Hari itu hari Jumat.
Aku ingat sekali karena aku membaca pesanmu tepat seusai aku berwudhu untuk menunaikan shalat Jumat.
"Aku ke kantor siang ini. Setelah ini gak akan ke sini lagi. Terakhir."
Kira-kira begitulah isi pesan yang aku baca dari jendela notifikasi saat hendak mengubah handphone ke mode getar agar nanti saat sedang shalat tidak ada dering-dering yang mengganggu.
Mungkin itu adalah salah satu shalat Jumat yang aku paling tidak khusyuk. Pikiranku berjalan sesukanya, bertanya akan hal-hal yang harusnya tidak aku pikirkan, padahal aku sedang menghadap Tuhan.
"Terakhir ya? Berarti ini hari terakhir aku ketemu dia dong. Gimana kalau nantinya dia pulang duluan sebelum aku sempat ke kantor?"
Aku tak pernah seburu-buru itu. Biasanya aku orang yang paling lama keluar dari masjid setelah shalat. Tapi hari itu beda. Aku melangkah keluar secepat yang aku bisa. Aku benar-benar takut tidak sempat bertemu kamu untuk yang terakhir kalinya.
Aku memacu langkah.
Saat aku membuka pintu ruangan kantor, betapa leganya aku saat melihat masih ada kamu di sana. Aku ingin menyapamu. Tapi entah kenapa aku tahan keinginan itu karena aku lihat kamu sedang asyik mengobrol dengan teman kantor yang lain.
Aku menatapmu dari kejauhan sambil menahan gejolak cemas dan kekhawatiran tentang apa yang akan terjadi setelah ini. Aku memikirkan apa cara yang tepat untuk berpamitan denganmu. Aku memikirkan kata-kata apa yang harus aku ucap dari mulut. Aku bingung.
Hingga akhirnya kamu berpamitan, aku masih terdiam dan tidak tau harus bilang apa. Padahal rasanya ada begitu banyak kalimat yang ingin dikeluarkan dari dalam kepala.
"Pulang dulu ya semua." ucapmu berpamitan.
Pada akhirnya aku hanya bisa mengeluarkan kalimat standar yang juga diucapkan beberapa orang lainnya, "Iya hati-hati ya."
Beberapa detik setelah kamu keluar dari ruangan aku merasa ada yang mengganjal. Rasanya ada yang harus segera aku lakukan tapi aku tidak tau itu apa.
"Tunggu."
Aku kirim sebuah pesan melalui whatsapp. Pecundang sekali memang. Tapi mau bagaimana lagi, aku benar-benar bingung harus apa.
Aku melangkah cepat mengejar kamu yang ternyata sudah di dalam mobil.
Kamu membuka jendela dan bertanya, "Kenapa?"
"Ini terakhir ya?" tanyaku.
Kamu mengangguk.
"Berarti kita gak ketemu lagi dong?"
"Iya." jawabmu singkat. Entah kenapa langit seolah-olah menjadi gelap di sekitarku, padahal hari sangat terik saat itu. Ada banyak hal yang ingin aku katakan tapi entah kenapa lidahku tertahan.
"Udah? Gaada lagi? Aku mau cepat ini." ujarmu dengan ketus.
"I..i.iya. Yaudah hati-hati ya."
Benar-benar pecundang.
Kamu pun menutup jendela mobil dan tak berapa lama melesat meninggalkan aku di sana yang masih diam terpaku tak percaya. Di detik itu aku segera berdoa, "Semoga bisa ketemu lagi ya Allah."
Iya, aku berdoa.
Aku yang dari awal sama sekali malas beribadah, tak pernah berdoa, kali ini berharap untuk hal yang mungkin menurut orang banyak sangatlah konyol: bertemu lagi denganmu.
Padahal ada sekian banyak doa yang masih lebih penting untuk aku panjatkan.
Mmm..
Ngomong-ngomong soal doa, kamu ingat gak kalau kamu pernah mengirimkan aku sebuah post instagram tentang "Waktu yang paling mustajab untuk berdoa di hari Jumat" ?
Kalau kamu tidak ingat, mungkin kamu bisa scroll lagi dm instagram kita ke atas. Aku yakin masih ada.
Di hari Jumat, pada waktu yang paling mustajab, aku berdoa: Semoga aku bisa bertemu denganmu lagi.
