kuning. Sungguh cantik sekali malam itu. Bahkan suhu yang sangat dingin itu kian terabaikan saat menatap keindahan yang tak terdefinisikan.

Kami menghabiskan malam dengan cara ngopi dan ngeteh guna menghangatkan tubuh. Aku sendiri menyerah saat pukul 10 malam. Dinginnya terlalu menusuk bahkan untuk aku yang saat itu udah memakai dua lapis jaket dan sarung tangan. Suhu saat itu mencapai 4 derajat celcius.

Entah berapa orang yang tetap bertahan di luar yang jelas ketika aku terbangun pukul 2 malam yang kukira udah pagi (karena di sana malamnya terasa jadi panjang karena kita terus menahan dingin dan gak sabar menanti pagi) masih ada suara beberapa temanku yang masih manasin kopi di luar.

Pukul 8 pagi aku dibangunin buat segera sarapan dan siap-siap melanjutkan perjalanan ke puncak. Sebuah perjalanan yang aku nanti-nantikan. Cuaca pagi itu bener2 cerah, tapi masih tetap dingin.

Sekitar sejam perjalanan mendaki, kami akhirnya sampai ke puncak.


Sebuah perasaan yang gak bisa diungkapkan lewat kata-kata. Pengen teriak, pengen nangis, pengen ketawa, pengen nikahin kamu, semua campur aduk. Senengnya bukan main. Ah pokoknya kudu ngerasain sendiri baru bisa tau gimana.

Pokoknya pas udah di atas jadi males pulang. Kayak udah nemu sesuatu yang bikin nyaman, dan gabisa move on dari itu.

Sekitar dua jam kami berada di atas, awan mendung sudah mulai datang dan pemandangan indah tadi berganti jadi kabut gelap yang membuat kami kesulitan melihat karena jarak pandang sangat dekat. Segera kami memutuskan untuk kembali ke tenda.

Sesampainya di sana sebagian segera beres-beresin tenda dan aku disuruh turun duluan dengan Romy karena harus mengisi air dulu. Persediaan air kami udah 0 dan gak bisa masak untuk makan siang. Jadi kami berdua turun duluan dan mencari mata air. Kami janjian di tempat yang tidak jauh dari mata air untuk berkumpul dan makan siang.

Setelah air terisi, aku dengan Romy bersenang-senang dengan air itu entah dengan mencuci muka, membersihkan tubuh, guna mengisi waktu menjelang yang lain turun.

Setengah jam kemudian mereka sampai di tempat kami dan segera masak-masak. Seperti biasa kami makan indomie, khas anak gunung banget. Oiya kali ini beda, ada rendang juga. Mereka bilang barusan dikasi para pendaki lain yang makanannya berlebih.

Jadilah kami mengisi perut dulu dan shalat.



Perjalanan turun semakin seru ketika hujan mulai membasahi kami. Jalan turun semakin licin dan menghambat kami yang tadinya ingin turun cepat-cepat.

Kata Ilham, Doal, dan Rillo yang udah pengalaman naik gunung, katanya perjalanan mendaki belum lengkap kalau belum kena hujan. Jujur aja ternyata memang makin seru. Kami kian banyak tertawa karena berganti-gantian terpeleset saat turun karena salah injak tumpuan yang memang licin. Kami menghitung skor jatuh masing-masing dan menertawakannya. 

Semakin ke bawah perjalanan makin lengkap dengan dihadangnya jalan kami dengan seekor ulan piton. Konon katanya biarkan si ular menyeberang dulu baru kita lewat, gitu sih mitos-mitos yang diceritain temanku. Sekitar beberapa menit kami berhenti sambil menunggu sang ular menyeberang dari semak satu ke semak lainnya. 

Sedikit lagi sampai ke bawah aku makin kedinginan, hujan semakin lebat, kaki aku yang menggigil mati rasa dan sulit sekali melangkah. Aku dan Rillo berada di posisi belakang. Rillo menemani aku.

Di sini lah kejadian paling malesin seumur hidup terjadi. Si Rillo mulai ngebahas masa lalu aku sama si dia tanpa aba-aba. 

"Anjing. Kenapa harus bahas gitu sih, aku udah mau mati juga." aku kesal.

"Gak apa, biar perjalanan jadi gak terasa. Yok sambil cerita, kan kita cuma berdua."

Aku yang sampai saat ini berusaha melupakan segala cerita tentang dia mulai mengingat lagi dan menuturkannya sambil menuruni gunung.

Di tengah hujan deras, dia kembali dipaksa muncul dalam ingatan.


Tapi trik ini berhasil. Waktu menunjukkan pukul 6 sore.

Dalam kegalauan yang dipaksa hadir, aku tanpa sadar sudah sampai bawah dan menuju tempat pendaftaran pendakian yang mana di sana ada kedai untuk makan juga. Hujan-hujan, makanan paling tepat emang mie rebus.


Usai beristirahat dan mengganti pakaian basah dengan yang kering, kami langsung berangkat menuju batu sangkat untuk menginap ke rumah neneknya Rillo, tempat persinggahan andalan kalau kami liburan ke Sumbar.

Rumah neneknya dekat dengan sebuah pemandian air panas yang kayaknya pas banget nih buat kami yang kecapekan dan butuh bersantai.

Tapi malam itu kami belum sanggup ngapa-ngapain. Kaki masih tegang-tegang dan terbukti Eki begitu sampai di rumah langsung tidur padahal hari baru menunjukkan jam 8 malam.

Aku menyempatkan mandi dan boker dulu biar nyaman abisnya udah hampir 3 hari nahan. Beuh lega banget cuk.

Paginya kami bangun lebih awal. Karena si Doal yang bangunin nyuruh solat. Setelah semua solat, gak ada yang lanjutin tidur. Aku Romy dan Rillo malah mabar ML.Yang lain sibuk masing-masing. 

Ketika perut udah mulai keroncongan kami langsung berangkat menuju tempat sarapan dan langsung mandi di pemandian air panas. Anjerrrr pas mandi itu rasanya bener-bener nyaman. Semua hepi kembali, padahal tadi malam sampai pagi ini pada lemes semua. Jalan mereka aja bener-bener lunglai.

Karena hari itu hari Jumat kami buru-buru nyari mesjid terdekat. 

Pas solat, beuh.. melawan semua otot kaki ini rasanya. Apalagi pas mau bangkit dari sujud. Ya Allah, berat banget. Seberat mengusahakan kamu kembali padaku.

Ya perjalanan yang bener-bener seru ini harus segera kami akhiri setelah makan siang. Kami berangkat menuju Pekanbaru yang kami cintai dan yang paling penting, back to reality... 

END OF STORY...

Oiya ke depannya bakal ada label baru yang namanya JELAJAH. Post yang berisi tentang cerita dan pengalaman seru dalam menjelajah berbagai tempat yang aku datangi. STAY TUNEEEE

Tidak ada komentar:

Posting Komentar