* * *
Ada Jumat lain yang juga membekas di kepalaku. Jika kamu sudah lupa, maka izinkan aku membawa kembali memori itu.
Jumat yang ini adalah hari pertama di mana aku bisa mengantarmu pulang.
Waktu itu hari hujan deras, aku buru-buru menjemputmu di Alfamart yang tak jauh dari kantor. Aku tau aku harus cepat karena kamu benar-benar ketakutan sendirian karena petir dan kilat yang menyambar.
Malam itu kita sebenarnya tidak punya tujuan, karena rencana awalnya kita bakal ikut event yang ternyata dibatalkan karena tiba-tiba ada larangan PSBM. Jadi di tengah hujan deras, kita hanya berjalan tak tentu arah.
Sialnya, ke manapun jalan yang kita tempuh, semuanya banjir. Kita sama-sama panik karena takut sewaktu-waktu bisa mogok dan kita jadi dua orang goblok yang terjebak banjir di tengah jalan.
Kita begitu tegang dan bingung harus ke mana agar terhindar dari banjir.
Pada akhirnya setelah melalui sekian kilo jalan yang tergenang, kita berhenti di sebuah Indomaret yang bebas dari banjir.
Di sana kita tertawa-tawa lega karena akhirnya bisa setidaknya aman untuk sementara dari kepanikan.
Seru sekali.
Hal-hal sekonyol itu cuma pernah aku lakukan denganmu. Masuk akal kan mengapa begitu sulitnya aku melupakanmu?
Setelah hujan mulai sedikit reda dan jalanan mulai surut, kita lanjut berjalan tanpa arah lagi. Ide-ide random muncul di kepala. Aku mengajakmu membeli pisang coklat yang menurutku dan anak-anak kantor lainnya 'terenak' se-Pekanbaru.
"Biasa aja kok rasanya." ujarmu setelah mencicip sedikit.
"Hah masa'? Ini enak banget lho."
"Gak ah. Masih enakan pisang coklat yang dulu pernah dikirim ke kantor sama orang yang misterius itu."
Iya, aku ingat di awal kamu masuk di kantor, ada orang yang mengirimkan kamu pisang coklat dan sampai sekarang tidak tau siapa yang mengirimkannya. Kamu memang banyak penggemarnya, ya.
"Ah enakan ini kok." aku meyakinkan.
Kita lanjut berjalan ke Indomaret karena waktu itu tisu di mobil sudah habis dan kamu ingin membersihkan tanganmu sehabis mencicip pisang coklat terenak menurutku itu.
"Jangan lama-lama. Aku takut sendiri," ucapmu.
Aku bergegas dan sialnya ramai sekali yang berbelanja, padahal aku hanya ingin membeli tisu.
Sesekali aku mengintip ke arah parkiran memastikan kamu baik-baik saja, entah kenapa aku khawatir sekali. Mungkin terdengar lebay, tapi itu yang sebenarnya aku rasakan.
Masih teringat jelas kata-kata yang pertama kali aku lontarkan saat kembali ke mobil, "Sorry ya lama. Aman kan?"
Sebenarnya itu sudah cukup menyiratkan kekhawatiranku tadi.
Kita melanjutkan perjalanan menuju ke rumahmu setelah itu. Hari pertama aku mengantarmu pulang. Lagi-lagi terkesan berlebihan dan norak, tapi benar-benar berkesan untukku karena kamu bilang belum ada anak kantor yang pernah ke rumahmu sebelumnya.
Lucu mengingat saat sampai di depan rumahmu aku begitu deg-degan karena takut yang membukakan pintu adalah papamu. Ntah kenapa aku takut, padaha sebenarnya aku sudah sering mengantar teman pulang ke rumah, bahkan di jam yang jauh lebih larut dari ini.
Untungnya waktu itu yang membukakan pintu adalah adikmu. Lega, tapi konyol juga mengingat kenapa aku bisa sepanik itu. Hahaha.
* * *
Hari di mana aku menulis ini adalah hari Jumat.
Entah sudah Jumat ke berapa ini sejak pertemuan terakhir kita.
Meski kita sudah tak saling sapa dan bertatap muka, masih ada satu hal yang masih sama:
"di jam paling mustajab untuk memanjatkan doa, aku masih mengharapkan kita bisa bertemu kembali dan menghabiskan waktu berdua."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar